Literasi
Abad Ke-21 Ratih D Adiputri ; Penulis Buku "Sistem Pendidikan
Finlandia" (Gramedia, 2019) dan pengajar di Universitas Jyväskylä,
Finlandia |
KOMPAS, 27 Juli 2021
Momen
kebangkitan nasional tahun ini, 20 Mei 2021, diperingati Indonesia dengan
meluncurkan secara resmi program nasional literasi digital yang diinisiasi
oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika bekerja sama dengan Kementerian
Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi. Program nasional ini bertujuan
”Indonesia makin cakap digital”. Tonggak
sejarah (milestone) yang ingin dicapai ialah menjangkau 125 juta lebih
peserta program literasi digital sampai akhir 2024. Program ini dirancang
sedemikian rupa sehingga mencangkup empat pilar literasi digital, yaitu
digital skills, digital culture, digital ethics, digital safety. Menurut
sumber video Kominfo itu, literasi digital—yang dikutip dari UNESCO (walau
tanpa tahun dan dokumen rujukan)—adalah ”kemampuan individu untuk mengakses,
memahami, membuat, mengomunikasikan, dan mengevalusi informasi melalui
teknologi digital yang bisa diterapkan dalam kehidupan ekonomi dan sosial”. Acara
peluncuran program tersebut merupakan momen yang sangat membanggakan. Namun
perlu dipahami, bahwa literasi digital sebenarnya hanya satu keterampilan
abad-21, yang disebut keterampilan transversal. Keterampilan transversal Menurut
Jari Lavonen (2020), yang menulis artikel berjudul Reformasi Kurikulum dan
Pendidikan Guru di Finlandia yang Mendukung Kompetensi di Abad Ke-21, ada
tujuh kategori keterampilan transversal ini, yaitu: (1) mandiri, mampu menata
hidup sehari-hari; (2) multiliterasi; (3) kompetensi digital; (4) kompetensi
kehidupan kerja/entrepreneurship; (5) partisipasi keterlibatan membangun masa
depan yang berkelanjutan; (6) berpikir dan belajar sepanjang hayat; dan (7)
kompetensi budaya, interaksi dan ekspresi. Keterampilan transversal tidak
hanya digital karena kompetensi digital hanyalah salah satu diantara
keterampilan di abad ini yang diperlukan kita semua, khususnya generasi muda
penerus bangsa. Belum
lagi, Yuval Noah Harari (2018) mengingatkan di dalam bukunya 21 Lessons for
the 21st Century (2018), bahwa pendidikan di masa depan hendaknya mengadopsi
4-C: critical thinking (pemikiran kritis), communication (komunikasi),
collaboration (kolaborasi), dan creativity (kreativitas). Intinya, sekolah
mulai tidak menonjolkan keterampilan teknis digital— karena nantin komputer
dan aplikasi teknologi yang akan melakukannya untuk kita—namun lebih
menekankan keterampilan menghadapi perubahan hidup dengan banyaknya
informasi, selalu terbuka untuk terus mau belajar, dan menjaga keseimbangan
mental dalam situasi yang tidak menentu. Dalam
penelitian Maynard (2019) mengenai pengajaran dan pembelajaran transformatif,
kerangka kerja pembelajaran abad ke-21 menekankan meta knowledge, humanistic
knowledge, dan foundational knowledge. Dan bagi saya, ilmu humanistik
(humanistic knowledge) yang menekankan etika, kesadaran emosi, kompetensi budaya,
amat penting bagi Indonesia yang kaya akan budaya lokal, keramahtamahan, dan
kebaikan. Tambahan
lagi, OECD, organisasi penyelenggara tes PISA, merekomendasikan bahwa agar
bisa berhasil dalam hidup dan menjadi warga masyarakat dunia yang berguna di
abad ke-21 seseorang idealnya memiliki kompetensi yang mencakup tiga kategori
besar. Seorang individu diharapkan (1) mampu menggunakan pelbagai alat
(bahasa, teknologi, dll) secara interaktif, (2) mampu berinteraksi dalam grup
yang heterogen, dan (3) mampu bertanggung jawab untuk menata kehidupannya
sendiri, secara mandiri dan dalam konteks sosial yang lebih besar (dalam The
Definition and Selection of Key Competencies). Hal
tersebut berarti, setiap individu harus mampu membedakan cara berpikir yang
mencakup pemikiran kritis, pemikiran kreatif, mempelajari (learning).
Kemudian, mampu membedakan cara bekerja, yaitu bertanya, pemecahan masalah,
komunikasi, dan kolaborasi. Setiap individu juga harus mampu membedakan alat
bekerja, yang berisi literasi informasi, keterampilan teknologi dan literasi
media. Selain itu juga mampu membedakan perilaku di dunia atau seseorang
sebagai warga negara lokal dan global, kesadaran budaya dan tanggungjawab
sosial. Literasi digital saja tidak cukup Untuk
mewujudkan kompetensi transversal dan keterampilan di abad ke-21 tersebut,
menurut Lavonen (2020) dalam sumber/referensi yang sama, terdapat
tantangan-tantangan yang meliputi empat tingkatan. Pertama, di tingkat siswa,
contohnya: menurunnya tujuan pembelajaran dan minat dalam karir STEM
(science, technology, engineering, math). Kedua, di tingkat kelas, misalnya,
ada tantangan dalam proses belajar berkolaborasi, tantangan proses belajar
mengajar di kelas yang heterogen dan multikultural, penggunaan teknologi
dalam belajar, dll. Ketiga,
di tingkat sekolah dan tingkat kota: adanya variasi dalam pembelajaran
sekolah, kurangnya kolaborasi guru, perlunya dukungan portal pembelajaran
yang baik. Keempat, di tingkat kompetensi guru, misalnya kurangnya orientasi
inovasi dan pedagogi, kurangnya kesempatan mengembangkan profesi diri di
sekolah, dll. Dan kelima, di tingkat sosial, misalnya banyaknya siswa yang
putus sekolah, meningkatnya ketimpangan sosial, pengaruh digital (seperti
media sosial), pentingnya dukungan pencarian kerja, dukungan untuk
pembangunan berkelanjutan. Tantangan
ini dihadapi banyak negara di dunia, termasuk di Indonesia. Perlu kemampuan,
tekad, dan komitmen pemerintah yang kuat untuk mencapai kemajuan pendidikan
bangsa, salah satunya dengan mempercepat pembelajaran keterampilan
transversal, tidak hanya literasi digital. Semua
pihak harus mengingat bahwa walau aktif di dalam jaringan dan menggunakan
teknologi digital, kita tetap membutuhkan makan, minum, tidur. Artinya kita
tetap memerlukan mandi, buang air, dan mengatur sampah, untuk keberlangsungan
hidup kita. Belum lagi, kita juga tetap memerlukan listrik untuk mengisi daya
alat elektronik kita dan sinyal yang bagus untuk masuk ke dalam jaringan
(online). Pemerintah harus menyediakan semua itu untuk warga negaranya. Kebutuhan
sebagai makhluk hidup tetap harus ada. Jangan
sampai fokus kita ke literasi digital melupakan hal-hal kemanusiaan kita
karena pertemuan tatap muka tetap diperlukan. Kemampuan literasi di bidang
apapun intinya mengembangkan kita sebagai manusia untuk berpartisipasi aktif
dalam kehidupan publik, komunitas, dan ekonomi. Untuk itu, kemampuan literasi
digital saja tidak cukup, namun hendaknya kita bertujuan untuk mengembangkan
keterampilan transversal kita, agar menjadi warga negara dunia yang terampil di
dunia abad ke-21. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar