Membaca
Roman Atheis, Mendedah Alam Pikiran Achdiat K. Mihardja Chris Wibisana ; Wartawan Tirto.id |
TIRTO.ID, 14 Juli 2021
Petang itu, persil nomor
11 di Gang Kebon Manggu di pusat Kota Bandung menjadi saksi bisu guncangnya
kepribadian Hasan. Sebermula adalah percakan sangat biasa tentang film antara
Hasan dan Rusli. Si kawan itu menyesal tidak mengajak Hasan menyaksikan sebuah
film di bioskop. Rusli setengah mati memuji film tersebut sebagai ciptaan
manusia yang mengagumkan. Itu baru satu film.
“Cobalah pikirkan, betapa hebat ciptaan-ciptaannya seperti kapal terbang,
radio, listrik, dan lain-lain,” kata Rusli. Hasan bersorak dalam hati.
Hasan pikir, inilah saat baginya untuk mengislamkan lagi si “kapir modern”
itu. Hasan merasa bekal ilmu agama yang dipelajarinya sejak kecil bakal cukup
untuk mematahkan argumentasi Rusli. “Ya,” kata Hasan. “Tapi,
apa artinya kepandaian manusia itu, bila dibandingkan dengan kepandaian Tuhan
yang menciptanya.” Bukannya insaf, Rusli cuma
tersenyum simpul. Hasan benar-benar tidak menduga reaksi itu. Hasan tak
menyangka Rusli bakal menangkis semua argumennya dengan begitu ligat. Rusli balik “menceramahi”
Hasan mengenai proyeksi keilmuan manusia yang begitu transformatif dan
memperlancar kehidupan manusia. Reaksi-reaksi kimia yang menciptakan
benda-benda dimajukan Rusli sebagai bukti mutlak kedigdayaan manusia terhadap
alam. “Nah, tidak mungkinkah
pula, bahwa manusia itu sekali kelak akan bisa menemui unsur-unsur yang belum
ditemuinya di udara sekarang ini, unsur-unsur mana akan ternyata bisa kita
ambil dan gunakan untuk membikin nyawa manusia?” ujar Rusli. Hasan terbahak-bahak
mendengar ceramah itu. Rusli yang semula tenang agaknya terbawa juga. Hasan menjawab balik,
“Saya tertawa, oleh karena bagiku manusia yang berangan-angan mau membikin
nyawa adalah orang yang miring otaknya, kemasukan setan. Orang macam begitu
itu adalah orang yang kufur, yang murtad, yang durhaka, karena mau menyamai
Tuhan Maha Pencipta!” “Ah,” sergah Rusli.
“Mengapa Saudara berkata begitu? Itu pikiran kolot. Tuhan itu tidak ada,
Saudara!” Hasan tercengang, dadanya
sesak menahan amarah yang menggejolak. Perkataan Rusli itu benar-benar
mengusik harga dirinya, lebih-lebih perasaan keagamaannya. Pikiran Hasan
berkecamuk, “Gila dia! Kapir dia! Murtad dia!” Meski begitu, perkataan
itu majal di tenggorokan dan tidak sempat keluar. Rusli lantas meminta maaf
dan mengalihkan pembicaraan ke hal lain. Tapi, seberkas api telanjur menyala
di hati kecil Hasan. Bukan semangat menegakkan tauhid, melainkan api keraguan
dan kebimbangan. Hasan merasa dikuliti
hidup-hidup dan pulang dengan hati ambyar. Nalarnya dipenuhi pertengkaran
antara rasionalitas yang menisbikan keberadaan Tuhan dan keyakinan agama yang
dianutnya. Sejak petang itu, Hasan
memulai tapak pertama dalam suatu perjalanan. Dia kembali harus mencari, atau
tepatnya mempertanyakan kembali, Sang Maha Utama yang selama ini jadi
pujaannya. Serba
Tanggung Fragmen debat Hasan dan
Rusli itu barangkali terlalu vulgar menurut ukuran hari ini. Tetapi itulah
sepenggal adegan yang disajikan Achdiat Karta Mihardja dalam romannya yang
masyhur, Atheis. Sejak diterbitkan pertama kali oleh Balai Pustaka pada 1949,
Atheis tidak lekang. Bukan saja karena gaya tuturnya yang ekspresif, tapi
juga kontroversi yang membuatnya menuai pujian sekaligus bertabur kecaman. Ajip Rosidi Dalam Ichtisar
Sedjarah Sastra Indonesia (1969) menilai roman Atheis mempunyai karakteristik
bentuk maupun isi yang belum pernah ada dalam sejarah sastra Indonesia.
Kehidupan dan citra kemelut manusia yang dihadang tantangan zaman membuat Atheis
menjadi istimewa dan orisinal. Penilaian lain disampaikan
Kusdiratin, dkk. dalam Memahami Novel Atheis (1985). Distorsi kepribadian
Hasan yang dahsyat dinilai sebagai efek dari ketidakseimbangan hubungan
vertikal dengan Tuhan dan relasi horizontal dengan sesama manusia. Alhasil,
isi jiwa Hasan benar-benar mendesak hingga akhirnya pecah dalam kegamangan.
Hasan benar-benar hancur karenanya. Penilaian-penilaian itu
tentu sampai juga ke telinga Achdiat. Dalam artikel “Pencipta Versus
Pengkritiknya” yang dimuat dalam bunga rampai Proses Kreatif: Mengapa dan
Bagaimana Saya Mengarang Jilid 3 (2009, hlm. 182), Achdiat berterus-terang
bahwa Atheis pada dasarnya bersifat poly-interpretable sebagaimana
karya-karya sastra lainnya. Roman Atheis bisa ditafsirkan dan dikritik sesuai
penerimaan dan penghayatan pembacanya. Achdiat pun mengaku
mendengar pula sejumlah kecaman atas karyanya. Tokoh Hasan, misalnya, dikecam
berkarakter lemah karena gagal menahan pengaruh buruk rekan-rekannya dan
ikut-ikutan menjadi atheis. Padahal, dia dibesarkan dalam keluarga yang taat
beragama. Apalagi di akhir cerita, Hasan diceritakan tewas. Lantaran penutup
cerita itu, Achdiat ditengarai telah “memenangkan” atheisme serta
“mengalahkan” seorang saleh yang bimbang semacam Hasan. Lain itu, beberapa hal
dalam novel itu juga terkesan serba tanggung. Hasan dikisahkan taat beragama,
tapi Achdiat tidak begitu kuat menuliskan argumen theisme dalam ceritanya.
Achdiat juga disebut tak tuntas dalam mengurai ajaran-ajaran Karl Marx dan
Lenin melalui mulut kawan-kawan Hasan, seperti Rusli dan Anwar. Pendek kata, tokoh-tokoh
Achdiat itu dinilai kurang representatif untuk menggambarkan pertentangan
antara theisme dan atheisme. Hasan gagal mewakili wajah Islam yang saleh dan
teguh kala digempur nilai-nilai materialisme, sementara Rusli gagal mewakili
ajaran Marx dan Lenin. Achdiat
Menjawab Achdiat agak masygul
dengan penilaian macam itu. Achdiat heran, mengapa mereka tidak bisa menerima
karakterisasi Hasan, Rusli, atau Anwar apa adanya, termasuk kondisinya yang
“tidak representatif” itu. “Tidakkah suatu kenyataan
bahwa pada umumnya kaum terpelajar kita tidak ahli dalam soal-soal agama, dan
demikian pula soal-soal ideologi politik atau filsafat macam marxisme,
leninisme, anarkisme, nihilisme, dan sebagainya itu?” balas Achdiat.
“Kebanyakannya adalah seperti tokoh-tokoh dalam Atheis itu, bukan expert
seperti yang diinginkan para kritikus,” balas Achdiat (2009, hlm. 185). Menurut Achdiat,
orang-orang seperti Hasan yang tidak mahir menekuni pengetahuan agama maupun
marxisme memang ada dalam dunia nyata. Taraf pengetahuan Hasan tidak tuntas
karena pendidikannya juga sederhana. Jadi, wajarlah Hasan mengalami krisis
jati diri kala berhadapan dengan dua ajaran yang saling bertentangan. Lalu, bagaimana dengan
Hasan yang dimatikan di akhir cerita? Bukankah Hasan itu saleh dan meskipun
terombang-ambing, dia adalah wakil golongan saleh itu? Kalau begitu, benarkah
Achdiat berpihak pada atheisme? Lagi-lagi Achdiat
menangkis praduga ini. Sebagai roman, Atheis bernapas realisme yang polos,
bukan metafora yang mengandung lambang-lambang. Ia tidak membawa tendensi
apa-apa. Tiap tokohnya pun tidak menyimbolkan apa-apa selain dirinya sendiri.
“Hasan adalah Hasan. Rusli
adalah Rusli. Anwar adalah Anwar. Mereka unik, tidak dua, tidak tiga,” tegas
Achdiat (2009, hlm. 187). Karenanya, kematian Hasan
bukan dimaksudkan untuk mencitrakan kemenangan atheisme atas theisme. Achdiat
menambahkan, “Itu hanya satu akibat yang logis daripada motivasi-motivasi
dalam rangka cerita yang secara wajar dikuasai oleh hukum-hukum alam,
kejiwaan, ruang dan waktu.” Di
Mana Achdiat Berdiri? Di luar kontroversi
mengenai kandungan Atheis, roman itu agaknya cocok pula disebut sebagai
cerminan alam pikiran Achdiat yang kompleks. Sebagai autodidak—dia
tidak melanjutkan pendidikan formal lagi usai lulus Algemeene Middelbare
School jurusan Sastra Timur (AMS-A) lantaran keuangan orang tuanya tidak
memungkinkan, Achdiat mereguk banyak pengetahuan tentang marxisme,
feodalisme, filsafat, hingga ilmu pengetahuan lain melalui bacaan. Bacaan
pula yang membentuknya jadi seorang nasionalis. Dia diketahui juga ikut
terlibat dalam pendirian Indonesia Moeda Cabang Surakarta. Dalam dokumenter Aki
Achdiat: Suara dari Jaman Pergerakan besutan Tinuk R. Yampolsky yang
diproduksi Lontar Foundation (2004), Achdiat berterus-terang ihwal pandangan
politiknya. “Aki (kata ganti Achdiat
untuk dirinya sendiri—red) anti tiga, ya: anti-feodaal-system yang
berkelas-kelas, antikolonial yang bersatu dengan feodal, dan antikedaerahan,”
aku Achdiat. Karenanya, Achdiat enggan
menyandang embel-embel raden di depan namanya, meski berasal dari keluarga
priyayi. Malahan, secara berolok, dia menggelari dirinya MBS alias Manusia
Biasa Saja. Pendirian Achdiat untuk
sengaja berjarak dari aristokrasi tercermin dari penerimaannya terhadap
sintesis kebudayaan Timur dan Barat semasa Polemik Kebudayaan pada 1930-an.
Polemik panjang terkait kebudayaan Indonesia ini semula dipantik oleh Sutan
Takdir Alisjahbana di Poedjangga Baroe dan direspons oleh sejumlah penulis
dan intelektual. Sebagian kalangan teguh
berprinsip bahwa adat-istiadat harus dipertahankan, sedang di sisi lain,
tuntutan menerima budaya Barat yang dinamis-progresif juga tidak kalah
kencang. “Aki secara persoon
sependirian dengan Sanusi Pane. Jadi, perkawinan ‘Faust’ dan ‘Arjuna’.
‘Faust’ [wakil] orang Barat yang mau menguasai alam, dan ‘Arjuna’ [wakil]
manusia Timur yang mau menguasai dirinya sendiri,” imbuh Achdiat. Achdiat menegaskan lagi
pandangannya itu dengan membukukan artikel-artikel polemik tersebut di bawah
judul Polemik Kebudayaan (1977). Dia pun menulis kata pengantar untuk bunga
rampai penting itu. Kebudayaan feodal, menurut
Achdiat, sudah terlampau beku untuk abad ke-20. Di dalam adat yang
ditamsilkannya “tiada lapuk kena hujan tiada lekang kena panas”, menurut
Achdiat (1977, hlm. 5), “Fikiran tidak mungkin kritis, perasaan tidak mungkin
berkembang menurut kodrat kepribadiannya. Dan hal itu tidak mungkin
menimbulkan sikap hidup dan pandangan dunia yang sanggup mendorong manusia
untuk menguasai alam sekelilingnya guna keperluan dirinya sendiri.” Tapi, kebudayaan Barat
yang diperkenalkan oleh kaum kolonialis pun tak dapat serta-merta diterima.
Pasalnya, kendati demokrasi, liberalisme, dan parlementarisme telah tumbuh
sejak Revolusi Prancis 1789, ketiganya begitu eksklusif dan tak sampai
mengena ke masyarakat bumiputra. Rasionalisme, individualisme, dan
materialisme—gagasan modern yang terkemuka pada masa itu—masih tabu untuk
dibahas terus-terang. Karenanya, gagasan
mengupas kembali kebudayaan Timur dengan pisau analisis kebudayaan Barat yang
modern adalah jalan yang dirasa Achdiat paling tepat. Tawaran ini pula yang
dimajukan Sanusi Pane selama berlangsungnya Polemik Kebudayaan. Achdiat
sendiri menilai, “Mengaji, mengupas, dan memeriksa demikian itu adalah
syarat-syarat untuk hidupnya suatu kebudayaan, sebab hanya dengan cara
demikianlah kebudayaan itu akan mungkin bertunas dengan segar.” ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar