Pengorbanan
dan Ketulusan Zuly Qodir ; Sosiolog, Direktur Program Doktor Politik
Islam UMY |
KOMPAS, 19 Juli 2021
Agama senantiasa
menghadirkan dua sisi kisah kemanusiaan, yaitu keutamaan, ketulusan, dan pengorbanan di
satu sisi, serta kemurkaan, kerakusan,
kebencian, dan keangkuhan di sisi lainnya. Dua sisi kisah kemanusiaan dalam
agama-agama dikenal dengan sebutan etika keagamaan-akhlak-moral kebajikan dan
keburukan. Ulama besar Imam
Al-Ghazali menyebutnya dimensi kemanusiaan di atas dengan etika kemanusiaan
dan kebinatangan. Etika kemanusiaan diidentikkan dengan
sikap-perilaku-tindakan kemuliaan sebagaimana para malaikat, yang senantiasa
taat atas perintah sang pencipta, tanpa memiliki nafsu, bahkan hasrat apapun.
Sementara itu, etika kebinatangan sering diidentikkan dengan kerakusan,
bengis, menang sendiri, tidak bersedia berbagi, serta tabiat-kebiasaan tidak
taat peraturan. Namun demikian, etika
seperti malaikat yang tergambar di atas tidak mungkin terjadi pada diri
manusia, bahkan tidak perlu diikuti, sebab akan berdampak pada dunia yang
statis, tidak ada kemajuan, tidak ada perubahan serta tentunya tidak dinamis.
Oleh sebab itu, Ghazali kemudian memberikan nasihat untuk umat manusia
tentang etika kemanusiaan: berdiri di antara etika malaikat dan kebinatangan.
Yakni seimbang sebagai makhluk yang memiliki nafsu seperti binatang, namun
sekaligus memiliki sifat-sifat yang dimiliki malaikat. Dengan demikian, dunia
akan dinamis, maju, ada perubahan dan tantangan. Etika
keutamaan Dalam kaitan itulah, Idul
Adha (Idul Kurban), yang hendak kita selenggarakan kali ini merupakan
momentum etika kemanusiaan yang benar-benar akan menguji umat beragama,
terutama yang hendak memberikan hewan kurban pada panitia. Kurban yang hendak
dilakukan di era pandemi Covid-19, yang tampaknya belum bersahabat dengan
umat manusia Indonesia (khususnya), dengan melihat korban terpapar wabah
mematikan terus meningkat. Terlalu banyak jiwa-jiwa yang telah terkapar oleh
dahsyatnya wabah mematikan ini sejak satu setengah lalu. Oleh sebab itu, terdapat
beberapa ajakan untuk melakukan reinterpretasi atas kurban yang hendak
diberikan pada saat Idul Adha. Seperti datang dari Pimpinan Pusat
Muhammadiyah, agar uang kurban atau hewan kurban yang akan disembelih nanti
dapat dialihkan untuk membantu mereka yang terdampak Covid-19, yang memang
membutuhkan bantuan makanan yang bergizi, biaya pengobatan, perawatan serta
pemulihan. Oleh sebab demikian banyak biaya dan beban sosial yang harus
ditanggung para korban Covid-19 ini di masyarakat. Jika hewan kurban
disembelih kemudian dibagikan pada para penerima seperti biasanya, menurut
Muhammadiyah, dimensi kemanfaatannya saat ini, terutama pada para korban
Covid-19 tidak akan banyak mendapatkan nilai keutamaan manfaat. Apalagi jika
hanya mendapatkan 1-2 kg daging segar. Oleh karena itu, Muhammadiyah
berijtihad, para pemberi uang korban, agar mereka merelakan untuk diberikan
kepada para korban keganasan Covid-19, sehingga dapat dimanfaatkan untuk
kemaslahatan umat manusia. Gagasan ijtihad
Muhammadiyah tersebut agaknya sesuai dengan kaidah: bahwa menyelamatkan satu
jiwa manusia, sama dengan kita berupaya menyelamatkan sejumlah besar umat
manusia, yakni memungkinkan adanya kehidupan selanjutnya, karena menekan
adanya kematian. Hal ini juga sesuai dengan kaidah fikiyah: mendahulukan al
maslahah al-um, ila madlarat fil an-nas (kemaslahatan umum-banyak manusia,
ketimbang manfaat sedikit manusia. Inilah yang kita namakan maslahah fil-nas
(manfaat untuk umat manusia). Manusia dengan etika
keutamaan, dikatakan Buya Hamka, penulis Tafsir Al-Azhar, mereka adalah sosok
manusia yang tidak disiksa oleh hasrat kebinatangan dan terjerat tabiat
malaikat. Mereka adalah yang mampu hidup seimbang antara: Hasrat binatang dan
malaikat, sehingga memiliki etika untuk perubahan, dinamis, kadang
mempersoalkan yang telah dianggap baku demi kebajikan. Manusia dengan etika
keutamaan adalah manusia yang tidak dirundung oleh keimanan yang buta, tanpa
ilmu pengetahuan dan realitas sosial. Mereka itulah jiwa-jiwa merdeka yang
memiliki kesalehan individual, sekaligus kesalehan sosial. Manusia
cinta harta Sementara itu, mereka yang
tidak memiliki kepekaan sosial atas penderitaan orang lain, hanya ingin
menang sendiri, angkuh atas yang dimiliki, egois, serta hanya ingin
menyenangkan keluarga, sanak saudara atau pun kelompoknya adalah sosok
manusia yang dikatakan oleh Buya Hamka sebagai “pencinta harta”. Mereka
manusia cinta harta, yang beranggapan bahwa apa yang telah dimiliki adalah
mutlak karena usahanya sendiri, tanpa campur tangan pihak lainnya. Manusia cinta harta,
agaknya akan sulit melakukan perubahan perspektif dan tindakan di luar
tradisi-tabiat selama ini. Kurban misalnya, dipastikan akan sulit jika harus
dikonversikan menjadi harta yang dikumpulkan, kemudian diberikan pada mereka
yang terkena wabah Covid-19. Ajakan Muhammadiyah agar para pemberi kurban
merelakan dananya untuk kebutuhan lainnya, ketimbang untuk membeli hewan
kurban akan ditentang dengan argumen bahwa menyembelih hewan kurban adalah
syariat yang tidak dapat diubah. Kurban adalah ibadah yang
mengikuti tradisi Ibrahim-Ismail, bukan mengikuti perkembangan dan perubahan
zaman seperti sekarang. Pikiran jumud-tekstual semacam ini tentu akan terus
ada, terutama dalam diri jiwa-jiwa yang cinta harta, namun bersembunyi di
balik kesalehan spiritual-keagamaan. Saat ini hadirnya
manusia-manusia pecinta harta akan dapat dilihat dengan gampang: apakah
memiliki kerelaan ketika ada ajakan beribadah di rumah saja saat Idul Adha,
mengalihkan dana hewan kurban untuk membantu mereka yang terserang wabah
korona, dan mampu menahan diri dari berkomentar penuh kebencian pada
pemerintah, pada ormas keagamaan yang berpandangan bahwa perlu ada
reinterpretasi atas Kurban ataukah akan bertingkah sebaliknya! Ketulusan
jiwa Saat ini, dibutuhkan
jiwa-jiwa yang tulus dalam berkurban. Pengorbanan membutuhkan ketulusan yang
tanpa topeng. Pengorbanan yang betul-betul dapat menciptakan ketenangan
jiwa-jiwa umat manusia dari berbagai penderitaan, termasuk penderitaan dari
wabah Covid-19. Selain itu ketulusan jiwa yang mampu menghadirkan ketenangan
psikologi dan situasi sosial politik dari berbagai komentar, hasrat politik,
hasrat kerakusan, serta hasrat egois. Idul Adha kali ini
benar-benar menjadi Idul Adha yang harus mampu menciptakan kondisi bagaimana
bangsa ini lebih tenang secara sosial dari hentakan kemerosotan
ekonomi-produksi, warga yang tidak dibombardir dengan pelbagai informasi
menyesatkan alias hoaks, karena kebencian pada pemerintah dan lawan-lawan
politik. Warga negara saat ini
lebih membutuhkan keselamatan ketika Covid-19 menyergap, oleh sebab umat
manusia Indonesia banyak yang sangat membutuhkan ventilator, oksigen serta
ruang perawatan ketimbang kegaduhan manuver-manuver politik yang hanya hendak
menguntungkan diri sendiri, kelompoknya, serta orang-orang terdekatnya. Warga negara tidak lagi
berharap terlalu banyak pada politisi dan pengamat, mantan pejabat yang suka
mengumbar janji palsu dan menyebarkan berita palsu-hoaks yang dimaksudkan
untuk mendapatkan simpati dan dukungan politik. Oleh sebab itu, saatnya
kita berhenti menjadi manusia-manusia pecinta harta atas nama kesalehan,
kebajikan serta syiar agama. Idul Adha kali ini benar-benar hari raya yang
harus dirayakan dengan cara berbeda, tanpa mengurangi kekhusukan dan
ketulusan dalam bermunajat pada Tuhan. Inilah Idul Adha yang akan menciptakan
dan menemukan siapa sejatinya manusia yang sungguh-sungguh rela dalam
pengorbanan dan memiliki ketulusan pada Tuhan. Selamat Merayakan Idul Kurban
dengan ketenangan! ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar