Lama
dan Baru Samuel Mulia ; Penulis Kolom “PARODI” Kompas Minggu |
KOMPAS, 18 Juli 2021
Apakah Anda orang yang
berbeda sebelum dan selama pandemi ini berlangsung? Tahun ini saya telah
berusia 58 tahun. Sepanjang tahun-tahun itu saya berpikir kalau saya ini tahu
benar siapa saya yang sesungguh-sungguhnya. Bukan sekadar saya tahu saya bukan anak haram
bapak saya, bukan juga hanya sekadar mengetahui kalau saya lahir di bawah
rasi bintang Capricorn yang superpesimistis, atau bukan juga sekadar tahu
kalau saya ini jauh dari jago dalam urusan angka. Manusia
lama Sebelum pandemi terjadi,
saya adalah orang yang melihat hidup dengan kepesimisan yang sangat. Saya
mencoba untuk positif dengan mendengar orang bercerita tentang pengalaman
hidupnya dan membaca sejuta pesan yang menyemangati yang datangnya seperti
air bah. Setiap hari, setiap saat.
Dalam bentuk kata-kata, kiriman video, unggahan foto di media sosial, dan apa
saja yang bisa membuat jadi berpikir bahwa hidup ini meski tak adil sangat
pendek untuk dipesimiskan. Pesan itu tidak saja
berupa pesan yang universal, tetapi juga yang spiritual. Air bah itu bahkan
sampai masa pandemi ini tetap berlangsung, bahkan melebihi sebelumnya. Sampai
saya yang awalnya sangat tertarik membaca dan mendapatkan efek semangatnya,
sekarang malah jadi enek. Benarlah kalau segala sesuatu yang berlebihan itu
tidak ada baiknya. Sebelum pandemi terjadi,
saya rajin sekali bekerja, mencari uang agar perusahaan saya dapat berjalan
dan berkembang. Meski pada akhirnya saya harus menghadapi bahwa perusahaan
saya harus megap-megap. Tidak bangkrut karena
sekarang masih berjalan, tetapi sekarang harus dimulai lagi dari nol besar.
Saya berterima kasih kepada Gusti Allah ada penanam modal baru yang membuat
usaha tetap bisa berlangsung. Jauh sebelum saya menduga
bahwa hidup akan berubah dengan datangnya virus korona baru ini, saya adalah
orang yang sombongnya setengah mati, saya angkuh, saya tak peduli dengan
hidup orang lain dan acap kali berani melawan hidup, tetapi takut mati. Manusia
baru Saya adalah manusia
sarkastis terhadap sesama manusia dan cara pandang mereka, bahkan lebih
sarkastis lagi kalau sudah berkumpul dalam membahas yang berkaitan dengan
segala yang berbau spiritual. Demikianlah waktu terus
bergulir. Tak ada yang berubah dalam diri saya meski saya bertambah tua yang
selayaknya orang berharap saya harus lebih bijak, pada kenyataannya itu
sangat jauh dari saya. Maka, tahun lalu pandemi
ini datang mengunjungi negeri ini. Dan, sampai tulisan ini Anda baca, ia tak
juga enyah dari bumi Nusantara. Dan, virus satu ini telah sukses
memorakporandakan usaha saya, menghancurkan pemasukan saya setiap bulan, dan
mengubah gaya hidup saya yang dahulu tak pernah saya khawatirkan. Kemudian, tidak berhenti
di situ, penyakit datang menyerang pada saat rumah sakit begitu penuhnya
dengan mereka yang terkena serangan virus ini. Perut saya berair dan tak tahu
dari mana datangnya. Saya seperti perempuan hamil. Dan, pemasukan yang
semakin sedikit menjadi semakin menipis untuk urusan masuk keluar beberapa
rumah sakit untuk berobat ke beberapa dokter ahli yang berbeda karena air
dalam tubuh saya tak hanya bercokol di perut, tetapi juga di ginjal dan
paru-paru saya. Dan, perjalanan panjang masuk keluar ruang praktik dokter itu
berakhir di meja operasi. Maka, tak hanya hal-hal di
atas yang berubah drastis. Perubahan pertama yang saya rasakan adalah saya
tak pesimistis lagi. Saya tak tahu mengapa itu dapat terjadi. Mungkin karena saya
berpikir pandemi ini seperti tidak akan berakhir dalam waktu singkat.
Mengomel atau kesal menjadi tidak berguna sama sekali. Sifat berpuluh tahun itu
seperti lenyap. Saya tak lagi meratapi keadaan ini, saya tak lagi ngomel soal
perusahaan saya porak poranda, saya bahkan dengan ringan masuk keluar rumah
sakit, dan kematian yang rasanya semakin mendekat buat saya dan semua orang
belakangan ini, sama sekali tak menakutkan seperti dulu lagi. Saya juga tidak panik
melihat tabungan saya semakin menipis seperti kertas HVS. Saya telah
mengizinkan otak dan hati saya menerima keadaaan buruk ini. Ya pandeminya, ya
penyakitnya. Optimisme saya lahir bukan karena saya membaca pesan positif,
tetapi saya mengizinkan diri saya untuk tidak lari dan rela menerima ini terjadi. Sekarang saya mengerti
bahwa hidup itu bukan sungguh adil, tetapi sungguh adil sekali. Bagaimana
bisa dikatakan tidak adil kalau dalam kesengsaraan hidup saya sekarang ini,
saya masih bisa naik kelas dan sejahtera? ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar