Menyoal Aturan Tata Kelola Gas Bumi
Marwan Batubara ; Indonesia Resources Studies, IRESS
|
KOMPAS,
27 Oktober 2015
Pemerintah sedang menyusun Peraturan Presiden tentang Tata
Kelola Gas Bumi yang akan segera terbit. Perpres itu akan merupakan bagian
dari berbagai paket kebijakan ekonomi yang diterbitkan pemerintah sejak
September 2015.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi IGN Wiratmaja Puja mengatakan,
perpres ini akan terbit pada Oktober 2015. Ketentuan yang akan diatur dalam
perpres antara lain terkait dengan masalah tata niaga, sistem alokasi, skema
harga, infrastruktur gas, dan badan penyangga atau agregator gas (AG).
Tampaknya perpres memang mendesak diterbitkan karena regulasi
yang liberal telah membuat industri gas nasional kekurangan pasok,
infrastruktur tidak terbangun, konsumen tidak berkembang, harga antarwilayah
tidak seragam, dan bauran energi memburuk. Meski demikian, ketentuan yang diatur
dalam perpres perlu dipertimbangkan secara saksama agar sesuai dengan amanat
konstitusi dan kepentingan ketahanan energi nasional, termasuk ketentuan
tentang pembentukan AG.
Agregator gas berfungsi menjamin ketersediaan pasokan, melakukan
agregasi harga dari beragam pasokan, membangun infrastruktur, mengembangkan
permintaan, dan mengelola portofolio gas untuk disalurkan ke berbagai segmen
pelanggan. Peran AG antara lain melakukan pengumpulan gas dari berbagai
sumber, membangun infrastruktur dari sumber hingga konsumen, menjamin
pelayanan sesuai dengan level kebutuhan, menjamin keamanan pasokan, mengelola
infrastruktur yang terintegrasi dan melayani konsumen dengan harga seragam.
Guna membentuk AG, antara lain perlu diperhatikan peran dan dampaknya dalam
struktur industri gas, jenis AG yang dipilih, dan upaya penyeragaman harga
gas.
Ada tiga kemungkinan implementasi AG: AG pasokan, AG konsumen
(permintaan), dan AG pasokan-konsumen. Sebagai pasokan, AG bertindak sebagai
badan usaha yang menjamin opti- malisasi pengelolaan portofolio pasokan gas
yang bersumber dari dalam dan luar negeri bagi keandalan penyaluran gas,
sekaligus melakukan agregasi harga untuk optimalisasi pemanfaatan. Agregator
gas pasokan mengidentifikasi dan memetakan potensi pasokan domestik dan juga
berperan sebagai importir tunggal untuk posisi tawar lebih baik. Namun, untuk
penyediaan gas ke pengguna, AG pasokan melakukan mekanisme kompetisi pada
pedagang dan distributor gas.
Upaya besar,
waktu lama
Agregator gas konsumen berperan sebagai penjamin optimalisasi
portofolio pengguna melalui agregasi atas perbedaan willingness to pay
pengguna antarsegmen dan antarwilayah untuk optimalisasi pemanfaatan gas.
Agregator gas konsumen juga berfungsi mengagregasi beda biaya infrastruktur
antarwilayah untuk optimalisasi pemerataan pemanfaatan gas, sinkronisasi dan
koordinasi pengembangan permintaan, dan menjamin pemanfaatan gas untuk
produksi hulu gas. Namun, dalam kondisi tidak terjaminnya pasokan,
infrastruktur yang masih terbatas, permintaan yang tersebar, dan konsumen
yang masih memerlukan peningkatan daya beli, implementasi AG konsumen
memerlukan upaya yang besar dan waktu lama.
Dalam AG pasokan-konsumen, badan usaha berperan menjalankan
kedua fungsi agregasi berupa jaminan keandalan pasokan dan jaminan
pemanfaatan gas secara terintegrasi. Menilik peran yang dapat dijalankan
lebih komprehensif, maka jika dibandingkan dengan AG pasokan dan AG konsumen,
badan usaha AG pasokan-konsumen, atau disebut AG nasional, dapat dianggap
pilihan yang cukup layak diimplementasikan. Namun, karena industri gas saat
ini lebih bermasalah pada peningkatan pemanfaatan dibandingkan dengan
ketersediaan pasokan, maka badan usaha AG nasional diharapkan lebih
menitikberatkan peran pada percepatan peningkatan pemanfaatan dan permintaan
gas.
Dalam praktiknya, predikat AG nasional hanya layak disandang
oleh BUMN, yakni PGN dan Pertamina/Pertagas. Jika ingin memilih salah satu,
dan titik berat tertuju pada upaya peningkatan pemanfaatan dan konsumen,
pilihan jatuh pada PGN. Namun, jika titik berat pada keandalan pasokan,
pilihan jatuh pada Pertamina. Menilik kondisi riil industri gas nasional yang
perlu mengejar peningkatan jumlah konsumen dan perluasan infrastruktur,
predikat AG nasional tampaknya layak dijalankan oleh PGN. Untuk kedua
alternatif pilihan tersebut berlaku prinsip bahwa sinergi kedua BUMN tetap
harus diutamakan.
Sebelum pilihan dituangkan dalam peraturan, perlu disadari bahwa
sektor pelayanan gas merupakan cabang produksi yang penting bagi negara dan
yang menguasai hajat hidup orang banyak sehingga harus dikuasai oleh negara
(Pasal 33 UUD 1945). Karena itu, kebijakan yang diambil bukanlah meneruskan
hal-hal yang telah telanjur liberal dalam UU No 22/2001 tentang Migas seperti
ketentuan tentang alokasi dan pemanfaatan gas, unbundling dan akses terbuka,
eksistensi pedagang, lelang infrastruktur, tetapi mengembalikan peran
penguasaan negara melalui BUMN.
Faktanya, UU No 22/2001 dan peraturan turunannya memuat
ketentuan liberal yang prematur karena-bahkan-di negara-negara asalnya (OECD)
tak mendadak diterapkan. Secara global, cara paling efisien kompetisi pasar
gas melewati tahap monopoli dan integrasi bisnis vertikal, kompetisi
antarpipa, kompetisi pasar grosir dan akses terbuka, serta kompetisi eceran
penuh. Ini sejalan dengan tingkat kematangan deregulasi tiap negara yang
umumnya berevolusi melalui tahap embrionik, pertumbuhan, kematangan, dan
liberalisasi. Evolusi deregulasi dan kompetisi pasar gas negara maju butuh
puluhan tahun untuk sampai ke fase matang, yang salah satunya ditandai dengan
terbangunnya infrastruktur di seantero negeri pada fase monopoli.
Melangkahi dua
fase
Melalui UU No 22/2001, saat ini Indonesia berada pada fase liberal
dengan melangkahi fase pertumbuhan dan kematangan. Padahal, jika berpegang
teguh pada Pasal 33 UUD 1945, fase liberal pun tak layak dijalani. Kita harus
tetap menjadikan sektor gas nasional berada di tangan BUMN yang memegang hak
monopoli alamiah. Kesalahan fatal menetapkan UU No 22/2001 yang
meliberalisasi sektor gas nasional pada fase embrionik, saat sebaran
infrastruktur masih berada pada level 20 persen dibandingkan dengan harus
matang 100 persen terlebih dulu, telah menghasilkan terhambatnya pelayanan
dan pemanfaatan gas, buruknya bauran energi, rapuhnya ketahanan energi, tak
berkembangnya industri, dan terdampaknya ekonomi nasional.
Jika demikian, rencana pemerintah untuk segera menerbitkan
perpres tata kelola gas perlu dikaji ulang. Kita tak berharap tujuannya hanya
untuk kepentingan terbitnya paket kebijakan, tetapi kehilangan substansi dan
kebutuhan untuk mengatasi permasalahan. Indonesia perlu melewati berbagai
fase pengembangan yang merupakan praktik terbaik di seluruh dunia yang bahkan
dilalui negara-negara penganut paham liberal, seperti AS, Inggris, Perancis,
Kanada, dan Selandia Baru. Apalagi, ternyata kita harus konsisten dengan
amanat konstitusi di mana perekonomian disusun berdasarkan asas kekeluargaan.
Karena itu, dengan kebutuhan untuk melalui fase embrionik secara
penuh agar infrastruktur terbangun dan rakyat terlayani di seantero negeri,
implementasi AG nasional atau badan penyangga gas nasional menjadi tak
mendesak. Monopoli industri gas di tangan BUMN akan otomatis menjamin terwujudnya
berbagai manfaat pembentukan AG nasional. Bahkan, infrastruktur di wilayah
marjinal dan rendah produk domestik regional bruto akan terbangun melalui
subsidi silang.
Perpres tata kelola gas yang akan diterbitkan mestinya ditujukan
untuk mengurangi atau menghilangkan berbagai ketentuan liberal dalam
peraturan yang ada. Sejalan dengan itu pemerintah dan DPR dituntut segera
menyelesaikan pembentukan UU migas baru yang pada 2015 ini jadi RUU Prioritas
Prolegnas 2015-2019. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar