Museum
Wabah Saras Dewi ; Pengajar Filsafat di Universitas Indonesia |
KOMPAS, 24 Juli 2021
Sekiranya,
apakah yang akan dipikirkan oleh masyarakat puluhan tahun pada masa depan
ketika mereka memasuki museum wabah, menelusuri lorong-lorong yang diisi
berderet peraga dan artefak? Tergambar
di museum itu kesengsaraan serta ketidaksiapan umat manusia menghadapi
cengkeraman pandemi. Dipajang lukisan era kontemporer karya seniman Spanyol,
tertera judulnya, ”El Amor en Tiempos de Pandemia”, cinta pada masa pandemi,
menampilkan sepasang manusia berciuman masih menggunakan maskernya. Terdapat
pula rekonstruksi ruang bangsal isolasi yang simulasinya dipancarkan
menggunakan dinding LED raksasa sehingga para pengunjung dapat merasakan
secara virtual kesepian dan keheningan yang dialami oleh para pasien dan
tenaga kesehatan. Belum
pernah sebelumnya wabah menjadi pusat kehidupan manusia. Museum itu
menunjukkan peralihan pemikiran manusia yang semula terbagi-bagi, terbelah
dengan ambisi ideologisnya—yang akhirnya disadarkan bahwa wabah itu sesuatu
yang lebih besar dari asumsi antroposentrisnya. Betapa
pentingnya arsip mengenai wabah, tidak saja yang direkam dalam
tulisan-tulisan ilmiah, atau ekspresi seni rupa, tetapi juga dalam sastra.
Salah satu sastra kuno tentang wabah yang menarik untuk dibaca adalah
mahakarya Arthasastra. Teks
ini merupakan ajaran filsafat kuno dari abad ke-4 SM yang dituliskan oleh
Kautilya, seorang filsuf dan negarawan pada zaman kekuasaan Dinasti Maurya,
di India. Teks ini masih sangat relevan untuk dipelajari sebab ia
membicarakan peran pemerintah dan pemimpin pada masa krisis. Meski
bentuk kekuasaan yang dibicarakan oleh Arthasastra adalah monarki,
Arthasastra secara kritis mendudukkan posisi pemimpin yang condong pada bobot
kewajiban dan tanggung jawabnya dibandingkan dengan hak atau privilesenya. Arthasastra
menguraikan urgensi kepekaan pemimpin dalam menciptakan kebijakan, khususnya
terkait dengan mitigasi kebencanaan. Arthasastra menekankan pentingnya
perlindungan hutan agar terhindar dari berbagai musibah, dari banjir hingga
petaka kelaparan. Arthasastra
juga mengutamakan sehatnya ekosistem agar terhindar dari berbagai wabah
penyakit. Keselarasan ekosistem flora dan fauna harus dilestarikan. Pada
saat wabah penyakit terjadi, Arthasastra membahas mengenai purifikasi, ada
dua makna purifikasi yang dapat ditafsir, pada satu sisi kehidupan murni dari
sisi spiritualitas, pada sisi yang lainnya adalah kesadaran untuk merawat
keseimbangan lingkungan hidup. Saya
membaca kembali Arthasastra pada masa pembatasan ini, menemani tengah malam
yang kerap diselingi suara ambulans hilir mudik tanpa henti. Begitu pula
pengumuman dari masjid di sebelah rumah, menggunakan pengeras suara menyampaikan
dengan getir, ”Innalillahi… telah meninggal dunia….” Arthasastra
kental aspek religius dan nuansa ritualistiknya. Meski demikian, penulisnya,
Kautilya, adalah seorang pemikir yang rasional. Bagian terakhir dari
Arthasastra menegaskan posisi ilmu pengetahuan yang fundamental dalam
membangun masyarakat yang baik. Dikatakan di dalam salah satu penggalan
ayatnya, ”Maka ilmu ini, diuraikan dengan alat-alat ilmu, telah disusun untuk
pemerolehan dan perlindungan dunia ini dan yang akan datang.” Sains
adalah tumpuan kemanusiaan saat ini supaya kita dapat beradaptasi dari
serangan virus SARS-CoV-2. Segenap kemampuan keilmuan perlu dikerahkan secara
maksimal ke dalam riset-riset yang menghimpun secara transdisipliner,
melintasi kluster keilmuan, dari kesehatan, sains dan teknologi, hingga
sosial dan humaniora. Mempertahankan rasionalitas memang menjadi tantangan di
masa pandemi ini. Histeria
masyarakat diperburuk oleh komunikasi pemerintah yang acap kali simpang siur.
Berita bohong, penyangkalan pada fakta-fakta kesehatan, penolakan pada
vaksin, adalah realitas sosial yang sangat menyedihkan. Saya
berdiskusi dengan Bagus Takwin, seorang peneliti di bidang psikologi yang
mencermati fenomena ini. Ia menyebutkan, setidaknya ada tiga alasan:
epistemik, eksistensial, dan sosial, mengapa ada orang-orang yang lebih
percaya pada grandiose teori konspirasi dibandingkan dengan fakta-fakta
obyektif. Bagus
Takwin menjelaskan, motif epistemik terkait dengan kebutuhan akan pengetahuan
dan kepastian, tetapi ada problem, baik akses maupun kejernihan, dalam
memilah perbedaan sumber yang kredibel dengan yang buruk. Bagus
Takwin melanjutkan, dari aspek sosial, mereka yang percaya dengan teori
konspirasi biasanya orang-orang yang memiliki kebutuhan akan keunikan bahwa
informasi yang mereka miliki istimewa dan superior. Pada level kelompok,
Bagus Takwin mendedah, orang-orang tersebut memiliki perasaan berlebih pada
kelompoknya, dan bersikeras bahwa kelompoknya kurang dihargai sehingga
cenderung memilih narasi yang berbeda. Terakhir
adalah alasan eksistensial, yang muncul karena mereka tidak dapat menerima
rasa tidak berdaya dan hilangnya otonomi. Kekecewaan ini mendorong eskapisme,
terselubunginya kemampuan bernalar benar. Memang
sulit untuk menjadi logis pada saat pandemi. Saya sendiri bergelut dengan
kenyataan harus kehilangan anggota keluarga, sahabat, kolega, guru, hingga
mahasiswa selama satu setengah tahun secara bertubi-tubi. Akal budi serasa
berontak. Tulisan
Fernando Castrillon, seorang psikoanalis, mengatakan, alangkah
menjengkelkannya pandemi ini, tetapi kita harus menerima kenyataan. Ia
menyebutnya dengan convivirus, dalam bahasa Spanyol, convivir, artinya untuk
hidup bersama. Saya
mendengus, malangnya kita, harus menerima entitas mungil, misterius nan
mematikan ini menjadi bagian dari keseharian hidup kita. Entitas yang cerdik
dan tangkas mereplikasikan dirinya menjadi macam-macam varian! Lamunan
saya kembali ke museum wabah pada masa depan dan makna sejarah apa saja yang
akan ditampakkan di dalamnya. Pandemi SARS-CoV-2 merobek ekonomi, suatu
tragedi keadilan sosial global. Sengkarut
tumbangnya kesehatan publik dan tersisihnya hak asasi manusia untuk
mendapatkan kesetaraan akses kesehatan. Terpampang diorama yang menggambarkan
kefrustrasian warga mencari tabung oksigen, sedangkan pada ekstrem yang
lainnya, komersialisasi vaksin amat memilukan bagi kemanusiaan. Menjelang
pengujung museum, pengunjung ditunjukkan hologram yang mencekam, para
penggali kubur dengan pakaian hazmat berdiri kelelahan di hamparan kuburan
massal. Keluarga yang menangis di kejauhan, mereka tidak dapat bertatap muka
untuk menyentuh, merangkul, atau menggenggam tangan pasien di detik-detik
terakhir kehidupannya. Sinaran
hologram itu memendarkan wajah-wajah penuh air mata. Dokumentasi ini
menunjukkan bahwa mereka yang terenggut nyawanya bukanlah statistik belaka,
mereka lebih dari sekadar angka. Mereka
yang percaya dengan teori konspirasi biasanya orang-orang yang menilai
informasi mereka itu istimewa dan superior. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar