Nalar
Agama Melawan Pandemi Masdar Hilmy ; Rektor UIN Sunan Ampel, Surabaya; Penyintas
Covid-19 |
KOMPAS, 30 Juli 2021
Jika
dipetakan secara tipologis, di masyarakat dijumpai sekurangnya dua peran
agama yang bertentangan dalam perang melawan Covid-19: peran produktif dan
peran kontradiktif. Peran
produktif adalah ketika agama digunakan sebagai amunisi dalam mendukung
penanggulangan Covid-19. Sebaliknya, peran kontradiktif terjadi ketika agama
justru dijadikan sebagai alat untuk menggerus ikhtiar perang melawan pandemi. Sepanjang
masa pandemi, kedua peran ini benar-benar ada dan berdialektika di
masyarakat. Pada masa-masa awal pandemi, bahkan narasi agama dijadikan
sebagai alat propaganda oleh segelintir individu untuk mementahkan keberadaan
Covid-19. Sebagian ada yang menganggap pandemi sebagai akal-akalan pihak
tertentu untuk meruntuhkan semangat keberagamaan (teori konspirasi); tidak
boleh takut melawan virus, tetapi takutlah hanya kepada Allah; urusan mati
bukanlah karena virus, melainkan takdir Allah; dan seterusnya. Disonansi kognitif Namun,
pada masa sekarang ini, terutama di tengah ”mengamuknya” varian baru Delta,
kebanyakan masyarakat kita semakin sadar dan waspada terhadap realitas
ancaman Covid-19. Kengerian menghantui di segala penjuru. Kematian
begitu dekat dengan kita. Ia menghampiri dan merenggut orang- orang terdekat,
bahkan anggota keluarga kita. Kabar duka datang silih berganti tak ada
putus-putusnya melalui kanal media sosial. Fenomena kematian dan penguburan
jenazah korban Covid-19 mengentakkan kesadaran terdalam masyarakat bahwa
kematian akibat Covid-19 benar-benar nyata dan tak bisa diremehkan. Di
kota-kota besar, seperti Jakarta dan Surabaya, lalu lalang dan bunyi sirene
ambulans semakin mendramatisasi suasana batin masyarakat. Rasio kasus positif
(positivity rate), tingkat keterisian tempat tidur (bed occupancy rate/BOR)
rumah sakit, sulitnya mendapatkan ruang perawatan, hingga fenomena
telantarnya sejumlah pasien di rumah sakit semakin menguatkan derajat
kepercayaan publik atas ancaman Covid-19 yang semakin nyata. Perlahan
tetapi pasti, pihak-pihak yang semula menyangsikan keberadaan Covid-19
sekarang terdiam seribu bahasa melihat ”parade kematian” yang begitu menyayat
hati. Di
sini sebenarnya tengah terjadi apa yang disebut sebagai ”disonansi kognitif”,
yakni ketika nalar tidak berfungsi secara konsisten dalam mencerna fenomena
kehidupan ini. Di satu sisi kebanyakan masyarakat kita memercayai hal-hal
gaib, terutama karena hal ini merupakan bagian dari rukun iman. Di
sisi lain, kognisi mereka belum bisa teryakinkan oleh realitas Covid-19 yang
juga tidak kasatmata. Kesadaran dan keyakinan mereka baru benar-benar berubah
ketika mereka menyaksikan korban telah berjatuhan di mana-mana. Dalam
ungkapan yang agak hiperbolis, mereka benar-benar tertegun ketika kematian
menjadi ”kenormalan baru” yang tak terbantahkan. Keterbelahan nalar ”Disonansi
kognitif” terjadi akibat keterbelahan nalar di ruang publik dalam memersepsi
pandemi: antara nalar induktif-positivistik sains di satu sisi dan nalar
deduktif-normatif agama di sisi lain. Keduanya seolah tak memiliki hubungan
sama sekali, bahkan dikesankan bertabrakan secara diametral. Akibatnya,
penerapan protokol kesehatan dalam peribadatan dianggap sebagai penggerusan
”pakem” agama. Selain itu, regulasi tentang pengaturan rumah ibadah dan
aktivitas peribadatan selama pandemi dianggap akan mengerdilkan, bahkan
meruntuhkan, agama. Pengambilan
jenazah Covid-19 secara paksa oleh pihak keluarga yang terjadi di sejumlah
rumah sakit menjadi contoh lain penyangkalan nalar publik atas kebijakan
negara yang masih terbelah. Mereka menghendaki tata cara dan ritual
pemulasaraan dan pemakaman jenazah harus berlangsung dalam bingkai tradisi
keagamaan. Mereka meyakini bahwa protokol kesehatan tentang pemulasaraan dan
pemakaman jenazah Covid-19 melanggar pakem tradisi keagamaan yang dapat
berkonsekuensi pada penelantaran nasib arwah di alam kubur. Beruntunglah,
perlahan tetapi pasti, kondisi masyarakat sekarang ini relatif lebih
well-informed dengan seluk-beluk Covid-19. Secara umum telah terjadi proses
transformasi nalar publik ke arah yang lebih positif terhadap realitas
pandemi. Proses transformasi masyarakat dalam menyikapi Covid-19 tentu saja
tidak terlepas dari narasi positif-produktif yang dikembangkan secara
simultan dan konsisten oleh para ilmuwan, agamawan, tokoh masyarakat, elite
politik, dan sejumlah lembaga ormas dalam mengampanyekan ancaman nyata
Covid-19 beserta semua aspeknya. Pembobotan nalar keagamaan Oleh
karena itu, tantangan penanganan Covid-19 ke depan adalah bagaimana agar
kebijakan pemerintah tidak dihadang oleh nalar keagamaan di tingkat akar
rumput. Di sinilah keterbelahan nalar harus segera diatasi melalui pembobotan
nalar keagamaan pada setiap kebijakan publik dalam penanggulangan Covid-19.
Hal ini dimaksudkan agar nalar kebijakan publik tak terceraikan dari nalar
keagamaan. Keberhasilan
keterpaduan di antara kedua nalar tersebut diukur, salah satunya, dari
minimnya resistansi masyarakat atas kebijakan dimaksud. Arab Saudi merupakan
salah satu negara yang berhasil mengatasi pembelahan antara nalar sekuler dan
nalar keagamaan dalam setiap kebijakan publik terkait penanggulangan
Covid-19. Mungkin
saja keberhasilan tersebut tidak semata terkait dengan absennya resistansi
oposisional dari sejumlah kelompok kepentingan, tetapi juga terkait dengan
skema bantuan sosial sebagai dispensasi atas dampak kerusakannya di tingkat
akar rumput. Sebagai akibatnya, penutupan dua masjid besar sebagai pusat
peribadatan haji—Masjidil Haram di Mekkah dan Masjid Nabawi di Madinah—tidak
diikuti kontroversi dan resistensi berlebihan di masyarakat. Dalam
konteks ini, pidato singkat Wapres Ma’ruf Amin, dalam acara malam takbir virtual
Idul Adha 1442 H, patut diapresiasi. Mengutip pendapat ulama terkemuka Syekh
Nawawi al-Bantani, Wapres menegaskan soal perlunya ketaatan publik terhadap
semua regulasi penanganan pandemi yang berbasis kemaslahatan publik. ”Menaati
peraturan pemerintah yang di dalamnya mengandung kemaslahatan umum hukumnya
wajib mu’akkad atau sangat wajib,” demikian sergahnya. Narasi semacam ini
merupakan upaya positif dalam ”penubuhan” (embodiment) narasi keagamaan ke
dalam kebijakan publik yang diharapkan dapat mereduksi kontroversi dan
resistansi publik. Di
samping itu, keberfungsian nalar keagamaan dalam setiap kebijakan
penanggulangan pandemi bisa dimaksimalkan dalam dua tataran sekaligus;
tataran preventif dan kuratif. Secara preventif, narasi keagamaan bisa digunakan
sebagai basis argumentasi penerapan karantina wilayah (baca: PPKM darurat). Strategi
semacam ini pernah dilakukan Pemerintah Kota New York dengan cara mengutip
Hadis Nabi Muhammad SAW di salah satu videotron: ”Jika kamu mendengar wabah
di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tetapi, jika wabah
terjadi di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu.” (HR
Bukhari). Jika
perlu, ajakan pemerintah untuk memerangi Covid-19 harus dimaknai sebagai
”perang suci” (jihad) yang sesungguhnya di era pandemi dan kematian yang
diakibatkan olehnya tergolong mati syahid, sebagaimana Hadis Nabi ”Barang
siapa mati karena wabah, maka dia mati syahid.” (HR Bukhari). Sebagai
upaya terakhir, doa bersama secara virtual menjadi strategi preventif yang
diharapkan dapat memompa imunitas tubuh melalui efek plasebo (placebo effect) atau efek sugesti
dalam diri setiap individu. Semoga! ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar