Bahaya
”Toxic Positivity” Ahmad Arif ; Wartawan Kompas |
KOMPAS, 28 Juli 2021
Pesan
berisi ajakan agar kita tidak membaca dan menyebarkan informasi tentang
Covid-19 menyebar luas di media sosial sejak dua pekan lalu. Pesan dengan
nada serupa disampaikan pejabat pusat dan daerah. Alasannya, menyebarkan
informasi tentang Covid-19 akan memicu kepanikan dan menurunkan imun. Awalnya,
pesan dalam bentuk poster ini tersebar di kota-kota di Jawa Timur. Salah satu
contohnya, ”Warga Lumajang kompak untuk tidak upload berita tentang Covid-19.
Biar masyarakat tenang, tenteram.” Propaganda
kemudian diduplikasi dan diedarkan di Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Barat,
hingga luar Jawa. Bahkan, di Kalimantan Timur, Asosiasi Media Sosial &
Media Online mengumumkan, ”... hanya memberitakan kesembuhan pasien
Covid-19.” Penelusuran
Aliansi Jurnalis Independen, seperti disampaikan dalam keterangan pers,
pesan-pesan ini tidak acak dan awalnya disebar oleh para pejabat dan aparat
daerah. Temuan ini menegas dengan pernyataan Menteri Koordinator Bidang
Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, dalam silaturahmi secara daring
bersama ulama se-Jawa Barat, Minggu (25/7/2021). ”Mari
bantu masyarakat tidak panik dan mulai dari kita untuk tidak panik. Anggap
saja itu penyakit biasa,” kata Mahfud. Mirip
dengan isi pesan di poster yang beredar di media sosial, Mahfud mengatakan,
masyarakat sekarang dihadapkan pada ketakutan karena pesan di media sosial
dan media arus utama (mainstream) kerap memberitakan banyaknya korban
Covid-19. ”Jadi,
kita yang harus membuat hati masyarakat tenang. Karena, Ibnu Rusyd mengatakan
bahwa kesembuhan itu separuh diberikan oleh ketenangan, kepanikan itu separuh
dari penyakit, pintu kesembuhan itu adalah kesabaran,” tutur Mahfud. Penegasan
Mahfud ini mengingatkan pada pilihan strategi komunikasi risiko pemerintah,
yang memilih untuk menenangkan masyarakat dibandingkan membangun
kesiapsiagaan. Strategi ini sepertinya diinspirasi dari pemikiran pendeta dan
psikoterapis Anthony de Mello dalam buku spiritualnya The Heart of the
Enlightened (1967) yang dikutip dalam Lampiran Surat Edaran Menteri Kesehatan
Nomor HK.02.01/MENKES/199/2020 tentang Komunikasi Penanganan Covid-19. Kutipan
yang diambil dari buku de Mello dalam panduan komunikasi risiko ini adalah
jumlah korban bisa menjadi lima kali lipat apabila terjadi ketakutan dalam
menghadapi wabah. Prinsip
ini yang menjadikan Satuan Tugas Penanganan Covid-19 memilih menggunakan
pendekatan 80 persen psikologi dan 20 persen medis. Salah
satu wujudnya, glorifikasi angka kesembuhan dibandingkan menampilkan angka
kematian sesuai mestinya. Sampai saat ini, Indonesia belum mengadopsi
definisi kematian karena Covid-19 dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) (Kompas,
8/7/2020). Mengendalikan informasi Kita
semua pasti fatigue (lelah) dengan pandemi berkepanjangan. Kabar duka datang
beruntun, seolah tak ada hari tanpa berita kematian, dan semakin mendekati
lingkaran hidup kita, sehingga banyak yang merindu kabar baik. Namun,
mengendalikan informasi dengan menutup mata warga terhadap kenyataan justru
bakal menyeret kita ke dalam tragedi lebih dalam. Di tengah wabah yang
menghebat, banyak warga, terutama di perdesaan, menghadapi Covid-19 tanpa
pengetahuan memadai, salah satunya karena strategi komunikasi risiko yang
berkiblat pada de Mello itu. Banyak
kisah tentang orang-orang yang telah mengalami gejala Covid-19, tetapi
menghindar diperiksa karena termakan informasi keliru bakal di-Covid-kan
rumah sakit. Covid-19 telah menjadi momok, bukan karena sakitnya, melainkan
stigmanya. Ketika
sakit semakin parah, dengan gejala paling lazim sesak napas, mereka pun
dikubur dengan cara biasa sehingga tak terdata dalam angka kematian Covid-19
di Indonesia. Di sejumlah daerah, banyak yang meninggal dengan hasil tes
mandiri reaktif, terutama antigen, dan dikubur dengan protokol Covid-19 juga
tak terdata sehingga seolah angka kematian relatif rendah. Data
LaporCovid-19, warga yang meninggal saat menjalani isolasi mandiri dalam dua
bulan terakhir telah mencapai 2.700 orang. Angka excess death atau kematian
berlebih lebih tinggi lagi. Lonjakan
kematian ini terlihat di salah satu desa di Kecamatan Krian, Kabupaten
Sidoarjo, Jawa Timur. Rata-rata warga yang meninggal dalam periode 2014-2019
sebanyak tiga orang per bulan, tetapi dari 1-27 Juli 2021 sudah terdapat 34
warga meninggal dan hanya 7 orang yang dimakamkan dengan protokol Covid-19. Bahkan,
dengan kematian yang terjadi sehari-hari, warga desa ini masih tidak panik.
Itulah ketabahan masyarakat kita, yang agaknya telah mencapai fase penerimaan
dari lima tahapan psikologis dalam menghadapi kematian dan tragedi,
sebagaimana ditulis Elisabeth Kübler-Ross dalam bukunya On Death and Dying
(1969). Fase penerimaan ini merupakan tahapan terakhir, setelah penyangkalan,
kemarahan, menawar, dan depresi. Meski
demikian, hanya melihat kesembuhan dan menutup diri dari risiko Covid-19
justru bakal menciptakan toxic positivity, yaitu halunisasi seolah situasi
baik-baik saja, padahal kondisi yang terjadi sebaliknya. Perlu diingat,
pandemi ini tak akan bisa terhenti hanya dengan sikap pasrah, bahkan juga
kematian korban. Keterlambatan
isolasi pasien dan pemulasaraan jenazah yang tidak sesuai protokol kesehatan
akan memperluas penularan. Itu berarti tingkat kematian akan terus membesar,
diakui atau tidak. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar