Musibah Putusan Mahkamah Konstitusi
Feri Amsari ; Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO)
Fakultas Hukum Universitas
Andalas Padang
|
KORAN
TEMPO, 06 Oktober 2015
Mahkamah Konstitusi (MK) mengambil putusan berbeda ihwal
prosedur yang harus dilalui aparat penegak hukum dalam memeriksa anggota
legislatif dan kepala daerah yang diduga terjerat tindak pidana. Perbedaan
itu dapat dibaca dalam dua putusan Mahkamah yang berbeda dalam menafsirkan
"asas persamaan di hadapan hukum".
Dalam putusan Nomor 76/PUU-XII/2014, Mahkamah menentukan proses
penyelidikan atau penyidikan dugaan perkara pidana yang melibatkan anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Majelis Permusyawaratan
Rakyat hanya dapat dilakukan jika diizinkan oleh Presiden Republik Indonesia.
Sebaliknya, dalam perkara Nomor 73/PUU-IX/2011, hakim konstitusi
"menghapus ketentuan" izin Presiden dalam pemeriksaan kepala
daerah.
Perdebatan terhadap kedua putusan itu didasari pertanyaan yang
sama, yaitu apakah pemberian izin dalam pemeriksaan anggota legislatif atau
kepala daerah telah sesuai dengan asas persamaan di hadapan hukum (equality
before the law) yang dianut konstitusi? Pasal 27 ayat 1 UUD 1945 menentukan
bahwa, "Segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya."
Frasa "tidak ada kecualinya" bermakna UUD 1945 tidak
memberikan keistimewaan apa pun kepada anggota legislatif atau kepala daerah
yang menjalani proses hukum. Proses hukum khusus yang mengabaikan asas
persamaan di hadapan hukum hanya dapat dilakukan jika konstitusi
menghendakinya berbeda.
Misalnya, Pasal 7B UUD 1945 menentukan perlakukan khusus bagi
presiden dan/atau wakil presiden ketika menjalani proses hukum. Artinya,
selain terhadap presiden dan/atau wakil presiden, UUD 1945 tidak memberikan
kekhususan bagi anggota legislatif atau kepala daerah dalam melalui proses
hukum.
Lalu, apa yang menjadi argumentasi hukum Mahkamah Konstitusi
ketika mengabaikan asas persamaan di hadapan hukum yang dianut UUD 1945 demi
memberikan kekhususan bagi anggota DPR, DPD, dan MPR dalam menjalani proses
hukum? Apakah tafsir Mahkamah itu telah sesuai dengan teori dan praktek
penafsiran konstitusional yang dipahami para jurist?
Penafsiran konstitusi mesti berbeda dengan penafsiran terhadap
produk hukum lainnya. Tidak sekadar menghormati konstitusi sebagai produk
perundang-undangan tertinggi (the supreme law of the land), metode penafsiran
khusus terhadap konstitusi bertujuan melindungi UUD 1945 dari kesesatan
tafsir yang akan berdampak pada kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ahli hukum Amerika Serikat, John Garvey dan Alexander
Aleinikoff, berpendapat hanya ada dua kutub dalam penafsiran konstitusi:
kalangan originalis dan non-originalis. Kalangan originalis menekankan
penafsiran konstitusi berdasarkan teks (textual meaning) dan kehendak pembuat
(original intents) saat konstitusi disusun.
Itu sebabnya, putusan Mahkamah, yang menetapkan pemeriksaan
anggota legislatif yang diduga terlibat dalam tindak pidana harus didukung
oleh izin presiden, bertentangan dengan teks dan kehendak pelaku perubahan
UUD 1945. Tidak satu pun pasal dan notulensi rapat perubahan UUD 1945 yang
menghendaki anggota legislatif atau kepala daerah diperlakukan khusus ketika
menjalani proses hukum. Itu sebabnya, dalam putusan yang mewajibkan adanya
izin dari presiden dalam pemeriksaan anggota legislatif, Mahkamah tidak
mungkin menggunakan tafsir kalangan originalis ini.
Tafsir penentuan izin Presiden ini mungkin menggunakan
pendekatan tafsir non-originalis sebagai landasan argumentasinya. Setidaknya
kalangan non-originalis memiliki empat pendekatan dalam menafsirkan
konstitusi: (1) berdasarkan doktrin ahli atau asas hukum (doktrinal); (2)
menguatkan putusan hakim terdahulu (precedent atau stare decisis); (3)
mempertimbangkan etika yang diyakini masyarakat; dan (4) hakim dipengaruhi
kekuatan eksternal (prudential) di luar kehendak hakim.
Dalam putusan izin dari presiden bagi anggota legislatif
tersebut, Mahkamah tidak mungkin memberikan tafsir berdasarkan pendekatan
doktrinal karena putusan tersebut bertentangan dengan asas persamaan di
hadapan hukum. Asas itu tidak mengenal perlakuan istimewa hanya karena
seseorang menyandang status anggota legislatif.
Putusan tersebut tidak pula dilandasi pendekatan precedent
karena telah mengabaikan putusan terdahulu yang menghapus ketentuan adanya
izin presiden bagi kepala daerah dalam menjalani proses hukum berdasarkan
argumentasi bahwa setiap orang sama di hadapan hukum. Hakim konstitusi tidak
pula mungkin melandasi tafsirnya berdasarkan pendekatan etika karena publik
menolak perlakuan khusus dalam proses hukum bagi anggota legislatif.
Satu-satunya pendekatan tafsir yang mungkin digunakan adalah
adanya "kekuatan eksternal" yang mempengaruhi hakim. Hakim dapat
saja terpengaruh relasi masa lalu sebagai mantan anggota legislatif atau
membalas budi kepada DPR, yang memiliki kewenangan untuk memilih tiga hakim
konstitusi.
Meski prasangka itu tidak sepenuhnya tepat, bila memperhatikan
kualitas putusan Mahkamah yang kian menurun, timbulnya prasangka seperti itu
terhadap hakim Mahkamah dapat dimaklumi.
Bagaimanapun, putusan Mahkamah bersifat final dan mengikat bagi
siapa saja (erga omnes). Artinya,
tidak tersedia upaya hukum lain yang dapat mengubah ketukan palu Hakim
Konstitusi. Bahkan, Mahkamah sendiri tidak berwenang mengubah putusan lama
dengan putusan baru.
Putusan Nomor 76/PUU-XII/2011, yang telah mengubah makna
konstitusional asas persamaan di hadapan hukum yang ditentukan Pasal 27 ayat
1 UUD 1945 melalui putusan Nomor
73/PUU-IX/2011, adalah sebuah putusan yang inkonstitusional.
Putusan yang demikian dapat menciptakan dua musibah: (i) sifat
final dan mengikat putusan Mahkamah kehilangan nilai; dan (ii) hakim
konstitusi pada periode tertentu dapat "mempermainkan" makna
konstitusional suatu masalah akibat tekanan politik dari lembaga yang
memilihnya (DPR, Mahkamah Agung, dan Presiden) melalui putusan yang baru.
Dua musibah itu telah diantisipasi melalui teori hukum tata
negara. Menurut para ahli, putusan Mahkamah, meski salah, tidak dapat diubah
kecuali melalui perubahan konstitusi. Akibatnya, jika Mahkamah sesat dalam
menafsirkan konstitusionalitas suatu perkara, putusan itu harus tetap
dihormati serta dibenahi melalui perubahan UUD 1945. Tentu saja perubahan UUD
1945 tidak mudah terjadi, sehingga hakim konstitusi wajib berhati-hati dalam
menafsirkan sebuah perkara.
Karena itu, Pasal 24C ayat 5 UUD 1945 memberikan syarat yang
amat berat bagi seseorang untuk dapat menjadi hakim konstitusi. Selain
memiliki integritas serta kepribadian tidak tercela dan adil, hakim
konstitusi haruslah seorang negarawan yang menguasai konstitusi dan
ketatanegaraan. Jika syarat tersebut dipenuhi setiap hakim konstitusi, tentu
putusan yang sesat dalam tafsirnya akan berkurang. Apa pun itu, kewajiban
kita sebagai warga negara adalah menghormati putusan Mahkamah Konstitusi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar