Muhammadiyah
dan Tradisi Berpikir Keilmuan Haedar Nashir ; Ketua Umum Muhammadiyah |
REPUBLIKA, 21 Juli 2021
Muhammadiyah sejak
berdirinya membangun tradisi berpikir yang kuat dalam diksi tajdid dan berkemajuan Kiai Haji Ahmad Dahlan selain
dikenal cerdas juga memelopori penggunaan nalar keilmuan yang tinggi. Muhammadiyah kemudian
dikenal sebagai gerakan Islam reformis dan
modern, yang di dalamnya melekat alam pikiran maju. Kiai Dahlan
sebagai pendiri Muhammadiyah bahkan disebut sebagai pembaru atau mujadid,
yang pemikirannya menurut Nurcholish Madjid melampaui zamannya. Setiap warga, lebih utama
kader dan pimpinan Muhammadiyah, penting untuk menguatkan dan mengembangkan
tradisi berpikir yang kokoh yang telah diletakkan oleh Muhammadiyah dan
pendiri gerakan Islam ini. Hal itu dimaksudkan untuk
menghadapi perkembangan kehidupan dan lahan dakwah yang semakin kompleks
serta kemajuan zaman di era modern abad ke-21 yang sarat tantangan. Karenanya anggota, kader,
dan pimpinan Muhammadiyah di seluruh lingkungan termasuk amal usaha dituntut
terus menerus mengembangkan kualitas berpikir agar gerakan Islam modern terbesar
ini makin bekemajuan dan mampu memberikan jawaban atas permaslahan zaman yang
dihadapi. Seraya tidak perlu gumunan
atau mudah terpesona dengan isu-isu,
wacana, dan figur yang kelihatan dari permukaan menawarkan cara
berpikir yang “hebat” tetapi secara substansi tidak menawarkan pemikiran yang
mendalam dan belum tentu sejakan dengan nalar keislaman Muhammadiyah. Pemikiran
Maju Muhammadiyah sejak awal
memelopori gerakan pemikiran maju atau berkemajuan. Istilah “kemajuan”, “maju”, “memajukan”, dan “berkemajuan”
telah melekat dalam pergerakan Muhammadiyah. Dalam Statuten pertama
tahun 1912, tercantum kata “memajukan” dalam frasa tujuan Muhammadiyah, yaitu
“…b. Memajoekan hal Igama kepada anggauta-anggautanja”, yakni memajukan
perihal Agama Islam kepada seluruh anggota masyarakat. Secara kelembagaan
Muhammadyah melahirkan berabagai usaha dakwah seperti tabligh, pendidikan,
taman pustaka, PKU, dan sebagainya merupakan hasil olah pemikiran yang cerdas
dalam rapat-rapat tahunan. Lahirnya Aisyiyah, Hizbul
Wathan, dan kemudian organisasi otonom lainnya juga maerupakan buah pemikiran
yang maju. Keterlibatan Aisyiyah dalam kepeloporan Kongres Perempuan tahun
1928 dengan pidatonya merupakan bukti kemajuan berpikir perempuan
Muhammadiyah. Tahun 1926 Muhammadiyah
melahirkan Tarjih untuk membahas
masalah-masalah keagamaan sebagai bentuk ijtihad yang maju, bukan sebagai
bentuk kerangkeng berpikir sebagaimana ditudingkan sementara pihak. Tahun 1938 Muhammadiyah
mendiskusikan Lima Masalah penting yakni tentang agama, ibadah, dunia,
sabilullah, dan ijtihad sampai diputuskan Muktamar Tarjih tahun 1954-1955. Di
kemudian hari era 1990an dan 2000an lahir Manhaj Tarjih sebagai sistem
pemikiran baku dalam memutuskan urusan keagamaan yang bersifat aktual. Tafsir Tematik dan Tafsir
At-Tanwir merupakan karya Majelis Tarjih yang luar biasa kaya dengan
menggunakan berbagai pendekatan. Lahirnya pendekatan bayani, burhani, dan
irfani merupakan cara berpikir dan pandangan Muhammadiyah yang sangat maju
melampaui yang lain, mungkin bagi sebagian pimpinan Muhammadiyah sendiri
jarang dibaca dan diapresiasi. Pemikiran Muhammadiyah
lainnya tidak kalah cemerlang. Sebutlah langkah Duabelas Muhammadiyah (1938),
Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah (1946), Kepribadian Muhammadiyah
(1956, 1962), Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah (1966),
Khittah Muhammadiyah (1971, 2002), Islam dan Dakwah (1986), Pedoman Hidup
Islami Warga Muhammadiyah (2000), Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Abad Kedua
(2010), Revitalisasi Visi dan Karakter Bangsa (2007), Indonesia Berkemajuan
(2014), Negara Pancasila Darul Ahdi Wa Syahadah (2015). Demikian pula dengan
berbagai fikih kontemporer seperti Fikih Antikorupsi, Fikih Perempuan, Fikih
Air, Fikih Kebencanaan, Teologi Lingkungan, Fikih Al Ma’un, Fikih Informasi,
dan sebagainya yang tergolong sebagai fikih baru atau fikih jadid. Semua pemikiran tersebut
isinya sangat mendasar dan lengkap, yang dibahas dengan perdebatan yang
tinggi. Di dalamnya terkandung epistemologi dan metodologi berpikir yang kuat
dan kaya. Terkandung pandangan filsafat atau kalam, dirasah Islamiyah atau
Islamic studies, dan ilmu pengetahuan klasik maupun modern. Dalam membahas pemikiran
tersebut juga kuat logika atau mantiq yang dimiliki pada ulama dan pemikir
Muhammadiyah, yang sejak di pesantren diajarkan mantiq, ushul fikih, dan
berbagai dasar ilmu penegtahuan. Ketika tahun 1970-1980
dibahas Risalah Islamiyah, Prof Rasyidi bahkan memperkenalkan pendekatan
fenomenologi sebagai model berfikir baru dalam khazanah pemikiran Islam di
lingkungan Muhammadiyah. Para pemikir Muhammadiyah setelah era 2000an
memperkenalkan filsafat pengetahuan, ilmu-ilmu sosial seperti sosiologi dan
antropologi, hermeneutik, dan berbagai aspeknya. Hal itu menggambarkan
betapa kaya pemikiran Muhammadiyah dengan dasar berpikir yang kuat disertai
dukungan logika, filsafat, dan ilmu pengetahuan multiperspektif atau
multiparadigma yang menunjukkan kecerdasan dan kearifan yang kaya di tubuh
organisasi Islam modern ini. Pemikiran
Personal Kiai Dahlan sebagai
pendiri Muhammadiyah pelopor berpikir tajdid atau pembaruan. Pikiran-pikiran
dasar dan langkah-langkah awal Kiai Dahlan sejak meluruskan arah kiblat
sampai mendirikan lembaga pendidikan Islam, mengajarkan dan mempraktikkan
Al-Ma’un, dan membentuk
pranata-pranata amaliah sosial Islam yang bersifat modern, semuanya
menunjukkan pada pikiran maju. Dalam tulisan tahun 1921,
Kiai Dahlan selain mengupas tentang pemimpin berkemajuan, persatuan pemimpin
dan manusia sebagai makhluk Allah, yang menarik hampir lebih separuh dari
tulisan itu menguraikan tentang akal, pendidikan
akal, kesempurnaan akal, kebutuhan
manusia, orang yang mempunyai akal, dan perbedaan antara pintar dengan bodoh”
(Syukriyanto & Mulkhan, 1985:
1-9). Kiai Dahlan memperkenal
apa yang disebut “akal suci” atau “akal murni”, padahal dia tidak berkenalan
dengan filsafat Emmanuel Kant yang berbicara tentang akal-murni. Fakhrudin sejak muda
menjadi penulis ulung, yang kemudian menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Suara
Muhammadiyah yang berdiri tahun 1915. Kiai Hadjid menuliskan karya dan
pemikiran Kiai Dahlan, yang disebut Falsafah Ajaran Kiai Dahlan. Kiai Mansur banyak
menulis, yang menganjurkan paham Islam berkemajuan. Para ulama Muhammadiyah
lulusan pesantren diajarkan berbagai ilmu, terrmasuk logika atau mantiq serta
ushul fiqh, sehingga mereka kuat dalam berpikir. Buya Hamka sangat dikenal
sampai ke mancanegara karena pemikirannya, termasuk melahirkan Tafsir Al
Azhar, Falsafah Hidup, Tasawuf Modern,
serta ratusan karya keilmuan lainnya, yang bukunya dibaca publik sampai sekarang. Para tokoh Muhammadiyah
mutakhir seperti Pak AR Fakhruddin, Prof Ahmad Azhar Basyir, Prof Amien Rais,
Prof Ahmad Syafii Maarif, dan Prof M Din Syamsuddin kaya dengan keilmuan
sesuai bidangnya. Para tokoh itu juga belajar filsafat atau falsafah, mantiq
atau logika, dan berbagai khazanah ilmu lainnya. Prof Kuntowijoyo
memperkenalkan Paradigma Ilmu dan Islam Profetik, sebagai sesuatu yang
terbilang baru. Prof Mukti Ali memelopori Ilmu Perbandingan Agama dengan
pendekatan integratif. Prof Amin Abdullah dikenal
sebagai cendekiawan muslim ahli falsafah, yang disertasinya membahas filsafat
etik Al-Ghazali dan Emmanuek Kant, suatu objek studi yang terbilang berat.
Kita dapat merujuk para tokoh atau kader Muhammadiyah lulusan perguruan
tinggi di dalam dan kuar negeri yang kini bersebaran di Perguruan Tinggi
Muhammdiyah maupun Swasta dan Negeri, mereka memilki keilmuan yang luas dan
mendalam, termasuk para intelektual muda Muhammadiyah. Mereka memiliki
khazanah ilmu yang kuat, boleh jadi tidak pupuler di layar kaca dan tidak
kontroversial, sehingga dianggap kurang menarik. Poin pentingnya baik
secara institusi maupun personal bahwa Muhammadiyah itu kaya dengan khazanah
ilmu dan pemikiran. Namun di era media sosial dan kontroversi politik publik,
boleh jadi kekuatan ilmu sebagai khazanah di lingkungan Muhammadiyah itu
kurang berkembang dan disosialisasikan secara luas, sehingga sering kalah
populer dari orang lain. Mungkin pula karena
terlibat dengan urusan-urusan rutin dan amal usaha sering kurang
memperhatikan hal-hal yang bersifat publikasi keilmuan dan pemikiran, meskipun kini mulau bertumbuh menulis di
jurnal internasional. Mudah-mudahan
pemikiran-pemikiran resmi Muhammadiyah masih tetap dibaca dengan keseksamaan
dan bukan hanya sebatas verbal, karena substansi dan epistemologinya pun
terkandung kuat di dalamnya. Semua orang Muhammadiyah
tentu penting belajar ilmu pada siapapun, bahkan terhadap mereka yang berbeda
paham, agama, dan golongan karena mencari ilmu itu wajib. Jangan sampai
Muhammadiyah menggelorakan Islam Berkemajuan, gerakan pencerahan, dan pemikiran
maju lainnya sementara anggotanya tidak akrab dengan ilmu dan pikiran maju. Sebaliknya sangat ironis
kalau tidak suka belajar ilmu dan pemikiran maju, sehingga menjadi jumud dan
taklid. Namun anggota Muhammadiyah jangan gumunan atau mudah terpesona dengan
orang atau isu dan wacana yang kelihatan hebat dari luar tetapi sesungguhnya
biasa saja dalam dunia keiilmuan dan pemikiran. Dalam dunia kontemporer
dan medsos saat ini sering terjadi simulacra, yakni menampilkan sosok atau
isu yang semu atau menunjukkan realitas buatan, sehingga lahir idola-idola
baru laksana panggung Indonesia Idol. Bejalar kepada siapapun niscaya, tetapi
jangan mudah terbawa arus pikiran
pihak lain tanpa dasar ilmu. Jauhi pula sikap taklid atau suka membebek pada
orang atau pendapat orang tanpa berpikir kritis dan cerdas. Penting juga belajar
berpikir mandiri agar tidak mudah mendewakan orang lain yang sesungguhnya
biasa. Sikap yang juga perlu dihindari ialah merasa diri tidak memiliki
apa-apa hanya karena kurang merawat milik sendiri dan gampang terpesona
dengan orang lain, seperti pepatah “rumput hijau milik sendiri tampak kuning,
rumput kuning milik tetangga terlihat hijau”. Jadilah ulil-albab! ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar