Tugas Paling Sulit Seorang Hakim
Adi Andojo Soetjipto ; Mantan Ketua Muda Mahkamah Agung
|
KOMPAS,
24 Oktober 2015
- The most difficult question a judge has to decide is what sentence he
should impose on an offender he found guilty -
Ungkapan
tersebut pernah diucapkan oleh seorang hakim, saya lupa namanya, yang melekat
di benak saya sampai sekarang.
Sebagai seorang mantan hakim
yang pernah bertugas di pengadilan paling bawah (pengadilan negeri) sampai
paling atas (Mahkamah Agung) selama 40 tahun, saya sangat setuju dan bisa
meresapi apa yang diucapkan oleh hakim tersebut. Memang, yang paling sulit
yang dihadapi seorang hakim dalam melaksanakan tugas adalah ketika dia harus
menjatuhkan putusan hukuman apa dan berapa berat terhadap terdakwa yang telah
dinyatakan terbukti bersalah.
Di sinilah indra keenam hakim
akan turut bicara. Dia akan mempertimbangkan banyak sekali hal, seperti umur
terdakwa, profesinya, jenis kelaminnya, motifnya apa, dan banyak lagi. Dari
situlah dia akan menjatuhkan putusan yang seadil-adilnya.
Tulisan ini dibuat sebagai rasa
keberatan saya terhadap sikap MA, yang akhir-akhir ini memperberat hukuman
terhadap koruptor. Bahkan sampai beberapa kali lipat daripada hukuman yang
dijatuhkan olehjudex facti (hakim yang memeriksa bukti perkara
di pengadilan negeri/pengadilan tinggi) dalam perkara tindak pidana korupsi.
Hukuman yang memperberat itu
terkesan semata-mata hanya untuk membuat para koruptor jera. Titik! Kesan
yang saya dapat, hakim tidak mempertimbangkan hal lain sehingga terkesan
hukuman itu dijatuhkan secara hantam kromo, atau sekadar mencari
popularitas. Itu kesan yang didapat masyarakat.
Bukan saya tak setuju hukuman
berat kepada para koruptor. Saya adalah salah seorang yang pernah menjabat
ketua tim pemberantasan korupsi, jadi saya setuju sekali apabila korupsi
diberantas dengan berbagai macam cara. Akan tetapi, tentu jika hal itu
dilakukan dengan cara yang tidak boleh asal-asalan.
Dalam menjatuhkan hukuman
hendaknya selalu dipikirkan antara ”lamanya” hukuman dan ”beratnya” hukuman
yang dijatuhkan. Sebab, kedua hal tersebut merupakan dua hal yang berbeda.
Lamanya hukuman boleh sama, misalnya lima tahun, tetapi mengenai beratnya
akan dirasakan berbeda.
Contohnya, bagi terdakwa wanita
yang kedudukan sosialnya cukup terpandang, sekaligus punya anak kecil yang
sekonyong- konyong harus direnggut dengan paksa dari pelukannya, penderitaan
ini pasti akan dirasakan lebih berat bagi terdakwa tersebut. Belum lagi kalau
anak-anaknya itu akhirnya terpaksa diserahkan kepada seorang pengasuh yang
tidak baik, bukan tak mungkin si anak akan menjadi anak-anak ”salah asuhan”
yang justru akan menjadi beban negara di kemudian hari.
Kalau tujuan pemberatan hukuman
yang dijatuhkan itu semata-mata untuk memberikan efek jera bagi para koruptor
agar tidak melakukan korupsi lagi, hal itu juga belum terbukti berhasil.
Sebab, pada kenyataannya, sampai sekarang korupsi masih merajalela.
Menurut saya, korupsi akan
habis diberantas tidak dengan cara memperberat hukuman sampai berlipat ganda,
tetapi dengan cara lain, yaitu dengan menyadarkan mereka. Lagi pula, katanya
Mahkamah Agung adalah benteng terakhir keadilan. Namun, sekarang orang
menjadi takut naik kasasi karena khawatir hukumannya akan diperberat, padahal
mereka belum puas atas putusan judex facti yang dirasakan masih mengandung
kesalahan.
Itu hal yang pertama. Hal yang
kedua yang saya belum yakin adalah soal strafmaat (hukuman yang dijatuhkan), yang
sekarang termasuk menjadi wewenang Mahkamah Agung untuk mengubahnya.
Sewaktu saya masih bertugas di
lembaga itu, soal hukuman yang telah dijatuhkan oleh pengadilan
negeri/pengadilan tinggi tidak masuk wewenang Mahkamah Agung untuk
mengubahnya. Mahkamah Agung hanya berwenang membatalkan putusan pengadilan
negeri/pengadilan tinggi apabila badan peradilan itu telah ”salah menerapkan
hukum” atau ”hukum tidak diterapkan”. Apakah Mahkamah Agung sekarang sudah ”omgaan” dari pendiriannya semula dan apa ada
dasar hukumnya?
Tulisan ini dimaksudkan untuk
memberi masukan kepada masyarakat agar kalau ada yang salah dapat segera
dikoreksi. Kita sebagai sesama warga negara harus saling mengingatkan.
Tentu saja bukan maksud yang
jelek, tetapi justru sebaliknya: agar tidak berlanjut apabila ada kesalahan.
Saya mohon maaf apabila ada yang tersinggung dengan adanya tulisan ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar