Mencintai
karena Tragedi Iqbal Aji Daryono ; Penulis, tinggal di Bantul |
DETIKNEWS, 13 Juli 2021
Beberapa hari terakhir,
saya rajin naik tangga, kemudian memanjat ke atap rumah di sebelah bak
penampung air. Bukan untuk membetulkan genting bocor, tetapi buat berjemur.
Di atas dak beton yang tak terlihat oleh siapa pun selain kamera drone dan
Tuhan, saya bisa bebas membuka baju, lalu menikmati siraman sinar matahari
semerdeka-merdekanya. Ini jelas bukan kebiasaan
lama. Benar-benar saya melakukannya karena situasi yang memaksa. Istri dan
anak sulung saya tersambar korona, mereka isoman di rumah, dan saya harus
mati-matian mempertahankan benteng fisik saya biar tidak ikutan kena. Salah satunya
ya dengan berjemur itu tadi. Memang, begitu saya
berbagi kabar kepada segelintir kawan tentang istri dan anak saya itu, datang
bermacam-macam pesan. Selain soal vitamin, uap minyak kayu putih, juga ada
dua saran yang paling bestseller: jangan begadang, dan rajin-rajinlah
berjemur. Soal tidur lebih sore
memang jadi tantangan terberat saya. Sebagai manusia kalong, otak saya sering
tidak ada gunanya ketika matahari masih menyala. Tapi tentang berjemur, saya
masih sanggup melakukannya. Dan ternyata ketika mulai mempraktikkan lelaku
berjemur itu, sehari, dua hari, saya merasa konyol sendiri. Kenapa? Karena sebenarnya
perkara berjemur ini sudah dijelaskan oleh pelajaran IPA ketika saya SD,
puluhan tahun silam. Sinar matahari membantu tubuh kita memproduksi vitamin
D. Vitamin D baik untuk tubuh. Kekurangan vitamin D akan menyebabkan gangguan
kesehatan ini dan itu. Jelas sekali. Begitu lama saya tahu
teori itu, tetapi begitu lama juga saya melupakannya. Dan saya yakin bukan
cuma saya, tetapi juga Anda. Kita. Kenapa kita lupa? Ya, alasannya
menyebalkan sekali, yaitu karena saking mudahnya manusia negeri tropis macam
Indonesia mendapatkan sinar matahari. Apa pun yang terlalu mudah
didapatkan akan cenderung kita abaikan. Begitu, bukan? Itulah kenapa buku-buku
yang kita peroleh dari hasil give away akan kita baca nanti-nanti saja
daripada yang kita beli dengan menabung dulu. Itulah kenapa Anda tidak
menyimak sungguh-sungguh saat mengikuti webinar gratis, tetapi ketika ikut
kelas online berbayar Anda bela-belain mencatat semua materinya--meski
kualitasnya belum tentu lebih bagus ketimbang webinar gratis itu. Dengan alasan yang sama,
kita mengabaikan hujan sinar matahari yang datang nyaris setiap hari, padahal
sebenarnya ia jadi kemewahan impian bagi banyak orang di berbagai belahan
bumi. Perlu pengorbanan untuk
memunculkan penghargaan, memang. Perlu jarak, sehingga sesuatu bukan
merupakan milik kita sewaktu-waktu. Bahkan kadangkala perlu kesakitan, juga
ancaman-ancaman dan reproduksi ketakutan. Maka, pada hari-hari ini
ancaman itu mendatangi kita. Mendatangi saya. Saya takut diterkam korona.
Dan, meski sudah seumur hidup dengan begitu mudahnya saya mengakses sinar
matahari, tiba-tiba makhluk itu jadi bernilai sangat tinggi. Sinar matahari
jadi mahal sekali. Saya sampai memanjat-manjat untuk mendapatkan efek
maksimalnya, dan gusar sekali ketika tiba-tiba awan bermendung
menghalanginya. Saya jadi ingat The Little
Prince, novel tipis karya Antoine de Saint-Exupery. Ada satu dialog di sana,
yang menyebutkan bahwa sesuatu menjadi penting bagi kita karena kita
menghabiskan waktu bersamanya. Saya membaca novel itu ketika masa kuliah,
lalu menggunakan potongan adegan itu sebagai jurus default untuk pendekatan
ke para calon pacar saya (tak usah dibahas bagaimana hasilnya). Tetapi sekarang saya tahu,
de Saint-Exupery telah berdusta (itulah kenapa hasil jurus darinya kurang
membikin gembira). Sesuatu menjadi penting bukan karena kita menghabiskan
waktu bersama. Sekadar menghabiskan waktu bersama, tanpa ancaman dan ketakutan,
ternyata tidak akan membuat sesuatu terasa jadi penting bagi kita. Bukan cuma sinar matahari.
Coba lihat saja video dan foto-foto yang sekarang beredar di mana-mana itu.
Puluhan orang mengantre untuk mendapatkan tabung oksigen. Bayangkan, oksigen!
Itu benda yang setiap saat kita hirup, tanpa pernah kita tahu berapa kadar
dan volumenya, juga berapa kali isapan ke lubang-lubang hidung kita setiap
harinya. Tetapi, sekarang kita
memburu oksigen, mau melakukan apa pun demi mendapatkan oksigen, setiap jam
memeriksa jempol kita untuk mengukur saturasi oksigen, padahal selama ini
kita tak peduli kepadanya karena saking murahnya dan karena saking
"dekat"-nya dengan diri kita. Lalu tiba-tiba kita
peduli. Kita menumpahkan perhatian. Kita jatuh cinta setengah mati kepadanya.
Gara-gara satu hal, yaitu kita terancam untuk kehilangan akses atasnya. Kemarin, seorang kawan
curhat sama saya. Dia punya seorang teman dekat. Meski dekat, kawan saya itu
sering sebal dan nggak sayang sama temannya itu, karena beberapa perilaku.
Tetapi, tiba-tiba pada hari-hari ini kawan saya sangat merindukan temannya.
Dan karena itulah dia curhat kepada saya. Kerinduan kawan saya itu
muncul tiba-tiba, karena teman dekatnya yang menyebalkan itu sekarang dalam
kondisi drop, tentu saja karena kesabet kuku korona. Lihat, seseorang
tiba-tiba menjadi penting untuk kita, menjadi sangat penting, karena bisa
jadi sekarang adalah hari-hari terakhir saat kita masih bisa berkomunikasi
dengannya. Setelah segala kutukan ini
berlalu nanti, akankah kita terus-menerus menanti tragedi, hanya untuk
menyadari bahwa ada sesuatu yang mesti kita hargai? ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar