Dirjenbud
Depdikbud Dag-dig-dug Budiman Tanuredjo ; Wartawan Senior Kompas |
KOMPAS, 24 Juli 2021
Judul
itu saya ambil dari harian Kompas, 1 Februari 1984, ditulis wartawan Kompas
Rudy Badil. Badil menulis kunjungan Direktur Jenderal Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan Prof Dr Haryati Soebadio ke Banten. Ada pertunjukan debus di
sana. Haryati cemas dan khawatir melihat debus. Secara demonstratif, Badil membuat judul full
akronim. Daniel
Dhakidae dalam buku Cendekiawan dan Kekuasaan (2003) menulis, cara Badil menulis judul full akronim sebagai bentuk resistensi
komikal melawan membanjirnya akronim yang diproduksi Orde Baru. Judul Badil
memamerkan seluruh gegap gempita perpaduan bunyi yang membawa efek dahsyat
onomatopeik yang secara tepat mendeskripsikan debus Banten. Judul
itu tentu membingungkan pembaca karena mengacaukan semua konvensi. Masa
pandemi Covid-19 juga memproduksi akronim dan singkatan. Singkatan terbaru
yang diperkenalkan adalah PPKM (pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat)
level 1-4. PPKM berlevel ini menggantikan PPKM darurat. PPKM darurat
menggantikan PPKM mikro. PPKM mikro menggantikan PSBB (pembatasan sosial
berskala besar). Ada juga 3M, kemudian menjadi 6M. Ada juga 3T (testing,
tracing, dan treatment). Kebijakan
dalam bentuk akronim dan singkatan berganti, tapi kasus positif terus
meninggi. Data menunjukkan, tingkat penularan kian cepat. Untuk 1 juta kasus
positif pertama (2 Maret 2020-26 Januari 2021) butuh 331 hari. Kemudian,
butuh 147 hari lagi untuk menembus 2 juta. Dan, butuh 31 hari untuk menyentuh
3 juta kasus positif. Kebijakan
dengan akronim dan singkatan tidak otomatis langsung dipahami pelaksana di
lapangan, apalagi rakyat. Akibatnya, muncul oversimplifikasi, ”hanya
menjalankan tugas”, untuk menutup lapak kaki lima. Juga tidak terlalu mudah
memahami PPKM berlevel dengan segala kriteria yang cukup rumit. Situasi
kedaruratan Covid-19 sejalan dengan PPKM darurat, tetapi kebijakan itu
diganti dengan PPKM berlevel. Kebijakan
dengan akronim baru terasa memukau. Namun, jangan-jangan substansinya hanya
dipahami pejabat pembuat. Pejabat ditempatkan sebagai sumber kebijakan,
sumber pengetahuan. Sayangnya, pembuat kebijakan jarang muncul menjelaskan
kepada publik menyosialisasikan teks dan konteks kebijakan PPKM berlevel.
Akibatnya, penafsiran berkembang liar. Meminjam istilah Sutan Takdir
Alisjahbana yang dikutip Dhaniel Dhakidae, mengibaratkan bahasa Indonesia
dalam puisi seperti ”kegirangan sahut-menyahut kicauan burung-burung di
hutan”. Begitu merdu didengar, diperdebatkan, tapi tidak ada yang tahu apa
maksudnya. Dalam
praktiknya, penyampai pesan kadang terlalu berimprovisasi. Lihat saja
kesemrawutan komunikasi menjelang berakhirnya PPKM darurat pada 3-20 Juli
2021. Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir
Effendy mengatakan, PPKM darurat diperpanjang hingga akhir Juli 2021. Bahkan,
ditambahi ilustrasi soal status ”darurat militer” meski tidak di-declare
pemerintah. Keesokan
harinya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut
Pandjaitan mengatakan, perpanjangan PPKM darurat baru ditentukan Presiden
Jokowi dua-tiga hari ke depan. Dan, tepat 20 Juli 2021, saat berakhirnya PPKM
darurat, Presiden Jokowi mengumumkan PPKM diperpanjang hingga 25 Juli dan
jika ada penurunan tingkat penularan, 26 Juli 2021 akan ada pengenduran.
Pesan-pesan yang disampaikan boleh jadi tidak salah, tapi tidak utuh. Kebingungan
baru berpotensi kembali terjadi. Wakil Presiden Ma’ruf Amin dalam arahannya
kepada kepala daerah, antara lain, mengatakan, ”Soal penggunaan antigen dan
PCR (polymerase chain reaction). Kalau saya amati, antigen itu positivity
rate-nya rendah. Jangan terlalu banyak antigen.” Komentar
warganet beragam karena kurang jelasnya maksud Wapres Amin. Apakah yang
dimaksud Wapres Amin tidak perlu lagi menggunakan tes usap atau swab antigen
tapi langsung menggunakan tes PCR. Harga PCR masih mahal dan memakan waktu
beberapa hari. Ada juga kisruh soal data vaksin dan kecepatan vaksinasi di
sejumlah daerah. Presiden
Jokowi menyadari kelemahan komunikasi yang ada. ”Jangan sampai masyarakat
frustrasi gara-gara kesalahan kita dalam komunikasi, kesalahan kita dalam
menjalankan policy,” kata Presiden Jokowi, 17 Juli 2021. Pernyataan
Presiden Jokowi benar. Komunikasi menjadi salah satu faktor penentu
keberhasilan penanganan pandemi. Di negeri ini, ada kesan, jika ada kasus
besar dan menjadi agenda publik, semua pejabat menghindar untuk menjelaskan
dan membiarkan publik menafsirkan sendiri. Sebaliknya, dalam kasus lain,
semua pejabat berbicara, semua juru bicara berbicara, semua humas bicara,
para komentator bicara dalam bahasa sendiri-sendiri. Akibatnya, kebingungan
terjadi. Selain
pengendalian pandemi di hulu dan hilir, dengan segala derivasi
permasalahannya, saatnya ada juru bicara pemerintah tunggal yang memimpin tim
komunikasi. Juru bicara yang kredibel dan jujur, dipercaya publik karena
otoritasnya, menguasai data dan permasalahan, punya empati terhadap derita
warga, serta punya rekam jejak ”tidak pernah berbohong”. Juru bicara
yang jujur menyampaikan fakta,
mengingatkan adanya kegentingan, tapi juga menawarkan harapan dan menegaskan
bahwa negara hadir. Informasi
kredibel pemerintah itu penting untuk menanggapi terjadinya ledakan informasi
(information explotion) yang bisa mengakibatkan kecemasan (information
anxiety). Komunikasi pemerintah harus dilandasi pemahaman realitas empirik
psikologi masyarakat yang berada pada posisi kejengkelan sosial (social
resentment) terhadap kebijakan pandemi dan pola komunikasi tak berempati. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar