Krisis
Melayu Malaysia (1,2) Azyumardi Azra ; Profesor UIN Jakarta; Advisor CIS Hamad bin
Khalifa University, Qatar |
REPUBLIKA, 22-29
Juli
2021
‘Tak akan Melayu hilang di
dunia’. Atau dalam versi sedikit berbeda lebih panjang: ‘Tak ‘kan Melayu
hilang di muka bumi. Bumi bertuah, negeri beradat’. Ini ungkapan atau
pernyataan tersohor yang dinisbahkan kepada Hang Tuah (lahir di Melaka 1444,
dan wafat di Palembang 1511). Hang Tuah, termasyhur sebagai panglima atau
laksamana khususnya di Kesultanan Melaka masa Sultan Manshur Shah
(1459-1477). Pernyataan Hang Tuah itu
sangat populer di berbagai ranah suku Melayu ‘Inti’ (core Malay) di Deli atau
Sumatra Timur, Riau, Jambi dan Palembang. Ungkapan Hang Tuah juga sangat
terkenal di wilayah Kepulauan Riau sampai ke Pontianak dan pesisir Kalimantan
Barat. Sudah beredar sejak zaman
kolonial Eropa di Semenanjung Malaya, ungkapan Panglima Hang Tuah kini lebih
terkait dan sangat relevan dengan puak Melayu di negara Malaysia modern. Mendeklarasikan
kemerdekaan dari kolonialis Inggris pada 31 Agustus, 1957, politik Federasi
Malaysia dalam beberapa tahun terakhir menjadi pertaruhan bagi kaum Melayu. Sebuah situs internet
bernama ‘DR Mahathir Mohammad: Blogging to Unlock” menulis: “...di Malaysia
juga kehilangan Melayu sedang berlaku. Ada anak muda Melayu yang tidak lagi
ingin dikenali sebagai Melayu. Tetapi apa yang akan menghilangkan Melayu
ialah dakwaan bahwa sesiapa yang bercakap berkenaan dengan bangsa Melayu,
mereka akan dituduh ‘racist’, Kasihan Hang Tuah. Kemungkinan kata-katanya
tidak lagi akan menjadi kenyataan”. Melayu hilang di dunia?
Situs tadi menyatakan secara retorik: “Dapatkah kata-kata keramat itu yang
menentu yang Melayu tak akan hilang di dunia?”. Pertanyaan ini dia jawab
sendiri: “Di Singapura kerana tak ada lagi sekolah Melayu...orang Melayu
sudah pun tidak menggunakan bahasa Melayu. Budaya, adat istiadat Melayu juga
terhakis. Yang tinggal hanya agama Islam mereka.” Lalu berlanjut: “Di
sebelah utara pula kita dapati orang Melayu yang tidak bisa bertutur kata
dalam bahasa Melayu. Mereka Islam dan bangsa rasmi mereka adalah Thai. Maka
hilanglah juga Melayu di situ”. Melayu hilang di dunia?
Hilang dari Malaysia? Boleh jadi tidak; boleh jadi mustahil (impossible) atau
kemungkinannya kecil sekali (unlikely). Kini pernyataan Hang Tuah
relevan dengan krisis politik yang terjadi di masa pasca-Perdana Menteri
Mahathir Mohamad (Juli 1981-Oktober 2003) dan PM Abdullah Badawi (2003-2009). Masa PM Mahathir I adalah
‘era kebangkitan’ Malaysia secara ekonomi dan politik; menjadi negara
disegani. Sedangkan masa Pak Lah (Abdullah Badawi) ditandai stagnasi. Kegaduhan mulai terjadi
dalam tahun-tahun terakhir masa pemerintahan PM Najib Razak (2009-2018) yang
berakhir karena skandal korupsi M1DB (Malaysia One Development Berhad).
Skandal yang menimbulkan krisis politik membuat PM Najib Razak harus
melakukan Pilihan Raya Umum (PRU14) pada 9 Mei 2018. PRU14 dimenangkan koalisi
Pakatan Harapan dengan mengalahkan Barisan Nasional dalam jumlah kursi di
parlemen. Kemenangan ini mengantarkan Mahathir Mohamad (92 tahun) kembali
menjadi PM. PM Mahathir II tidak mampu menghentikan kegaduhan. Krisis politik sejak masa
PM Najib Razak kian menimbulkan perpecahan kian luas di dalam puak Melayu.
Terus muncul berbagai partai dan kekuatan politik Melayu dan antarras
berbasis utama Melayu. Kegaduhan dan konflik
politik Malaysia terjadi di antara kekuatan politik Melayu yang telah
terpecah belah. Krisis politik Malaysia masih terus berlanjut dan bahkan
meningkat dalam sejak awal Juli 2021. Perdana Menteri Muhyiddin
Yassin yang menjadi PM sejak 1 Maret 2020 berkat restu Yang Dipertuan Agong
Raja Abdullah dari Kerajaan Pahang, dituntut mundur Organisasi Melayu Nasional
Bersatu (UMNO/United Malay National Organizations). Presiden UMNO Ahmad Zahid
Hamidi, menyatakan, PM Muyiddin Yassin gagal menangani penyebaran wabah
Covid-19. Dia juga tak berhasil menjaga stabilitas ekonomi dan gagal mendapat
kepercayaan rakyat. Untuk sementara, PM
Muhyiddin ‘selamat’ karena didukung menteri-menteri kabinet (16/7/21). Nasib
PM Muhyiddin bakal ditentukan dalam pertemuan khusus parlemen Malaysia selama
lima hari mulai 26 Juli 2021. Penyebaran wabah Covid-19
sempat meredam krisis politik itu. Namun, peningkatan korban Covid-19 secara
signifikan dalam beberapa pekan terakhir juga menjadi faktor kembali
meningkatnya krisis politik Malaysia. ‘Tak ‘kan Melayu hilang di
dunia. Bumi bertuah negari beradat’. Bisa dipastikan, Melayu tidak akan
hilang di bumi, tetapi puak Melayu bisa tidak signifikan secara demografi,
ekonomi, sosial-budaya, bahkan politik. Menurut Worldmeter (live),
yang secara langsung mencatat dari menit ke menit pertumbuhan demografi,
penduduk Malaysia pada 28 Juli 2021 mencapai 32.819,683+. Sekitar 26 juta
hidup di Semenanjung Malaysia dan selebihnya di Sabah dan Serawak. Sekitar 90,2 persen warga
negara dan 9,8 persen adalah ekspatriat dan penetap sementara lain. Dari sudut etnis, sekitar
68,88 persen penduduk adalah bumiputra yang terbagi menjadi bumiputra Melayu
58,7 persen dan bumi putra lain-lain (seperti orang asli, Patani/Siam,
Serani, Dayak) sekitar 4,13 persen. Lalu, puak Cina 25,56 persen; golongan
India 6,7 persen. Bisa dipastikan, bumiputra
Melayu hampir sepenuhnya Muslim. Sejak waktu lama melintasi berbagai
gelombang sejarah, terutama kolonialisme Inggris, Melayu identik dengan Islam
walaupun sebaliknya, penganut Islam di Malaysia tidak terbatas pada Melayu. Ada juga segelintir
keturunan Cina dan India yang menganut Islam. Karena itu, dalam demografi
keagamaan Malaysia jumlah penganut Islam 63,3 persen—lebih banyak daripada
persentase penduduk puak bumiputra Melayu. Kemudian, penganut Buddha
19,8 persen, Kristianitas 9,2 persen, Hindu 6,5 persen, dan sisanya penganut
agama lain. Puak Melayu Muslim
mendapat keistimewaan konstitusional. Pasal 160 Konstitusi Negara Federasi
Malaysia mendefinisikan ‘Melayu’ sebagai “orang yang memeluk Islam, secara
kebiasaan berbahasa Melayu, dan mengikuti adat resam Melayu”. Sebelumnya, Pasal 3 (1),
Konstitusi negara Federasi Malaysia menyatakan: “Islam adalah agama Federasi,
tetapi agama-agama lain dapat dipraktikkan dengan aman dan damai di seluruh
bagian Federasi”… ”Setiap orang memiliki kebebasan menganut, menjalankan agama
dan menyebarkannya”. Meski demikian, karena Islam adalah agama
federasi, kaum Muslim mendapat perlindungan negara. Pada dasarnya, Muslim
tidak dibenarkan pindah ke agama lain. Jika ada warga yang ingin
meninggalkan Islam, dia harus mengajukan permohonan ke Mahkamah Syar’iyah,
yang menugaskan mufti untuk membimbingnya selama satu tahun agar tidak
murtad. Setelah itu, Mahkamah
Syar’iyah menetapkan putusan yang lazimnya menolak. Antara 2000-2010, dari
686 pengajuan Muslim pindah agama, hanya 135 disetujui Mahkamah Syar’iyah.
Belum ada angka terkini. Jadi, konstitusi
menyatakan kebebasan beragama, tapi menetapkan Melayu sebagai Muslim. Atas
dasar itu, pemerintah federal dan negeri (kerajaan atau negara bagian) biasa mengeluarkan berbagai
regulasi untuk melindungi Islam dan pemeluknya. Regulasi federal juga
melarang Muslim pindah agama, tetapi mengizinkan penganut agama lain masuk
Islam. Pemerintah federal dan kerajaan atau negeri juga mengeluarkan regulasi
membatasi penyiaran agama lain di kalangan puak Melayu Muslim. Hak istimewa kaum Melayu
Muslim memiliki sejarah panjang, bermula sejak masa kerajaan-kerajaan Islam
yang tumbuh dan berkembang sejak masa Kesultanan Melaka (1400-1511).
Kesultanan-kesultanan yang muncul pasca-Melaka di berbagai pelosok Semenanjung
Malaya makin memperkuat posisi Islam berbasis kerajaan. Kedatangan dan penguatan
kekuasaan kolonialisme Inggris tidak memperlemah posisi kerajaan dalam hal
Islam. Sebaliknya, posisi kerajaan dalam otoritas Islam, Melayu dan adat
resam diperkuat Inggris melalui Perjanjian Pangkor 20 Januari 1874 yang
intinya mengandung poin: hal ihwal politik dan ekonomi berada dalam kekuasaan
Inggris; dan hal ihwal agama (Islam) dan adat resam Melayu berada di bawah
otoritas raja, Perjanjian Pangkor
memperkuat integrasi Islam ke dalam kerajaan. Dalam satu segi, orang boleh
berargumen Islam dikooptasi kerajaan; tetapi pada segi lain, Islam sepenuhnya
diurus kerajaan sejak dari pemahaman dan praktik keagamaan, infrastruktur,
lembaga, SDM, sampai finansial. Dengan penguatan kerajaan
dalam soal Islam dan adat resam Melayu, kedudukan politik bumiputra Melayu
juga mengalami penguatan. Hanya soal waktu, kedudukan politik yang kuat itu
terwujud, yakni ketika Inggris mengakhiri penjajahan dan Malaysia merdeka
pada 31 Agustus 1957. Bumiputra Melayu kuasa
politik Federasi Malaysia. Namun, kuasa politik tidak otomatis juga menjadi
kuasa ekonomi. Kuasa ekonomi dipegang puak Cina yang minoritas. Kesenjangan
kuasa ekonomi antara kedua puak ini mengancam keutuhan Malaysia. Kerusuhan komunal
‘Sino-Malay’ meledak di Kuala Lumpur pada 13 Mei 1969, yang mendorong
penataan kembali hubungan ekonomi politik antarkomunal. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar