Balada
Amir Sjarifuddin Selalu Gagal Kuasai Militer & Intelijen Petrik Matanasi ; Jurnalis Tirto |
TIRTO.ID, 27 Juli 2021
Di antara tokoh-tokoh
gerakan bawah tanah anti-Jepang, Amir Sjarifuddin pastilah salah satu yang
paling membenci Jepang. Pasalnya, Amir pernah merasai sendiri pedihnya
siksaan tentara fasis Jepang. Amir juga hampir dihukum mati setelah jaringan
bawah tanahnya terbongkar pada 1943. Amir selamat dari hukuman
mati berkat lobi Sukarno dan Hatta. Tapi, dia baru bebas dari penjara pada
Oktober 1945, setelah Jepang kalah. Pemerintah Indonesia yang baru terbentuk
kemudian menunjuk Amir menjadi Menteri Penerangan. Amir adalah politisi yang
paling jelas memperlihatkan sifat aslinya dibandingkan kebanyakan politisi
Indonesia di zaman apapun. Ketika Sutan Sjahrir naik
menjadi Perdana Menteri Indonesia pada 14 November 1946, Amir ditunjuk
menjadi Menteri Keamanan Rakyat. Pada awal 1946, nomenklatur kementeriannya
diubah menjadi Kementerian Pertahanan. Sebagai menteri, Amir
berusaha mengendalikan lembaga-lembaga di sekitar kementeriannnya—dalam hal
ini adalah militer dan intelijen. Namun, para petinggi militer saat itu tidak
menyukainya karena Amir dipandang sebagai agen komunis. Maklum, para petinggi
militer saat itu kebanyakan adalah orang-orang antikomunis didikan militer
kolonial Belanda maupun militer fasis Jepang. Pada 24 Januari 1946,
nomenklatur Tentara Keselamatan Rakyat (TKR) diubah menjadi Tentara Republik
Indonesia. Tak hanya berubah nama, sebuah panita reorganisasi militer pun
dibentuk di bawah pimpinan Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo. Menurut Ulf Sandhaussen
dalam Politik Militer Indonesia 1945-1967 (1986, hm. 18), panitia itu
kemudian menciutkan organisasi tentara yang mulanya ada 16 divisi menjadi 10
divisi. Jumlah resimennya juga makin berkurang. Di luar itu, sebenarnya masih
banyak “kesatuan siluman” yang beroperasi dengan jumlah personel dan persenjataan
yang tidak sesuai dengan tingkat satuannya. Di zaman Amir menjadi
Menteri Pertahanan itu, Oerip yang merupakan pensiunan mayor KNIL (tentara
kolonial Hindia Belanda) dipertahankan sebagai kepala staf. Sementara itu,
jabatan panglima tentara nasional dipegang oleh Jenderal Sudirman. Sudirman
terpilih berdasarkan hasil pemungutan suara para komandan resimen, bukan
pilihan Presiden. Amir rupanya sulit akur
dengan Jenderal Sudirman. Pasalnya, Amir punya sentimen tersendiri terhadap
Sudirman yang merupakan bekas daidancho (komandan batalyon) Pembela Tanah Air
(PETA) bentukan Jepang. “Tentara penjajahan
Belanda dan Jepang karena berjiwa kolonialis gampang bertindak fasis,
sewenang-wenang dan kejam terhadap rakyat,” kata Amir dalam keterangan yang dimuat
majalah Boeroeh (15/04/1947) dan dikutip ulang oleh Soe Hok Gie dalam
Orang-orang Di Persimpangan Kiri Jalan (1997, hlm. 93). Pernyataan Amir itu
membuat Panglima Divisi Siliwangi Kolonel Abdul Haris Nasution tersinggung
karena merasa dicap sebagai Agen NICA. Menurut Soe Hok Gie, periode 1945
hingga 1948 memang merupakan tahun-tahun penuh ketegagangan antara tentara
nasional dan kelompok kiri. Usaha
Mengimbangi Tentara Menurut Sundhaussen, Amir
ingin menempatkan tentara di bawah pengawasannya, tapi usahanya mentok karena
ketidakakurannya dengan para pimpinan tentara antikomunis. Karena itulah, dia
kemudian mengakomodasi satuan-satuan laskar yang kuat untuk mengimbangi kekuatan
tentara nasional. Amir terang lebih bisa mengakrabkan diri dengan kelompok
laskar karena mereka bukan berasal dari KNIL yang dianggapnya kolonialis atau
PETA yang fasis. Kelompok kiri di
Kementerian Pertahanan lalu membangun Biro Perdjungan untuk membina
laskar-laskar. Menurut Hok Gie, Kementerian Pertahanan mengucurkan bantuan
kepada laskar-laskar itu dengan maksud mengikat kesetiaannya. Kementerian
Pertahanan juga menugaskan orang-orang kepercayaannya untuk menjadi
koordinator laskar di daerah. Di Jawa Barat, ada Kolonel
Soetoko. Lalu, ada pula Jenderal Mayor Djoko Soedjono untuk Jawa Tengah dan
di Jawa Timur ada Jenderal Mayor Koesnandar. Ketiganya adalah tokoh dari
Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) yang dekat dengan Amir. Biro Perdjuangan
lalu berkembang menjadi TNI Masjarakat. Di samping TNI Masjarakat,
Amir juga mengadakan jabatan perwira politik yang mirip dengan jabatan
komisar di Uni Soviet. Ia adalah seorang perwira yang mendampingi komandan
pasukan untuk urusan politik di lapangan. Pada awal 1946, Amir membentuk
sebuah “sekolah” khusus untuk mendidik calon-calon perwira politik. Lembaga itu kemudian
dikenal sebagai Pendidikan Perwira Politik alias Pepolit. Amir pun
mendudukkan beberapa tokoh sosialis untuk menjadi koordinator Pepolit, di
antaranya Jenderal Mayor Soekono Djojopratiknja, Jenderal Mayor Wijono, dan
Soemarno. Lain itu, ada pula orang Masyumi seperti Haji Ma’ruf dan Haji
Mukti, eksponen Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) seperti Anwar
Tjokroaminoto, dan Dr Moestopo. Pada 30 Mei 1946, Amir
melantik sebanyak 55 perwira politik dari Pepolit. Di hadapan publik, Amir
menyatakan harapan agar Pepolit bisa merapatkan hubungan antara tentara dan
rakyat. Namun, para perwira politik itu jelas tak mampu merapatkan rakyat dan
tentara—bahkan tidak pernah membuat tentara tunduk di bawah Amir. Ambisi Amir menguasai
tentara benar-benar pupus kala dia terdepak dari kursi Perdana Menteri pada
1948. Kebanyakan tentara tetap lebih taat kepada perwira mereka di Markas
Besar Tentara Yogyakarta, bukan Kementerian Pertahanan yang dipimpin Amir. Gagal
Pula di Lapangan Telik Sandi Pada Juli 1946, Menteri
Pertahanan Amir membentuk sebuah badan intelijen yang disebut Badan
Pertahanan B. Bekas Komisaris Polisi Soekardiman ditunjuk menjadi kepalanya.
Pembentukan Badan Pertahanan B itu sebenarnya agak aneh karena saat itu telah
ada Badan Rahasia Negara Indonesia (BRANI) yang juga berfungsi sebagai badan
telik sandi. Kepala BRANI Kolonel
Zulkifli Lubis tidak suka akan eksistensi Badan Pertahanan B itu. Dia adalah
salah satu tentara didikan militer Jepang generasi pertama. Dia pernah
bergabung dengan PETA dan mendapat pendidikan intelijen. Belakangan, dalam sebuah
wawancara dengan wartawan majalah Tempo (29/7/1989), Lubis menyebut Amir
berambisi mengendalikan badan intelijen negara. Buktinya, BRANI kemudian di
lebur ke dalam Badan Pertahanan B dengan sebutan baru: Bagian V. Amir yang
tidak mempercayai bekas perwira didikan Jepang itu lantas menunjuk
Abdurachman Atmosudirdjo—bekas letnan cadangan Angkatan Laut Kerajaan
Belanda—untuk mengepalai Bagian V. Penunjukan itu pun aneh
karena menurut Ken Conboy dalam Intel: Menguak Tabir Dunia Intelijen
Indonesia (2007, hlm. 7) Abdoelrachman “tidak memiliki latar belakang
pendidikan formil di bidang intelijen”. Dalam Bagian V itu pun Amir lagi-lagi
menempatkan beberapa orang kiri sekutunya. “Saya jadi wakil
Abdoelrahman. Di situ ikut orang-orang PKI, seperti Fatkur, Tjoegito,” aku
Lubis. Tjoegito yang disebut
Lubis itu adalah penasihat Bagian V. Tjogito adalah bekas pemimpin Pesindo
yang dulunya pernah jadi tahanan Jepang pula seperti Amir. Usia Bagian V tidak lama
karena ia segera bubar seiring jatuhnya Kabinet Amir Sjarifuddin pada awal
1948. Lagi pula, kinerja Bagian V juga kerap dikritik hanya menguntungkan
orang-orang sayap kiri seperti Amir. Laporan Kementerian
Pertahanan RI Nomor 883 (tanggal 5 Maret 1948) dalam koleksi Arsip Nasional
Indonesia menyebut, “Dari beberapa laporan-laporan yang tertentu di Bagian V,
yang turunannya hanya dikirimkan kepada kliknya sendiri, tidak hanya di
jawatan resmi, akan tetapi juga di badan yang tidak resmi, tidak hanya kepada
Kementerian Pertahanan, Kementerian Pertahanan Bagian C (ALRI), Markas besar
Polisi Tentera Laut (MBPTL), Biro Perjuangan Djokosujono, akan tetapi juga
kepada pucuk pimpinan Pesindo, Politibiro Partai Sosialis, Markas Besar PKI.”
Setelah habis karir
politiknya di pemerintahan, Amir terlibat petualangan bersama Front Demokrasi
Rakyat (FDR) di sekitar Madiun. Setelah tertangkap dalam petualangannya yang
suram, Amir dihukum mati di Ngalihan bersama tokoh kiri lain yang terlibat. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar