Godaan
Rangkap Jabatan Bagong Suyanto ; Dekan FISIP Universitas Airlangga |
REPUBLIKA, 27 Juli 2021
Sesungguhnya, tak masalah
seseorang menduduki jabatan berapa pun banyaknya kalau mampu. Di sektor
swasta, sudah lazim terjadi seorang CEO sekaligus merangkap berbagai jabatan
lain karena memang usaha yang dikembangkan miliknya atau karena
kompetensinya. Namun, lain soal kalau itu
jabatan publik yang diatur ketentuan hukum yang tidak memperbolehkan
seseorang pemimpin rangkap jabatan. Seorang rektor perguruan
tinggi (PT) yang dalam statuta universitas telah ditetapkan dilarang rangkap
jabatan tentu tak elok jika mencoba menyiasati aturan dan merangkap jabatan
lain. Terlepas, jabatan itu berpotensi menimbulkan konflik kepentingan atau
tidak. Sepanjang dalam statuta
universitas dinyatakan tak boleh rangkap jabatan, tak perlu ditafsirkan lain.
Kritik berbagai pihak terhadap Rektor Universitas Indonesia, Ari Kuncoro yang
merangkap jabatan wakil komisaris utama atau komisaris independen PT BRI,
salah satu contoh. Meski dari segi
kompetensi, Ari Kuncoro sama sekali tidak diragukan kemampuannya. Namun,
karena aturan yang ditetapkan jelas-jelas telah menggariskan rektor tidak
diperkenankan rangkap jabatan, tentu salah jika aturan yang telah disepakati
itu dilanggar. Bagi seorang rektor,
rangkap jabatan tidak saja melanggar etika, tetapi juga berpotensi
menempatkan yang bersangkutan pada situasi dilematis dan konflik kepentingan. Pemimpin PT memiliki tugas
berat, bukan sekadar soal tupoksinya sebagai manajer universitas, melainkan
juga tuntutannya sebagai role model. Artinya, rektor PT harus
memiliki kualifikasi keilmuan mumpuni, tidak cacat moral, dan bisa menjadi
teladan. Kasus rangkap jabatan juga
terjadi di PT lain. Terlepas rangkap jabatan rektor itu diizinkan kementerian
yang menjadi atasannya atau tidak, bagi pimpinan PT yang telah memiliki
aturan yang tak memperbolehkan rangkap jabatan, tentu harus berpikir uang
saat ditawari jabatan lain. Memang dari segi ekonomi,
tambahan gaji yang ditawarkan dalam jabatan lain kebanyakan sangat
menggiurkan. Menjadi komisaris sebuah bank, misalnya, jelas insentifnya
sangat menjanjikan karena bukan tidak mungkin jauh lebih besar daripada gaji
seorang rektor. Masalahnya adalah
penilaian publik. Seorang rektor PT terkenal niscaya mengemban tanggung jawab
moral besar. Perselingkuhan dengan kekuasaan, terlebih kepentingan ekonomi,
berpotensi melahirkan kritik dan pertanyaan mempersoalkan dedikasi yang
bersangkutan. Secara garis besar, ada
dua hal yang dikhawatirkan bakal terjadi jika seorang rektor rangkap jabatan.
Pertama, kemungkinan munculnya pandangan terhadap sikap rektor yang dinilai
inkonsisten karena nekat rangkap jabatan. Kedua, terkait independensi
dan posisi PT di hadapan kekuasaan. Posisi Rektor UI yang juga merangkap
sebagai salah satu komisaris BRI dianggap sebagian pihak
sebagai cara pemerintah "mengendalikan" setiap aktivitas yang
dilakukan atas nama UI. Bisa dibayangkan pula,
bagaimana mungkin seorang rektor yang dilantik gubernur menjadi komisaris
bank daerah mampu bersikap kritis terhadap apa yang dilakukan pimpinan di
wilayahnya. Meski persoalan pengaruh
jabatan dengan sikap independensi pimpinan PT ini masih bisa diperdebatkan, munculnya
penilaian publik niscaya akan memengaruhi citra PT secara keseluruhan. Mengubah
statuta Cara paling mudah
menghilangkan hambatan bagi seorang rektor melakukan rangkap jabatan memang
dengan mengubah statuta dan menghilangkan pasal yang melarang rangkap
jabatan. Namun, pragmatisme seperti ini tidak serta-merta menyelesaikan
masalah. Mengubah aturan hukum yang
berlaku memang menjadi jalan keluar instan untuk mencegah seorang rektor PT
bisa digugat karena melanggar statuta universitas. Masalahnya, implikasi apa
yang bakal terjadi jika langkah pragmatis itu yang dipilih. Rektor UI Ari Kuncoro
dengan legawa mengumumkan keputusannya undur diri dari jabatan wakil
komisaris utama sebuah bank BUMN dan memilih tetap menjadi rektor. Keputusan
ini tentu patut diapresiasi dan diharapkan dapat diikuti rektor lain yang
kini rangkap jabatan. Sebagai pimpinan salah
satu PT terbesar, ia tentu menyadari wibawa PT yang dipimpinnya tengah
dipertaruhkan. Rektor yang berkeras mempertahankan jabatan yang dirangkapnya,
tentu dinilai publik sebagai sosok tak tahan godaan materi dan
kekuasaan. Bagi PT, keberadaan
statuta adalah payung hukum sekaligus kerangka acuan, yang menjadi koridor
apa saja yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan insan kampus.
Statuta disahkan agar bisa mewujudkan sistem baik yang diharapkan tumbuh dan
berkembang di dunia PT. Statuta yang diubah-ubah
sekadar menyesuaikan kepentingan kekuasaan, niscaya akan kehilangan
kewibawaannya. Integritas moral pimpinan
dan wibawa statuta, ibaratnya dua keping mata uang yang dibutuhkan untuk
menghindari godaan perselingkuhan kepentingan ekonomi dan kekuasaan.
Bagaimana pendapat Anda? ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar