Karakter
Bre Redana ; Penulis Kolom “Catatan Minggu” Kompas
Minggu
|
KOMPAS,
18 Oktober 2015
Seberapa jauh sesuatu hal perlu diatur dengan peraturan, kaidah,
undang-undang, struktur, organisasi, dan lain-lain? Bekerja di lingkungan jurnalistik
sejak masa pers belum berkembang menjadi industri sebesar, sekompleks, dan
semulti-platform sekarang, menjadi ingat kata-kata yang sering diucapkan
pimpinan kami waktu itu: yang diperlukan karakter.
Itu untuk menjawab hal-hal yang belum sempat terumuskan secara
rinci dalam code of conduct,
taruhlah misalnya menyangkut suap atau di kalangan wartawan disebut ”amplop”.
Wartawan tidak boleh menerima amplop. Persoalannya, bagaimana wartawan yang
ditugaskan dalam beat khusus, misalnya ditempatkan di departemen tertentu
pemerintah? Ia harus ikut rombongan menteri, dengan pesawat maupun hotel yang
disediakan oleh pihak pengajak? Kadang dihadapkan amplop yang sudah
ditetapkan dalam anggaran departemen, sebagaimana anggota rombongan lain?
Atau kasus sehari-hari misalnya menerima kantong cenderamata
saat konferensi pers, diajak makan di restoran mewah yang harga makanannya
lebih mahal daripada gaji guru, dikirimi bingkisan saat Lebaran, Natal, Tahun
Baru, dan lain-lain? Kategori apa itu semua?
”Mbelgedes....” kata salah satu petinggi kantor kami dulu sambil berkacak
pinggang. ”Struktur mau dibuat seperti
apa pun, aturan serinci apa pun, kalau orang memang berkeinginan korupsi, ya
tetap tersedia celah. Kalian punya hati nurani. Bisa membedakan baik buruk. Orang
itu yang penting karakter,” lanjutnya.
Karena ukurannya karakter, sekali Anda tersandung atau
terjeblok, cacatlah karakter Anda. Cacat akan melekat seumur hidup. Celaka
dua belas, Anda mau memperbaiki diri sekalipun tak akan pernah lagi
dipercaya. Istilahnya: telanjur terkena stigma.
Dengan sangat hati-hati kami harus sanggup memelihara karakter,
memelihara kepribadian, patuh pada kejujuran. Apa boleh buat. Mungkin memang
begitulah, bisnis media massa adalah bisnis kepercayaan. Trust. Sekali
kepercayaan dikhianati, Anda kehilangan kredibilitas. Di tengah semangat
bohemian masa itu, wartawan barangkali kumal, lusuh, tapi kami berdiri tegak
di bawah matahari.
Makanya, bagi banyak orang yang hidup dalam kategori
hitam-putih, salah ya salah benar ya benar seperti dalam film koboi maupun
silat di mana kami dibesarkan, terus terang capai melihat keculasan para
politisi, seperti ditunjukkan sebagian anggota DPR. Mereka membuat rancangan
undang-undang yang berlawanan dengan semangat antikorupsi. Berbagai dalih
dibikin, untuk membuat korupsi berada di wilayah abu-abu, maksudnya kira-kira
belum tentu salah. Ini resmi kok. Salah kok resmi. Itulah mbelgedes tadi.
Persis soal minuman beralkohol, yang dari waktu ke waktu
ditempatkan pada wilayah tidak jelas, serba abu-abu, agar pebisnis alkohol
bisa diperas. Bagaimana industri pariwisata maju kalau di negara tropis turis
tak boleh minum pina colada, mojito, bir, dan lain-lain.
Ironisnya di situ diberikan argumen moral: bir menumbuhkan
kejahatan. Banyak orang tahu, Singapura yang di setiap tikungan ada bir jauh
lebih aman dibandingkan Tangerang. Argumen moral tadi dilanjutkan: jangan
disamakan dong. Masyarakat kita beda. Lhah, kalau begitu urus masyakaratnya.
Manusianya. Katanya revolusi mental....
Tak kalah mutakhir, dirancangkannya undang-undang kebudayaan.
Belum orang habis pikir, kebudayaan kok diundang-undangkan, ternyata dalam
rancangan diselipkan rokok kretek sebagai warisan budaya.
Bagaimana kemudian masyarakat tidak berpikir: banyak rancangan
undang-undang, yang kelihatannya diniatkan untuk mengorup kebudayaan,
mengorup peradaban, mengorup kehidupan?
Negoro mowo toto, deso
mowo coro. Tidak semua hal perlu
diundang-undangkan. Tak kalah penting karakter orang, karakter manusia.
Marilah kita ingat-ingat para politisi yang ingin merongrong
kehidupan melalui undang-undang. Perhatikan fotonya. Bayangkan mereka sebagai
kriminal. Karakter sulit diubah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar