Menyegarkan
Makna Berkurban Ahmad Sahidah ; Dosen Program Pascasarjana Universitas Nurul
Jadid, Paiton, Jawa Timur |
JAWA POS, 9 Juli 2021
JIKA kedatangan Islam
ditandai sejak abad ke-7, bangsa Indonesia telah menjalani agama tersebut
selama 13 abad lebih. Sebuah masa yang sangat panjang untuk memastikan
penanaman nilai-nilai dari pelbagai aspek. Seperti ibadah, muamalah (hubungan
sosial ekonomi), dan siyasah (politik). Jelas, perjalanan sejarah bangsa yang
bersinggungan dengan banyak sistem pemerintahan dan cara hidup, dari Hindu,
Islam, hingga Kristen, turut mewarnai sikap keagamaan warga secara kultural
dan kaitan praktik religius dengan negara secara struktural. Kenyataannya, secara
muamalah umat belum kukuh. Hubungan sosial masih renggang dan ekonomi belum
matang. Keadaan ini tentu menyebabkan agama tidak lebih sebagai bangunan
suprastruktur dan kehendak kebendaan sebagai infrastruktur dalam tradisi
Marxian. Kehidupan keagamaan disuburkan karena keinginan pemenuhan materi.
Panggung religius adalah cara untuk mendapatkan dukungan politik dan cara
mengaut keuntungan. Sekilas, nilai ibadah kadang diganjar dengan keutamaan
(fadilah), pahala berlimpah, dan surga. Demikian pula dengan ibadah
berkurban pada Hari Raya Haji dan tiga hari tasyrik. Perintah Tuhan terhadap
orang yang berpunya untuk menyembelih hewan peliharaan sebagai wujud
kepedulian akan berbuah pahala. Namun, mengingat firman Tuhan menyatakan
bahwa bukan darah dan daging melainkan ketakwaan yang sampai pada Allah
(lihat surah Al Hajj: 37), tentu menjadi pesan tersirat bahwa keutamaan ini
bersifat etis, yaitu berbagi dengan sesama. Secara semantik, kata kunci takwa
menjadi penting karena ia terkait dengan medan semantik dan hubung kait
dengan kata-kata lain seperti amal, iman, dan kebahagiaan (saadah). Lebih jauh, hewan ternakan
sejatinya terkait dengan akses manusia pada makanan utama. Dengan perintah
ini, kita bisa membayangkan moral dari keutamaan (virtue) ini. Meskipun sumber
protein tak hanya terbatas pada sapi atau kambing, dua binatang ini sejatinya
berfungsi tidak hanya untuk konsumsi, tetapi hasil sampingan. Seperti kotoran
bisa dimanfaatkan untuk pupuk kandang yang jauh lebih ramah dengan
kelestarian lingkungan. Bukan hanya itu, pemeliharaan dua binatang ini juga
bisa menjadi kerja tambahan bagi petani di sela-sela menunggu hasil panen.
Pendek kata, efek berganda akan bekerja. Pengulangan Namun, pada waktu yang
sama, Hari Raya Idul Adha hanya mengulang ritual tahunan. Dari petinggi
hingga khalayak, kita akan melihat mereka mengurbankan sapi atau kambing
untuk memenuhi seruan perintah Tuhan. Pemandangan serupa di negeri ini akan
mudah ditemukan. Kini kehadiran media sosial makin merancakkan kegiatan ini
melalui unggahan, baik oleh warga awam maupun mereka yang berkurban. Tentu,
kegiatan filantropis ini layak didukung karena amal tersebut bermanfaat bagi
orang yang memerlukan. Tetapi, pertanyaannya,
adakah ia betul-betul membantu orang-orang yang membutuhkan? Kalau sekadar
pemenuhan asupan daging, sememangnya warga Indonesia masih mengonsumsi daging
lebih rendah dibandingkan dengan rekannya di negara-negara Asia Tenggara
seperti Singapura, Malaysia, dan Brunei. Artinya, protein yang didapatkan
dari daging tidak terpenuhi meskipun sebenarnya bisa didapatkan dari sumber
lain yang lebih terjangkau. Kini perdebatan perlu
digeser pada sesuatu yang jauh lebih mendesak, yaitu analisis terhadap
kebutuhan manusia. Teori tentang kebutuhan itu bisa dirujuk pada Abraham
Maslow, yang populer, dan Herbert Marcuse, yang filosofis. Keduanya akan
melihat kaitan keperluan manusia dan makna lain dari pengorbanan orang yang
berpunya. Tanpa memeriksa kembali ritual ini, kita akan melakukan ibadah ini
secara rutin tanpa evaluasi kritis. Demografi Sejauh ini, analisis
terhadap peta demografi pemberi dan penerima belum dilakukan dengan cermat
dan rapi. Hanya dalam hitungan kasar bahwa warga yang mampu berkurban
berjumlah kira-kira 6 juta orang. Andai 10 persen dari angka tersebut menunaikan
ritual ini, ada 60 ribu orang yang mampu membeli sapi untuk berbagi. Tetapi,
pengorbanan ini hanya berlangsung selama 4 hari. Seusai itu, kehidupan
keagamaan berjalan seperti biasa. Padahal, jika ditelisik
dengan teliti, tujuan berkurban itu bukan penyebaran daging, tetapi berbagi.
Artinya, perhatian pada orang fakir dan miskin tidak berhenti pada kegiatan
sembelihan, tetapi kepedulian yang utuh. Apabila aktivitas ekonomi yang
mengiringi produksi sapi hingga berakhir di rumah jagal masih berkutat pada
soal bagaimana orang yang jarang mengonsumsi daging bisa merasai gulai dan
sate, betapa warga kita masih terbelakang. Alih-alih mereka memikirkan soal
merawat kasih sayang dan aktualisasi diri, ternyata kebutuhan yang paling
dasar belum terpenuhi. Dengan demikian, semua
pihak kini memikirkan kembali bahwa sejatinya kebutuhan manusia yang asli
(true need) itu adalah sandang, pangan, dan papan. Sekarang generasi akan
dihadapkan dengan kesulitan untuk memiliki rumah pada masa depan karena harga
kediaman melambung. Harga ini dikerek karena kepemilikan tempat tinggal bukan
lagi semata-mata untuk tempat berteduh, tetapi juga berinvestasi. Selagi
manusia tidak memenuhi keperluan dasar ini, kebutuhan lain tak bisa dipenuhi
dengan baik. Pendek kata, pengorbanan
orang-orang berpunya pada hari mulia itu tidak bertumpu pada kedermawanan
sesaat, tetapi melihat kondisi kemanusiaan secara lebih luas. Binatang ternak
(bahimah al an’am) adalah makanan utama dan penggerak ekonomi pada masanya.
Bayangkan setelah Islam datang sejak berabad-abad yang lalu, kita masih belum
menyelesaikan urusan ini. Apalagi beranjak pada kebutuhan lain di era baru,
yang telah menjadi kewajiban untuk dipenuhi. Misalnya, iuran sekolah, biaya
kesehatan, dan penyediaan fasilitas publik untuk mewujudkan kesejahteraan
umat secara lebih menyeluruh. Lebih-lebih, di era
pandemi, pembatasan mobilitas masyarakat menyebabkan mata pencarian khalayak
terganggu dan pelayanan publik yang terkendala menghambat akses ekonomi.
Momen Idul Adha sejatinya merupakan titik pijak agama untuk menyodorkan pesan
yang otentik, yaitu menyelamatkan kehidupan manusia. Atas dasar pemahaman
kontekstual, pengorbanan yang menjadikan hewan ternak sebagai wujud
kepedulian menuntut mereka yang mampu untuk berbagi kekayaannya untuk
mendukung pemenuhan kebutuhan dasar warga yang terdampak. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar