Nestapa
Pendidikan Pancasila Syaiful Arif ; Direktur Pusat Studi
Pemikiran Pancasila, CEO Silapedia |
KOMPAS, 5 Mei 2021
Tidak diwajibkannya pendidikan Pancasila
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional
Pendidikan mengusik akal sehat kita. Kenapa Pancasila yang merupakan dasar
negara tidak dijadikan mata pelajaran dan mata kuliah wajib? Ketergopohan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk merevisi PP itu menambah
keterusikan tersebut. Ini merupakan nestapa ke sekian kali yang
dialami pendidikan Pancasila. Sejak dasar negara kita identikkan dengan rezim
tertentu, ia tidak kita tempatkan sebagai milik bersama yang harus dijaga.
Namun, sebagai warisan rezim, yang ketika rezim tersebut runtuh, Pancasila
pun tidak boleh bangkit. Pendidikan Pancasila sama dengan
indoktrinasi Pancasila dalam bentuk Penataran Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila (P4). Jika P4 sudah dihapus, mengapa pendidikan Pancasila
mau dibangkitkan? Begitulah cara berpikir kita yang alergi dengan ideologi
bangsa sendiri. Sebenarnya pendidikan Pancasila mulai
bangkit, tetapi tidak utuh. Dalam UU No 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi,
Pancasila telah menjadi mata kuliah wajib. Kesalahan PP No 57 Tahun 2021
ialah karena tidak merujuk pada UU ini melalui prinsip lex specialis. Dalam
konsiderans "Mengingat", PP itu hanya merujuk pada UU No 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam Pasal 37 Ayat (1)
dan (2), UU ini memang tidak menjadikan Pancasila sebagai mata pelajaran dan
mata kuliah wajib. Dengan demikian, persoalan langsung
menghadang ketika pemerintah ingin merevisi PP No 57 Tahun 2021 untuk
menghidupkan Pancasila. Bagaimana bisa PP yang merupakan aturan yuridis
turunan bisa berbeda dengan UU di atasnya? Jika UU Sisdiknas menghapus
pendidikan Pancasila, bagaimana bisa PP Standar Nasional Pendidikan
menghidupkannya? Saat ini penulis terlibat dalam tim
penyusunan buku mata pelajaran Pancasila yang dibentuk oleh Badan Pembinaan
Ideologi Pancasila (BPIP). Pertanyaannya, bagaimana buku tersebut bisa
dijalankan ketika payung hukumnya tidak ada? Nestapa yang dialami pendidikan Pancasila
merupakan bagian dari nestapa yang dialami penguatan Pancasila, dan Pancasila
itu sendiri. Dalam konteks pendidikan, hal ini disebabkan oleh mandeknya
revisi UU Sisdiknas yang sebenarnya telah masuk Program Legislasi Nasional
(Prolegnas) pada 2018. Celakanya, pada Prolegnas tahun ini, revisi
UU tersebut justru menghilang. Hanya ada RUU BPIP yang kemungkinan akan
mendapatkan tantangan. Oleh karena itu, alih-alih menerbitkan PP untuk
menghidupkan pendidikan Pancasila, yang harus dilakukan pemerintah ialah
mendorong DPR untuk merevisi UU No 20 Tahun 2003. Fetisisme
Pancasila Persoalannya, pelaku pendidikan sendiri
mungkin sudah status quo dengan kondisi yang ada. Sebab, sejak Kurikulum
2013, nomenklatur Pancasila telah dimasukkan ke dalam Pendidikan
Kewarganegaraan (PKn), menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn).
Bagi sebagian kalangan, PPKn sudah dianggap cukup untuk mendidikkan
Pancasila. Namun, bagi sebagian lainnya belum memadai, sebab Pancasila tidak
berdiri sendiri sebagai mata pelajaran wajib. Nasib pendidikan Pancasila yang ditempelkan
dalam PPKn sebenarnya mencerminkan perlakuan kita terhadap Pancasila yang
sejak dulu bersifat minimalis. Artinya, Pancasila hanya kita pahami,
kenalkan, dan didikkan sebagai ”akta legal” pendirian negara, tanpa substansi
pengetahuan di dalamnya. Seperti pandangan Dipo Alam dalam artikel
”Pancasila Milik Bersama” (Kompas, 16/4/2021). Artikel yang merupakan
tanggapan terhadap tulisan Guntur Soekarnoputra, ”RUU BPIP dan
Institusionalisasi Pancasila” (Kompas, 30/3/2021) ini mewakili ”pandangan
minimalis” terhadap Pancasila. Menurut Dipo, Pancasila resmi (18 Agustus
1945) ialah norma yang berbeda dengan wacana Pancasila oleh Soekarno pada 1
Juni 1945. Pertanyaannya, apakah Pancasila sebatas norma? Bukan. Pancasila
merupakan norma dasar (Grundnorm) yang bersifat meta-legal, yang menaungi
norma hukum di bawahnya. Sebagai norma dasar, Pancasila bukan ”legalisme
negara”, melainkan filsafat dasar negara. Tepat di sini pidato 1 Juni Soekarno
menjadi penting, sebab norma dasar yang bersifat meta-legal itu dirumuskan
berdasarkan penggalian Soekarno terhadap nilai-nilai filosofis bangsa.
Hubungan antara Pancasila 1 Juni dan 18 Agustus bukan hubungan wacana dan
norma, melainkan filsafat dasar negara dan norma dasar negara. Filsafat
merupakan isi, sedangkan norma dasar menjadi wadah. Hanya saja, akibat proyek de-Soekarno-isasi
Orde Baru, isi filosofis Pancasila dibuang dari dasar negara. Maka, Pancasila
lalu mengalami pembendaan (fetisisme), menjelma prinsip legal negara yang
kosong konsepsi. Diabaikannya pemikiran Panitia Lima (1977)
yang diketuai Bung Hatta oleh Orde Baru telah mengeringkan Pancasila dari
konsepsi intelektual para pendiri bangsa. Setelah dikeringkan dimensi
intelektualnya, Pancasila lalu disulap Orde Baru menjadi ”kode etik” perilaku
dalam bentuk nilai-nilai normatif. Pancasila lalu menjadi moralitas. Padahal,
sejak awal, Pancasila merupakan filsafat negara dan ideologi politik. Dengan demikian, perlakuan minimalis kita
terhadap Pancasila dan pendidikannya merupakan pengamalan kita terhadap
warisan Orde Baru. P4 memang telah dihapus, tetapi paradigma berpikirnya
ternyata telah menjadi paradigma kita dalam memperlakukan dasar negara. Menjadi
ilmu Berpijak dari hal ini, penghidupan mata
pelajaran Pancasila menjadi bagian dari penghadiran Pancasila sebagai ilmu
pengetahuan. Hal ini yang belum dilakukan sebab Pancasila telah mengalami
”legalisasi” pada satu sisi dan ”normativisasi” pada saat bersamaan.
Pancasila tidak menjadi khazanah ilmu pengetahuan sesuai sifat dasarnya
sebagai filsafat kenegaraan. Secara historis, kita pernah memiliki model
pendidikan Pancasila yang indoktrinatif. Pada masa Demokrasi Terpimpin
melalui pendidikan Pancasila dalam kerangka Manipol-Usdek dan pada masa Orde
Baru melalui Pendidikan Moral Pancasila (PMP) dan P4. Sudah saatnya pendidikan Pancasila kita
hidupkan berdasarkan konsepsi orisinal Pancasila sebagai ideologi kebangsaan.
AMW Pranarka dalam Sejarah Pemikiran tentang Pancasila (1985), misalnya,
menegaskan pidato 1 Juni Soekarno sebagai konsepsi orisinal ideologi
kebangsaan Pancasila. Konsepsi ini dibedakan dengan Manipol atau
P4 yang merupakan tafsir negara. Ditambah pemikiran perumus Pancasila
lainnya, bangunan ilmu Pancasila bisa kita tata secara obyektif berdasarkan
metodologi ilmiah, bukan tafsir kekuasaan. Jika upaya menghidupkan pendidikan
Pancasila tidak dibarengi dengan pembangunan ilmu pengetahuan Pancasila,
upaya tersebut akan tetap melahirkan nestapa karena usaha yang kita lakukan
tidak tulus. Hanya kemurnian ilmu pengetahuanlah yang melahirkan ketulusan
tersebut. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar