Menggenjot
Pedal Vaksinasi Iqbal Mochtar ; Pemerhati Masalah Kesehatan; Dokter dan
Doktor Bidang Kedokteran dan Kesehatan |
KOMPAS, 22 Juli 2021
Indonesia sedang tidak
”baik-baik saja”. Perkembangan pandemi Covid-19 makin mencemaskan. Dalam
beberapa hari terakhir, jumlah kasus terus meroket: melebihi 50.000 kasus. Figur ini tidak pernah
terjadi sebelumnya. Pada puncak Januari-Februari lalu, jumlah kasus baru
sekitar 14.000 kasus. Saat ini juga, positive rate nasional berkisar 15-28
persen. Di beberapa daerah, positive rate harian sempat melebihi 50 persen.
Artinya, dari 100 orang yang dites, yang positif lebih dari 50 orang. Ini
sangat tinggi dan menunjukkan tingkat penyebaran virus yang masif. Banyak rumah sakit
dijubeli pasien, bahkan sampai di koridor dan tenda-tenda buatan. Sebuah
laporan menyebutkan, tingkat hunian (bed occupancy rate/BOR) sejumlah rumah
sakit telah mencapai 100 persen. Sudah penuh. Saat bersamaan, setidaknya 30
dokter dan puluhan tenaga kesehatan (nakes) lain gugur dalam beberapa minggu
terakhir. Klop sudah. Indonesia
masuk fase kritis. Saat menghadapi fenomena begini, sejumlah negara mengambil
langkah tegas, yaitu lockdown. Namun, Pemerintah Indonesia memilih strategi
lain. Mereka hanya mengimplementasikan pemberlakuan pembatasan kegiatan
masyarakat (PPKM) darurat. Alasannya, pertimbangan ekonomi. Sejumlah ahli mengkritik
penanganan pemerintah. Katanya tidak tepat dan bahkan gagal. Mereka beropini
bahwa dalam kondisi kritis, PPKM bukan hanya tidak adekuat, tetapi juga tidak
dapat diimplementasikan secara efektif. Fenomena
yoyo Hingga sejauh ini,
penatalaksanaan yang dianggap efektif bagi pandemi Covid-19 hanya ada dua
jenis, yaitu protokol kesehatan dan vaksinasi. Penatalaksanaan lain belum
terbukti secara empiris. Dari kedua penatalaksanaan ini, protokol kesehatan
lebih bersifat temporer. Artinya, apabila pelaksanaannya dilakukan secara
ketat dan baik, jumlah kasus dan kematian akan menurun. Namun, ketika protokol
kesehatan dilonggarkan, jumlah kasus dan kematian akan meningkat lagi. Ini
menjadi alasan mengapa Inggris dan sejumlah negara Eropa lainnya pada waktu
lalu terpaksa melakukan lockdown berulang-ulang. Karena kasus dan kematiannya
naik-turun sesuai tingkat implementasi protokol kesehatan. Seperti yoyo.
Fenomena yoyo. Fenomena yoyo ini akan
terus berlangsung hingga tercipta suatu kondisi stabil (steady state
condition) yang disebut kekebalan komunal (herd immunity). Herd immunity
tercapai apabila 70 persen masyarakat telah memperoleh antibodi, baik lewat
vaksinasi maupun karena telah pernah terinfeksi Covid-19. Apabila 70 persen
komunitas telah memperoleh antibodi, proses transmisi virus akan melambat
karena penyebaran virus terhambat oleh orang-orang yang telah memiliki
proteksi terhadap virus. Kasarnya, virus di-contain atau diisolasi. Dalam kenyataannya, konsep
herd immunity ini bukan sebatas teori. Konsep ini telah diimplementasikan di
sejumlah negara. Saat ini, setidaknya tujuh negara telah menghentikan
kebijaksanaan penggunaan masker, baik secara penuh maupun parsial. Di Amerika
saat ini, orang dapat berjalan ke mana-mana tanpa masker. Saat Piala Eropa di Eropa,
masyarakat memenuhi stadion sepak bola dan hampir semuanya tanpa masker. Kebijakan
melepas masker ini telah dipertimbangkan masak-masak dan disetujui ahli
kesehatan mereka. Alasan utamanya, mereka telah memvaksinasi sebagian besar
penduduknya atau telah mencapai herd immunity. Dan tentu saja
pertimbangan ini didasarkan bukti klinis dan epidemiologis yang jelas, bukan
berdasar isu media sosial atau analisis pihak tak kompeten. Isu
cakupan vaksinasi Per 17 Juli, sebanyak 41,3
juta penduduk Indonesia telah mendapat satu dosis vaksin dan 16,2 juta
penduduk telah mendapat dua dosis. Ini berarti, 15 persen penduduk telah
mendapat dosis pertama dan 6 persen mendapat dosis lengkap. Ada tiga isu terkait figur
ini. Pertama, cakupan ini belum memuaskan, terutama apabila mempertimbangkan
kondisi kritis yang terjadi saat ini. Apalagi, program ini telah berada pada
bulan keenam. Terkait dosis lengkap
vaksin, cakupan Indonesia ini sedikit lebih baik daripada cakupan Filipina
dan Thailand, tetapi jauh lebih rendah dari cakupan vaksinasi Malaysia (13
persen), Singapura (44 persen), dan cakupan tingkat dunia (13 persen).
Apabila cakupan Indonesia tetap seperti ini, diperlukan lebih dari lima tahun
untuk mencapai herd immunity. Presiden Jokowi sendiri geram karena ternyata
banyak stok vaksin yang belum terpakai. Kedua, terjadi disparitas
cakupan. Sejumlah provinsi di Indonesia yang memiliki kasus kumulatif besar,
cakupan vaksinasinya justru rendah. Sebaliknya, provinsi dengan kasus
kumulatif rendah, cakupan vaksinasinya besar. Jawa Barat memiliki kasus
kumulatif terbesar sesudah DKI, tetapi cakupan vaksinasi pertamanya pada
penduduk masih 12,2 persen. Jawa Tengah pun demikian,
cakupan vaksinasi dosis pertama penduduknya masih 14,5 persen. Bandingkan
dengan Gorontalo yang kasus kumulatifnya cukup rendah, tetapi cakupan
vaksinasinya pada sasaran prioritas sudah cukup besar, yaitu 20 persen.
Disparitas ini menjadi kendala percepatan herd immunity. Seharusnya daerah
dengan kasus kumulatif besar mencapai cakupan vaksinasi yang besar. Ketiga, stok vaksin. Per 1
Juli, pemerintah memiliki 3 juta dosis vaksin Sinovac bentuk jadi, 105,5 juta
vaksin Sinovac bentuk bulk, 8,3 juta vaksin AstraZeneca bentuk jadi, dan 2
juta vaksin Sinopharm bentuk jadi. Total stok 116 juta dosis. Selain itu, terdapat
tambahan vaksin dalam minggu-minggu terakhir ini yang membuat jumlah stok
vaksin yang tersedia 137 juta. Dosis ini cukup untuk target beberapa bulan.
Namun, apabila mempertimbangkan perlunya percepatan vaksin dan pencapaian
herd immunity, stok ini belum cukup. Untuk mencapai herd
immunity, vaksin harus diberikan kepada 70 persen atau 182 juta penduduk.
Artinya, total dosis vaksin yang dibutuhkan sekitar 400 juta dosis, termasuk
wastage dose. Pemerintah harus berupaya mencari stok ini. Genjot vaksinasi. Pemerintah tidak punya
pilihan lain kecuali menggenjot pelaksanaan vaksinasi. Tanpa cakupan
vaksinasi yang luas, fenomena yoyo pandemi akan terus berlangsung dan kondisi
kritis seperti ini dapat memberat dan bahkan berulang. Pemerintah perlu
memperhatikan tiga hal. Pertama, prioritas vaksin jangan hanya diberikan pada
kelompok tertentu, seperti kelompok lansia, petugas publik, dan tenaga
kesehatan. Perlu diperluas segera dengan memasukkan prioritas wilayah. Program vaksinasi harus
digenjot dan dipercepat pada daerah-daerah berisiko tinggi, yaitu daerah yang
memiliki kasus kumulatif dan positive rate yang tinggi. Pada daerah-daerah
berisiko tinggi, masyarakat yang berminat vaksinasi harus diberikan kemudahan
walaupun mereka bukan warga lansia, petugas publik, atau tenaga kesehatan. Prosedurnya pun
dipermudah, tidak perlu diperberat. Perlu dibuka tenda-tenda walk-in di mana
orang yang berminat vaksinasi dapat singgah, mengisi formulir sederhana, dan
langsung mendapat vaksinasi. Perlu dibuka pos vaksinasi
di bandara, stasiun, dan pelabuhan. Apabila perlu, dilakukan vaksinasi
door-to-door dengan pendekatan humanis. Intinya, harus dicapai cakupan
vaksinasi yang besar atau herd immunity sesegera mungkin pada daerah-daerah
risiko tinggi, terutama DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Cakupan di sini adalah
cakupan pada seluruh masyarakat dan bukan hanya cakupan kelompok lansia,
petugas publik, dan petugas kesehatan. Pengalaman di negara lain menunjukkan
bahwa semakin tinggi cakupan vaksinasi, semakin rendah kejadian kasus baru
dan kematian. Dan efek proteksi vaksinasi terhadap komunitas akan lebih besar
apabila vaksinasi diberikan pada daerah berisiko tinggi. Kedua, pemerintah perlu
menerapkan insentif dan disinsentif untuk program vaksinasi. Mereka yang
telah mendapatkan vaksinasi perlu diberikan sertifikat vaksin yang dapat
digunakan untuk kemudahan kegiatan. Dengan sertifikat ini, mereka
diperbolehkan masuk ke perkantoran dan institusi pemerintah serta melakukan
perjalanan darat, laut, dan udara. Tanpa sertifikat, akses dibatasi. Alasan ini rasional karena
petugas perkantoran, institusi, dan masyarakat perlu dilindungi dari
transmisi penyakit. Tahapan selanjutnya adalah menjadikan sertifikat vaksin
sebagai kartu akses (access card) untuk masuk bank, hotel, mal, dan
tempat-tempat wisata. Tidak diperbolehkan
memasuki fasilitas umum apabila belum menjalani vaksinasi. Kemudahan kegiatan
ini menjadi insentif bagi yang telah melakukan vaksin dan menjadi disinsentif
bagi yang tidak melakukan. Strategi ini bermanfaat tidak hanya dalam
meningkatkan cakupan vaksinasi, tetapi juga menekan penyebaran paham
antivaksin yang masih marak di masyarakat. Namun, opsi ini baru dapat
dilakukan apabila pemerintah telah memiliki stok vaksin yang cukup. Jangan
sampai terjadi masyarakat ditolak masuk bank karena tak melakukan vaksinasi,
sementara penyebabnya adalah ketidakadaan stok vaksin. Saat ini, pemerintah sibuk
mempersiapkan rumah sakit sejalan melonjaknya kasus Covid-19 yang membutuhkan
perawatan. Upaya ini penting karena terkait tindakan kuratif, yaitu
penyelamatan dan penyembuhan orang sakit. Proporsi orang yang membutuhkan
perawatan berkisar 10-20 persen dari penderita Covid-19. Saat bersamaan, pemerintah
menggiatkan upaya mendeteksi orang terinfeksi dengan metode test dan trace.
Upaya ini juga penting karena menyangkut diagnosis orang terinfeksi atau
sakit. Namun, kedua kegiatan ini jangan sampai menomorduakan program
vaksinasi. Karena fungsi vaksinasi Covid-19 bukan hanya pencegahan infeksi
pada orang masih sehat, melainkan juga meminimalkan keluhan dan komplikasi
pada orang terinfeksi pascavaksinasi. Artinya, cakupannya lebih
luas, yaitu preventif dan kuratif. Dan jumlah masyarakat yang membutuhkan
upaya ini jelas sangat banyak. Berkali-kali lipat dari orang yang sakit dan
butuh perawatan. Prioritas program vaksinasi ini mungkin sejalan dengan
prinsip utilitarian: the greatest good
for the greatest number.. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar