Perang
Suci Melawan Pandemi Indra Tranggono ; Praktisi Budaya |
KOMPAS, 14 Juli 2021
Perang melawan pandemi
Covid-19, bukan hanya perang medik tapi juga perang suci. Ada nilai-nilai transendal
dan profetik di dalam spirit dan praksisnya. Belum sempat dunia
bernapas, virus korona kembali menghajar kita dengan korona Delta. Ini jenis
virus yang sangat menular, tercepat dan terkuat, kata WHO penuh kecemasan.
Akibat ulah virus Delta, banyak korban bergelimpangan di berbagai belahan
dunia, meskipun sebelumnya telah dilakukan vaksinasi. Pagebluk global –kematian
secara massal dalam waktu yang bersamaan—tak hanya mengancam stabilitas
ekonomi, sosial, budaya dan politik. Namun juga kejiwaan umat manusia. Yakni
suatu kondisi psikologis yang terguncang, dikepung teror rasa sakit,
menderita bahkan kematian. Mimpi-mimpi buruk pun
hadir menjadi menu rutin. Krisis mental dan jiwa pun berpotensi terjadi,
mengepung dan menekan. Manusia pun dipojokkan pada keadaan krusial dan
ekstrem: hidup atau mati. Binasa atau berjaya. Dengan jemawa (arogan),
licik dan bengis, virus korona, telah membuka medan peperangan melawan umat
manusia. Peperangan melawan virus yang tidak kasat mata itu menuntut kita
mampu mengerahkan seluruh potensi intelektual, psikologis, kultural, politik,
ekonomik dan medik. Berbagai dugaan bahwa
virus ini direkayasa kekuatan raksasa bisnis global demi mengeruk keuntungan,
sudah lama kita tahu. Muncul anggapan, para kapitalis global itu juga berniat
melemparkan manusia di ruang-ruang terpencil dan hanya mampu hidup dalam
jagat daring. Setiap tarikan napas selalu bertaut erat dengan kultur
aplikasi. Dengan demikian, hidup manusia lebih gampang dikuasai dan diatur
untuk menjadi bangsa-bangsa konsumen. Sebatas pengetahuan,
mungkin saja hal itu perlu. Namun, kita harus berpikir riil, bahwa virus itu
ada, brutal, licik dan mengancam keberlangsungan hidup manusia di dalam
berkebudayaan dan berperadaban. Dalam kondisi jungkir balik disertai hantaman
krisis, umat manusia harus diselamatkan. Umat manusia harus
diposisikan menjadi makhluk mulia yang hidup dalam kelayakan, kepantasan dan
memiliki dignity (martabat). Ukuran manusia bermartabat antara lain kesehatan
jasmani- rohani, hidup berkeadilan, sejahtera, mampu mengembang -kan potensi
diri secara budaya dan memiliki kebebasan dalam iman atau keyakinan atas
eksistensi Tuhan. Tak ada diskriminasi,
dominasi dan hegemoni pihak mayoritas atas minoritas. Harus egaliter dan
mengutamakan kemajemukan nilai-nilai budaya yang tumbuh semarak dan semerbak
di taman kebangsaan. Virus korona merupakan aktor “kriminal-medis” non-negara
dan non-sipil yang muncul menjadi predator nyawa manusia, apapun motif
kemunculannya, baik sebagai bagian dari siklus hukum alam, anomali natural
maupun “masalah” (keharusan sejarah) yang harus hadir untuk menantang
kemajuan peradaban umat manusia. Jalan
Tuhan Tak terlalu berlebihan
jika perang melawan pandemi dipahami sebagai perang suci melawan kezaliman
virus. Artinya, persoalan pandemi tak hanya secara ilmiah-medik, melainkan
juga terkait dengan nilai-nilai spiritual, transendental dan profetik. Dengan demikian kita
melibatkan kuasa dan kasih Tuhan. Alasannya, umat manusia bukan “gelandangan”
alam semesta yang harus menggigil sendirian di dalam menghadapi persoalan.
Umat manusia bukan pula himpunan para “jagoan” yang mengandalkan modal
keilmuan, tekonologi, potensi medik, ekonomi, politik, sosial dan budaya. Kita berperang menghadapi
virus, entitas amat kecil, tak kasat mata (kecuali dilihat dengan mikroskop
atau alat sejenisnya) yang sangar, kuat, berbahaya, licik dan berpotensi
membunuh. Untuk itu kita perlu meminjam “mata” Tuhan dalam memahami dan
mengatasi pandemi, dengan melakukan transendensi, menyerap nilai-nilai
Illahiyah, sehingga diberi pencerahan. Kembali pada jalan Tuhan
bukan cerminan kelemahan manusia secara eksistensial, melanikan justru
menunjukkan kekuatan karena manusia tak hanya punya modal sosial, budaya,
ekonomi, teknologi dan politik, tapi juga modal spiritual. Secara batiniah pun, hal
ini menunjukkan manusia pun memiliki kekayaan cara pandang, kesadaran diri
dan sikap rendah hati. Sehingga manusia selalu tanggap ing sasmita (isyarat)
Tuhan melalui kemampuannya membaca gejala zaman. Termasuk menghadapi fenomena
pandemi. Tuhan adalah alamat pulang
bagi manusia. Bukan hanya di dalam konteks bersyukur, tapi juga bersabar
ketika menghadapi persoalan genting dan menentukan. Agama dan religiositas
dapat jadikan sumber nilai yang bisa dieksplorasi dan dielaborasi demi
menemukan gagasan alternatif yang dirinci menjadi praksis. Begitu juga
potensi nilai-nilai kearifan budaya lokal yang telah teruji di dalam menjawab
persoalan sepanjang peradaban manusia dibangun. Negara, di mana pemerintah
menjadi tangan panjangnya, bisa melakukan berbagai eksplorasi dan menggunakan
nilai-nilai spiritual untuk mengatasi pandemi. Salah satunya adalah
membangun opini dan keyakinan secara kolektif bahwa melawan pandemi virus
merupakan perang suci. Bukan hanya perang secara medik. Sehingga aktor-aktor
yang terlibat di dalamnya tidak main-main, misalnya justru melakukan korupsi,
mendominasi pasar obat demi keuntungan pribadi/kelompok atau melakukan
penyimpangan lainnya yang membuka ruang bagi bangsa virus untuk meraja lela. Virus-virus pikiran dan
batin bisa divaksinasi dengan praksis nilai-nilai spiritual. Namun, vaksinasi spititual
itu harus dilakukan secara intens, kontinyu, terukur, efektif dan dikawal
otoritas dan aparatus, baik dari negara maupun dari lembaga agama dan budaya,
sehingga mampu melahirkan manusia-manusia yang bersih secara pikiran, batin
dan tindakan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar