Dilema
Kekuasaan Kehakiman Mukti Fajar ND ; Ketua Komisi Yudisial RI, Guru Besar Ilmu
Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta |
KOMPAS, 19 Juli 2021
Jeritan rasa ketidakadilan
masyarakat nyaring terdengar, ketika hakim memberikan putusan pengurangan
hukuman bagi Jaksa Pinangki Sirna Malasari. Ini bukan yang pertama
kali terjadi. Sudah puluhan kasus (korupsi) yang diberikan diskon oleh hakim.
Di saat yang sama, harapan masyarakat kepada Komisi Yudisial juga semakin
tinggi. Komisi
Yudisial dan rasa keadilan Sebagai lembaga negara
yang salah satu tugas pokoknya adalah melakukan pengawasan pada hakim, Komisi
Yudisial dipertanyakan eksistensinya. Masihkah Komisi Yudisial mampu merespons
dan berjuang membangun kepercayaaan publik pada lembaga peradilan? Mampukah
Komisi Yudisial memberikan rasa keadilan yang menjadi tuntutan rakyat? Persoalan ini menjadi
tidak mudah dijawab karena beberapa hal. Pertama, hakim dalam mengambil keputusan
dilindungi oleh doktrin kekuasaan kehakiman. Doktrin tersebut yakni,
bahwa kepada hakim diberikan kemerdekaan dan kemandirian yang tidak bisa
diintervensi oleh siapapun dalam memutuskan suatu perkara, untuk menciptakan
keadilan (Pasal 24 (1) Undang-Undang Dasar 1945). Sebuah dogma universal
judge made law. Hakim memiliki independensi konstitusional, independensi
fungsional, independensi personal, dan independensi praktis yang nyata. Dalam Undang-Undang
Kekuasaan Kehakiman (dan beberapa undang-undang terkait), tidak cuma Komisi
Yudisial, bahkan Mahkamah Agung sebagai lembaga induk para hakim pun juga
tidak diperkenankan untuk memeriksa materi argumentasi putusan hakim. Artinya, kekuasaan
kehakiman adalah sesuatu yang sakral. Tak boleh disentuh (untouchable) oleh
siapapun. Kekuasaan kehakiman menjadi ruang yang terkunci rapat, bahkan
kadang gelap. Independensi
hakim Secara filosofis hal ini
dapat dibenarkan untuk menjaga kepastian hukum, agar tidak terjadi kekacauan
hukum. Tentunya dengan asumsi bahwa setiap hakim adalah wakil Tuhan yang suci
dan mulia dalam menjalankan tugasnya. Kenyataannya, hakim adalah
manusia yang hidupnya dipengaruhi oleh banyak kepentingan, keinginan dan
lingkungan sekitarnya. Hakim tidak imun dan hidup di ruang hampa. Putusan
hakim tidak hanya berurusan dengan logika norma dan moral, namun juga
berurusan dengan masalah manusia dan segala aspek sosialnya. Di sinilah titik
persimpangan independensi seorang hakim dipertanyakan. Dilema sang pengadil. Irah-irah putusan hakim “Demi
Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, setidaknya memuat dua frasa. "Demi Keadilan"
yang putusannya menentukan nasib seseorang dan juga rasa keadilan masyarakat.
Sedangkan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, mengarahkan moral hakim bahwa
putusannya akan dipertanggungjawabkan di hadapan Sang Pencipta. Namun, kekuasaan kehakiman
yang terkunci tersebut bisa menjadi misteri. Benarkah hakim mengambil putusan
sebagai orang suci Yang Mulia atau dipengaruhi oleh kepentingan yang melekat
pada hidupnya? Tentunya hal ini menarik
untuk dikaji ulang dan menjadi diskursus secara teoretis maupun praktis oleh
para pakar, masyarakat madani (civil society) dan lembaga negara sebagai
pihak-pihak penentu kebijakan. Kedua, pada Pasal 42
Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa dalam rangka menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim, Komisi
Yudisial dapat menganalisis putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap sebagai dasar rekomendasi untuk melakukan mutasi terhadap hakim. Hal ini merupakan celah
bagi Komisi Yudisial untuk melakukan pengawasan terhadap hakim melalui
analisis putusannya. Apakah sesuai dengan logika hukum, aturan perundangan,
teori dan fakta-fakta persidangan. Tak
mengubah putusan Bahkan, jika ditemukan
adanya pelanggaran terhadap kode etik di balik putusan tersebut, Pasal 43
Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman memberi kewenangan kepada Komisi Yudisial
dan Mahkamah Agung untuk melakukan pemeriksaan terhadap hakim dimaksud. Akan tetapi, meskipun
ditemukan adanya pelanggaran terhadap kode etik, hanya para hakimlah yang
akan mendapatkan sanksi. Hal itu karena putusan yang sudah berkekuatan hukum
tetap tidak akan bisa diubah. Ini berarti para pelaku
korupsi yang telah mendapatkan pengurangan hukuman, tetap dapat menikmati
diskon putusan tersebut. Kembali dalam hal ini rasa keadilan masyarakat
terguncang. Jika kembali pada girah
reformasi untuk menghapuskan korupsi dari negeri ini, harusnya diresapi oleh
para hakim, bahwa harapan dan mimpi bangsa (nation dream) ini masuk ke dalam
suasana kebatinan para hakim. Ketika menyidangkan dan
memutuskan kasus-kasus korupsi, ia sebagai Yang Mulia beratribut kekuasaan
kehakiman mengemban beban moral bangsa: bertanggung jawab kepada Tuhan dan
rasa keadilan masyarakat. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar