Mengawal
Efektivitas Program Bantuan Sosial Bagong Suyanto ; Dekan FISIP Universitas Airlangga |
JAWA POS, 22 Juli 2021
PERPANJANGAN penerapan
kebijakan PPKM darurat niscaya akan melahirkan berbagai masalah baru jika
tidak diantisipasi dengan baik. Presiden Joko Widodo telah memerintahkan
Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan untuk
memastikan agar tidak ada rakyat yang kelaparan karena kebijakan PPKM darurat. Pernyataan presiden ini
bukan tanpa dasar. Sejak pandemi Covid-19 merambah ke berbagai daerah, nyaris
semua lini kehidupan terpengaruh. Penerapan kebijakan PPKM darurat
menyebabkan tidak ada lagi daya tahan masyarakat yang tersisa. Masyarakat
yang semula aktivitas perekonomiannya kembali menggeliat, kini gairah itu
kembali surut. Di berbagai daerah, penerapan pembatasan mobilitas sosial
masyarakat dan pembatasan jam operasional pasar tradisional, warung, PKL, dan
sebagainya membuat denyut perekonomian kembali kolaps. Bagi masyarakat yang
mengandalkan penghasilan harian, dampak penerapan kebijakan PPKM darurat
sangat terasa. Mereka tidak lagi memiliki sumber pemasukan yang bisa
diandalkan. Kebutuhan hidup sehari-hari terasa makin berat. Bahkan mustahil dipenuhi
akibat tidak adanya tabungan yang tersisa. Tanpa dukungan program bantuan
sosial dari pemerintah, sepertinya tidak ada lagi harapan yang bisa
diandalkan. Rawan
Penyimpangan Seperti diketahui,
presiden telah menetapkan perpanjangan pemberlakuan pembatasan kegiatan
masyarakat (PPKM) darurat hingga 25 Juli 2021. Agar tidak menyengsarakan
masyarakat, kebijakan yang bertujuan untuk menekan laju persebaran Covid-19
itu diiringi percepatan dan perluasan program bantuan sosial. Dana yang
disiapkan mencapai Rp 55 triliun. Sebagian dirupakan dalam
bentuk bantuan sosial tunai (BST) yang menyasar 10 juta penerima bantuan dan
penerima bantuan pangan nontunai (BPNT) sebanyak 18,8 juta. Selain itu,
program bantuan sosial menyasar penerima program keluarga harapan (PKH)
sebanyak 10 juta. Anggaran Rp 55 triliun juga akan disalurkan untuk subsidi
listrik, bantuan kuota bagi siswa, bantuan dalam bentuk beras, dan lain-lain. Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) dilaporkan akan memberikan pengawalan terhadap seluruh penyaluran
bantuan sosial Covid-19. Lembaga antirasuah itu telah menegaskan dan meminta
pemerintah bersikap transparan dan akuntabel terkait dengan penyaluran dana
bantuan sosial. Pelibatan KPK dalam
mengawal penyaluran bantuan sosial ini bukan tanpa alasan. Belajar dari
pengalaman tahun-tahun sebelumnya, penggunaan dana bantuan sosial rawan
dikorupsi. Seperti kasus menteri sosial sebelumnya, penyaluran dana bansos
ternyata menjadi bancaan sejumlah elite politik. Alih-alih menyalurkan
bantuan sosial dengan benar, justru dalam praktik sebagian dana ditilap untuk
kepentingan politik maupun kepentingan pribadi. Meski mekanisme penyaluran
bantuan sosial telah dirancang sedemikian rupa, bukan berarti tidak ada
kemungkinan kebocoran kembali terjadi. Dalam program pemberian bantuan tunai,
misalnya, tidak semua penerima bansos tunai memiliki rekening bank sehingga
masih harus disalurkan melalui pihak ketiga semisal RT, RW, atau kepala desa.
Pada titik ini, bukan tidak mungkin terjadi praktik-praktik lancung yang merugikan
masyarakat. Dari segi hukum, pelibatan
KPK dalam pengawasan pemanfaatan dan penyaluran bansos tentu sudah seharusnya
dilakukan. Meski demikian, untuk lebih menjamin agar pengawasan bansos
benar-benar berjalan transparan, yang dibutuhkan sesungguhnya adalah
pelibatan partisipasi publik. Sebagai subjek utama dan
pihak yang memahami dinamika di lapangan, masyarakat akan dapat menjadi
watchdog yang efektif. Tinggal bagaimana pemerintah membuka saluran keluhan
dan bersedia mendengar berbagai masukan masyarakat tentang kemungkinan
terjadinya praktik penyimpangan dalam penyaluran bantuan sosial. Program yang
sifatnya top-down dan tidak mengedepankan pengawasan secara bottom-up niscaya
akan rawan gagal (Crescenzi and Rodriguez-Pose, 2011). Tidak
Ada Yang Tersisa Memperpanjang kebijakan
PPKM darurat tentu bukan keputusan mudah. Ini adalah keputusan yang
dilematis. Di satu sisi, masyarakat yang sudah 16 bulan mengalami penurunan,
bahkan hilangnya pendapatan akibat Covid-19, tentu peluang mereka untuk
bangkit menjadi lebih sulit jika mobilitas dibatasi. Di sisi lain, membiarkan
pergerakan dan terjadinya kerumunan tanpa pembatasan tentu akan rawan memicu
kembali kenaikan korban Covid-19. Saat ini, apa pun
keputusan yang diambil pemerintah niscaya akan sama-sama berisiko.
Mendahulukan aspek kesehatan ataukah mengedepankan kelangsungan usaha
masyarakat adalah pilihan yang dilematis. Perlu disadari bahwa kondisi
sosial-ekonomi masyarakat saat ini berbeda dengan awal-mula pandemi Covid-19
mulai merambah tanah air. Di awal pandemi Covid-19
mulai meluas, sebetulnya tidak terlalu menjadi masalah ketika pemerintah
memberlakukan kebijakan PSBB atau bahkan lockdown sekalipun. Kenapa? Karena
masyarakat umumnya masih memiliki tabungan dan aset yang bisa dimanfaatkan
untuk memenuhi kebutuhan hidup sanak keluarganya. Tetapi, lain soal setelah
pandemi Covid-19 berlangsung hampir dua tahun. Bisa dipastikan, saat ini
tabungan dan aset sebagian besar masyarakat pelan-pelan telah tergerogoti.
Sebagian bahkan mungkin sama sekali tidak ada lagi yang tersisa. Meminta
masyarakat diam di rumah tanpa sumber penghasilan tentu tidak mungkin
dilakukan. Tindakan oknum aparat yang represif dan tidak humanis niscaya
hanya akan melahirkan perlawanan masyarakat. Dengan disalurkannya
berbagai program bantuan sosial, daya tahan masyarakat melangsungkan
kehidupannya mungkin dapat diperpanjang. Masyarakat yang usahanya bangkrut,
korban PHK, dan orang-orang yang tidak lagi memiliki sumber penghasilan di
atas kertas akan dapat bertahan hidup ketika mendapatkan subsidi dari
pemerintah. Masalahnya adalah seberapa banyak masyarakat yang terdampak
pandemi Covid-19 telah terjangkau bantuan sosial pemerintah itu? Benarkah
masyarakat yang membutuhkan bantuan sosial hanya masyarakat miskin yang masuk
dalam data yang telah di-update sesuai dengan perkembangan terakhir? Kalau mau jujur, dengan
dana hanya Rp 300 ribu dan bantuan beberapa kilogram beras, sebetulnya tidak
banyak hal yang bisa diharapkan. Ibarat orang yang berdiri di air sebatas
dagu, riak sekecil apa pun niscaya akan membuat masyarakat korban pandemi
Covid-19 mati tenggelam. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar