”20
Menit” Hendriyo Widi ; Wartawan Kompas |
KOMPAS, 29 Juli 2021
Sejak
awal mula kasus Covid-19 diumumkan pertama kali di Indonesia pada Maret 2020,
kisah Covid-19 selalu bertaut erat dengan kisah ekonomi. Keduanya berjalan
berdampingan meski kerap kali mengalami tarik ulur, kompromi, dan sesekali
ada yang dikesampingkan. Kini,
kisah keduanya memasuki episode 17 (baca: berlangsung selama 17 bulan). Kisah
yang memotret sekian banyak peristiwa mulai dari perjuangan hidup dan mati,
kreativitas, inovasi, solidaritas, harapan, hingga oportunisme atau memetik
keuntungan dengan memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Sebuah serial
panjang yang mungkin tak akan cukup dituturkan sembari makan selama 20 menit. Kendati
begitu, kisah tersebut menyarikan dua benang merah seputar kebijakan
pemerintah dan kedisiplinan masyarakat. Kebijakan dan kedisiplinan yang kerap
kali bisa berubah dalam tempo ”20 menit”, baik lantaran pertimbangan kasus
Covid-19 maupun kepentingan tertentu. Taruhlah
sebagai contohnya, kebijakan vaksinasi gotong royong atau berbayar bisa
berubah ”seketika” dari sisi perluasan program dan regulasinya. Kedisiplinan
masyarakat menerapkan protokol kesehatan dan berdiam di rumah juga bisa
melonggar lantaran urusan perut ataupun terbawa euforia vaksinasi. ”Makan
20 menit” yang diserukan Presiden Joko Widodo dalam rangka pemberlakuan
pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) level 4 pada hari Minggu lalu juga
mencerminkan kondisi tersebut. Bagaimana kebijakan yang mengundang komentar
serius hingga lelucon ini dijelaskan? Pertama,
”makan 20 menit” merupakan kebijakan kompromistis dari penanganan Covid-19
dan pemulihan ekonomi nasional. Kasus positif dan kematian akibat Covid-19
melonjak tinggi, sementara kondisi ekonomi masyarakat dan dunia usaha kian
tertekan lantaran tergerusnya penghasilan. Pada
27 Juli 2021, kasus baru Covid-19 di Tanah Air bertambah 45.203 orang setelah
sehari sebelumnya sebanyak 28.228 kasus. Dengan begitu, total kasus positif
menjadi 3,239 juta kasus. Dalam sehari, jumlah kematian juga bertambah 2.069
orang sehingga total yang meninggal menjadi 86.835 orang. Sementara
itu, omzet pedagang kaki lima, pasar tradisional, dan ritel, misalnya, sudah
tergerus 30-60 persen. Di sisi lain, Badan Pusat Statistik mencatat,
rata-rata upah buruh, karyawan, dan pegawai pada Februari 2021 sebesar Rp
2,86 juta per bulan atau turun dari Februari 2020 yang sebesar Rp 2,911 juta
per bulan. Dalam periode yang sama, rata-rata upah pekerja bebas di sektor
pertanian juga turun dari Rp 1,070 juta menjadi Rp 1,031 juta. Melalui
seruan ”makan 20 menit” itu, pemerintah ingin memastikan penanganan Covid-19
tetap berjalan, masyarakat lebih disiplin menerapkan protokol kesehatan, dan
pelaku usaha mikro hingga besar tetap bisa mendapatkan pemasukan. Kebijakan
itu diambil kendati pengawasan kedisiplinan akan sulit ditegakkan dan
masyarakat sebenarnya sudah terbiasa dengan pola belanja ”bungkus saja” atau take away. Kedua,
”makan 20 menit” merupakan salah satu bagian dari peralihan kebijakan
pemerintah dari PPKM darurat menjadi PPKM level 4. Istilah-istilah yang sulit
dipahami coba dibumikan agar lebih mudah dimengerti dan diterapkan. Hal
ini juga bisa diartikan sebagai kebijakan jalan tengah agar penanganan
kesehatan dan ekonomi berjalan beriringan dengan merujuk pada indikator
penilaian penularan kasus positif Covid-19 di suatu wilayah mulai dari level
1 hingga 4 yang digariskan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Namun,
pelonggaran aktivitas masyarakat ini tetap harus memperhitungkan data riil
kasus dan risiko penularan, bukan berdasarkan kompromi antara sektor
kesehatan dan ekonomi. Sebelumnya,
banyak istilah bermunculan dalam konteks penanganan pandemi Covid-19 dan
pemulihan ekonomi nasional. Sebut saja lockdown (kuncitara), pembatasan
sosial berskala besar (PSBB), normal baru, ”gas dan rem”, dan PPKM mikro.
Gonta-ganti istilah yang berujung pada kebingungan sebagian besar masyarakat
ini sebenarnya punya ”napas” yang sama, yaitu menjembatani antara kepentingan
ekonomi dan kesehatan. Mungkin
pemerintah juga sudah memiliki konsep berdamai dengan Covid-19 seperti yang
tengah digagas Pemerintah Singapura. Sebuah konsep yang sebenarnya mirip
dengan kebijakan normal baru yang pernah diambil Indonesia pada tahun lalu.
Bedanya, konsep berdamai dengan Covid-19 ini menekankan syarat 80 persen
warga telah divaksinasi dan setiap pembatasan yang dilonggarkan hanya akan
diperluas untuk individu yang telah divaksinasi. Dalam
konteks normal baru, penerapan kebijakan tersebut dipercepat untuk
menggantikan PSBB. Apa yang terjadi? Laju kejatuhan ekonomi ke jurang yang
lebih dalam memang dapat ditekan. Namun sebaliknya, laju penambahan kasus
Covid-19 terus bergerak dinamis, bahkan meledak setiap usai libur panjang. Pada
akhirnya, Indonesia tetap jatuh dalam resesi. Tahun
ini, pola yang lebih kurang sama terulang kembali. Ditambah dengan munculnya
varian baru virus korona, Indonesia kembali kesulitan bangkit dari resesi
dengan capaian pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Alih-alih diperkirakan bisa
tumbuh 4,3-5,3 persen, pemerintah dan Bank Indonesia justru merevisi
pertumbuhan ekonomi tahun ini masing-masing menjadi 3,7-4,5 persen dan
3,5-4,3 persen. Sekali
lagi, kebijakan pemerintah mengendalikan pandemi dan kedisiplinan masyarakat
menerapkan protokol kesehatan dan PPKM, apa pun itu skalanya, sangat penting
dan diperlukan. Di sisi lain, jika ingin kesehatan dan ekonomi benar-benar
membaik, kedua sektor tersebut perlu mendapat perhatian besar. ”20 menit”
mungkin tidak akan cukup untuk menelurkan kebijakan yang pas, bukan yang
kontroversial. ”20
menit” juga tidak akan cukup untuk mengalihkan sebagian anggaran tertentu,
seperti suntikan modal negara bagi perusahaan pelat merah tahun 2021 dan 2022
senilai total Rp 106,35 triliun. ”20 menit” juga tidak akan cukup untuk
mengubah orang-orang bebal yang mengabaikan protokol kesehatan. Namun,
”20 menit” sebenarnya lebih dari cukup untuk merenungkan kembali apakah kita
memiliki sense of crisis di tengah
pandemi Covid-19 ini. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar