Setelah Piala Presiden, lalu Apa?
Bambang Pamungkas ; Pemain Persija Jakarta; Wapres APPI
|
JAWA
POS, 17 Oktober 2015
Apa kabar
sepak bola Indonesia?
DI hari ke-168
Indonesia mendapatkan sanksi FIFA ini, apa yang telah kita lakukan untuk memperbaiki
keadaan? Sudahkah kita melakukan hal-hal yang benar? Atau kita hanya
membuang-buang waktu selama 168 hari tanpa melakukan perubahan-perubahan
berarti?
Kalimat
seperti mari belajar dari kesalahan dan memperbaiki diri rasanya sudah tidak
relevan untuk digunakan. Saat ini yang lebih pas adalah sebuah pertanyaan,
misalnya, apakah kepala kita masih ada isinya? Dan masihkah isi kepala itu
bekerja dengan sebagaimana mestinya?
Sejujurnya
saya gembira melihat sepak bola Indonesia kembali bergeliat dengan digelarnya
Piala Kemerdekaan dan Piala Presiden. Antusiasme pemain, pelatih, dan
masyarakat selama perhelatan dua turnamen tersebut mampu memberikan
kegembiraan yang membuat kita dapat sejenak melupakan permasalahan di sepak
bola kita.
Pertanyaan
besar yang kemudian muncul adalah: setelah ini apa?
Agenda apa
yang akan kita lakukan setelah Piala Kemerdekaan dan Piala Presiden –yang
finalnya berlangsung besok– berakhir? Apakah sepak bola kita akan kembali
mati suri? Jangan pula kita hanyut dalam keriaan penyelenggaraan turnamen
sehingga melupakan arti penting sebuah kompetisi.
Sebab,
turnamen demi turnamen yang digelar seharusnya hanya menjadi penjaga asa di
tengah konflik panas yang selama ini terjadi. Setelah Piala Kemerdekaan dan
Piala Presiden, apakah kita sudah memikirkan bagaimana cara agar sepak bola
Indonesia dapat benar-benar ”hidup kembali”?
Sebab,
idealnya, langkah selanjutnya adalah mencari jalan keluar terbaik. Itu
bertujuan agar sanksi yang dijatuhkan kepada sepak bola Indonesia ini dapat
segera berakhir. Mengingat fondasi utama dari pembinaan sepak bola adalah
menjalankan roda kompetisi. Jangan sampai masa-masa gelap sepak bola kita ini
malah menjadi ladang ”tumpengan” pihak-pihak tertentu.
Suksesnya
pergelaran Piala Kemerdekaan dan Piala Presiden seolah-olah telah mengubah
orientasi kita dalam berpikir. Bukan lagi mencari jalan keluar dari segala
permasalahan agar sanksi dapat segera dicabut. Melainkan bagaimana dapat
mengisi masamasa konflik ini dengan membuat turnamen sebanyak-banyaknya.
Sebanyak apa
pun turnamen yang akan digelar tidak akan menyelesaikan permasalahan inti
yang tengah kita hadapi selama ini! Semakin kita memikirkan penyelenggaraan
turnamen dan melupakan kompetisi, semakin pula kita lari dari permasalahan.
Jangan jadi
bangsa pengecut. Mari kita hadapi masalah ini bersama-sama. Sebesar dan
sesulit apa pun tantangannya, mari kita hadapi dan cari jalan keluarnya
dengan segera.
Saat ini
masyarakat hanya ingin melihat sebuah tindakan nyata dari penyelesaian
masalah ini. Syukur-syukur jika semuanya dapat diselesaikan dengan cara
musyawarah. Namun, jika toh harus dengan ” berdarah-darah” dan memulai
semuanya dari nol pun, mari segera kita lakukan.
Para pelaku
sepak bola butuh mencari nafkah, masyarakat butuh hiburan, dan sepak bola
Indonesia juga butuh terus berkembang. Karena itu, kompetisi berjenjang
menjadi mutlak untuk segera digulirkan. Tidak ada lagi waktu untuk memelihara
perseteruan ini. Sudah terlalu banyak yang dikorbankan dan masyarakat pun
tentu sudah teramat sangat muak.
Kegagalan PSSI
dalam beberapa kesempatan untuk melaksanakan liga membuat kredibilitas
organisasi tersebut dipertanyakan. Terutama oleh klub-klub anggotanya
mengingat sumber kehidupan sebuah klub adalah dari kompetisi.
Sebuah keadaan
yang bukan tidak mungkin akan mendorong para pemilik suara untuk menyuarakan
pelaksanaan kongres luar biasa seperti yang saat ini sudah mulai sayup-sayup
terdengar.
Di sisi lain,
tidak adanya langkah konkret dari pemerintah dalam penyelesaian masalah
membuat masyarakat mulai sangsi dengan keseriusan Menpora dalam memperbaiki
sepak bola Indonesia. Dan jika kondisi itu dibiarkan berlarutlarut, rasanya
desakan untuk diadakannya reshuffle pun tidak dapat dihindarkan lagi.
Secara pribadi
saya masih berpegang pada pendirian semula. Idealnya, Menpora segera mencabut
sanksi yang telah diberikan. Syaratnya, PSSI juga harus menyepakati poin-poin
tertentu agar perbaikan sepak bola Indonesia benar-benar dapat terwujud.
Proses
penandatanganan kesepakatan tersebut dilakukan secara terbuka. Bila perlu
disiarkan secara langsung melalui stasiun televisi. Itu dimaksudkan agar
masyarakat luas juga dapat turut serta menjadi saksi dan mengawasi poin-poin
kesepakatan tersebut.
Waktu terus
berjalan, ke depan, bukan ke belakang. Karena itu, bukan saatnya lagi membicarakan
apa yang terjadi kemarin, minggu lepas, atau sebulan yang lalu. Saatnya
melihat ke depan dan mencari jalan penyelesaian dari permasalahan ini. Demi
perkembangan sepak bola Indonesia ke arah yang lebih baik.
Sejatinya saat
ini kita hanya sedang menghibur diri. Kita terhipnotis oleh euforia turnamen
demi turnamen yang sejatinya tidak menyelesaikan pokok permasalahan yang
sebenarnya tengah kita hadapi. Sampai kapan kita akan lari dari masalah ini?
Jika kedua pihak tidak segera
mencari jalan keluar permasalahan ini, saya kok khawatir nanti masyarakat
yang mencarikan jalan keluar bagi mereka. Dan jika masyarakat yang mencarikan
jalan, sudah barang tentu juga dengan cara masyarakat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar