Formula Baru Upah Minimum
Rekson Silaban ; Direktur Indonesia Labor Institute
|
KOMPAS,
21 Oktober 2015
Formula penetapan upah minimum yang diumumkan pemerintah dalam
paket kebijakan ekonomi IV pada 15 Oktober adalah sebuah keputusan berani dan
berisiko. Tampaknya pemerintahan Joko Widodo akan mengakhiri kebuntuan 12
tahun mandat Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 untuk melahirkan peraturan
pemerintah (PP) tentang pengupahan, menggantikan PP No 8/1981. Ini sekaligus
akan mengakhiri drama perseteruan tahunan tripartit antara kaum buruh,
pengusaha, dan pemerintah.
Tindak lanjut legislasi setelah pengumuman paket kebijakan ini
akan diikuti lahirnya sebuah PP pengupahan baru dan tujuh peraturan menteri
ketenagakerjaan, yakni Peraturan Menteri Ketenagakerjaan tentang Formula UM;
Peraturan Menteri Ketenagakerjaan tentang Penetapan Upah Minimum
Provinsi/Upah Minimum Kabupaten (UMP/UMK); Peraturan Menteri Ketenagakerjaan
tentang Penetapan UMS; Peraturan Menteri Ketenagakerjaan tentang Struktur Skala
Upah; Peraturan Menteri Ketenagakerjaan tentang THR; Peraturan Menteri
Ketenagakerjaan tentang Uang Service; Peraturan Menteri Ketenagakerjaan
tentang Kebutuhan Hidup Layak (KHL).
Formula penetapan UM yang sederhana terprediksi dan
less-politicking sudah lama dinantikan para pelaku bisnis di Indonesia. Dua
rezim pemerintah sebelumnya (Megawati Soekarnoputri dan SBY) gagal menelurkan
PP pengupahan akibat selalu mentok dalam pembahasan di tripartit pengupahan
nasional. Pertanyaan mendasar yang perlu diajukan adalah, apakah formula baru
ini akan melindungi buruh ke arah yang lebih baik, atau hanya untuk
kepentingan pebisnis?
Dalam konsep internasional, penetapan upah minimum (UM) adalah
salah satu bentuk perlindungan yang diberikan pemerintah ke buruh sebagai
bentuk jaring pengaman sosial. Agar upah buruh tidak jatuh kepada mekanisme
pasar bebas. Umumnya, UM diperuntukkan bagi pekerja berpendidikan rendah,
pekerja tanpa keahlian, pekerja lajang, pekerja kontrak di bawah satu tahun.
Jika UM ditetapkan di bawah kebutuhan minimum, konsep perlindungan sosial
negara akan hilang. Tetapi, bila ditetapkan di atas upah kebutuhan minimum,
maka akan konflik dengan situasi pasar kerja.
Konsep yang
salah kaprah
Pada hal terakhir inilah Indonesia menghadapi masalah, karena
membuat konsep UM menjadi salah kaprah. Pasal 88-89 UU No 13/2003
menyebutkan, "Pemerintah menetapkan upah minimum berdasarkan kebutuhan
hidup layak dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan
ekonomi".
Misi UM yang sejatinya ditujukan untuk upah jaring pengaman ke
buruh rentan, tidak ahli, dan lajang berubah menjadi upah hidup layak untuk
semua buruh. Dari konsep mana pun, upah minimum pasti lebih rendah dari upah
hidup layak. Namun, karena konsep yang salah, kalangan serikat buruh selalu meminta
kenaikan UM yang terus tinggi, dengan mengajukan revisi perubahan besaran
komponen upah. Apalagi persepsi akan hidup layak adalah sesuatu yang abstrak
dan bebas diterjemahkan sesuai sektor, profesi, jabatan, pendidikan,
penghasilan, pandangan hidup, dan seterusnya.
Ada lima pokok kelemahan dari formula baru UM ini. Pertama,
formula ini menyebutkan bahwa penetapan UM didasarkan pada: UM tahun berjalan
ditambah persen inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Ini bertentangan dengan isi
UU No 13/2003 yang terang benderang menyebutkan bahwa "Upah minimum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ditetapkan oleh gubernur dengan
memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau bupati/wali
kota". Apakah pemerintah tidak menghitung akan adanya aksi gugatan hukum
di PTUN bila formula ini dijalankan? Ataukah tidak sebaiknya pemerintah
mengeluarkan perppu mengganti UU No 13/ 2003 yang sudah enam kali diubah oleh
Mahkamah Konsitusi.
Kedua, UU No 13/2003 memang mengamanatkan adanya PP untuk
pengupahan. Tetapi, tidak untuk mengubah formula pengupahan. Namun, mandat
yang diberikan, seperti tertuang dalam Pasal 97 hanya untuk mengatur
ketentuan mengenai penghasilan yang layak, kebijakan pengupahan, kebutuhan
hidup layak, dan perlindungan pengupahan.
Ketiga, formula UM dengan menggunakan tingkat inflasi nasional
dan pertumbuhan ekonomi nasional secara ekonomi tidak adil bagi daerah yang
tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonominya lebih rendah atau lebih tinggi
dari angka nasional.
Keempat, pemerintah dalam penjelasannya mengatakan nantinya akan
ada evaluasi KHL setiap lima tahun. Pertanyaannya, kalau UM ditetapkan
melalui formula baru ini, maka tidak lagi relevan melakukan evaluasi KHL.
Sebab UM tidak lagi didasarkan atas 60 komponen KHL, seperti praktik selama
ini, tetapi berdasarkan rumus baru di atas.
Yang justru mendesak dilakukan adalah mewajibkan seluruh
perusahaan memiliki struktur dan skala upah, dengan membuat sanksi
administratif kepada pelanggarnya. Dengan demikian, tidak lagi ditemui
pekerja yang selalu dibayar sebatas UM walau sudah bekerja puluhan tahun.
Kelima, ini masalah penting buat serikat buruh, yaitu pemandulan
peran serikat buruh dalam penetapan UM. Dengan formula baru serikat buruh
tidak lagi terlibat dalam urusan upah. UM untuk buruh masa kerja di bawah
satu tahun akan ditetapkan sesuai formula baru. Sementara upah di tingkat
perusahaan akan ditentukan oleh struktur dan skala upah. Serikat buruh hanya
akan terlibat dalam perumusan konsep upah sekali lima tahun dalam wadah
lembaga tripartit. Itu pun dengan asumsi ada konsep upah baru yang disetujui
oleh pengusaha atau pemerintah. Pemandulan lembaga tripartit pengupahan
merupakan kemunduran besar bagi Indonesia yang oleh ILO dikenal memiliki
konsep dialog-sosial yang bagus.
Solusi
komprehensif
Untuk pemerintah, pembuatan formula UM sebaiknya jangan
dilakukan secara gegabah, untuk menghindari kebingungan publik. Tuntutan
efisiensi dan kepastian berusaha jangan dilakukan dengan menabrak
perundangan. Jangan sampai kasus pengambilan dana jaminan hari tua (JHT)
terulang kembali. Baru diumumkan, tetapi langsung diubah beberapa hari
kemudian. Pemerintah juga harus memastikan agar angka inflasi tetap rendah
agar pendapatan, dana JHT, dan pensiun buruh tak habis tergerus.
Pertumbuhan ekonomi harus dikaitkan dengan penurunan angka
pengangguran dan penurunan pekerja informal. Karena di masa Orde Baru
pertumbuhan ekonomi 1 persen bisa menciptakan lapangan kerja 400.000, saat
ini hanya bisa menciptakan 200.000-300.000, akibat menurunnya investasi padat
karya. Pemerintah selanjutnya harus memperkuat pengawasan untuk memperkuat
kepatuhan pembayaran dan memperluas besaran cakupan UM. Karena di sini titik
lemah pemerintah selama ini. Selanjutnya, ketentuan penundaan pembayaran UM
tak boleh diberlakukan lagi dengan alasan apa pun.
Buat pengusaha, diharuskan memiliki struktur dan skala upah,
sebab hanya sebagian kecil perusahaan yang mematuhinya sekalipun sudah
ditetapkan UU sejak 2003. Pemerintah harus memberikan sanksi administratif
kepada perusahaan yang tidak memiliki struktur dan skala upah. Pengusaha juga
diwajibkan secara transparan menginformasikan kepada pekerjanya. Buat
kalangan serikat buruh, dinantikan usulan yang konstruktif. Jangan berhenti
hanya pada sikap menolak gagasan perubahan. Beberapa opsi harus ditawarkan
untuk mencegah kemandekan perundingan. Terlalu lama waktu 12 tahun untuk
menantikan sistem pengupahan dilahirkan.
Sebenarnya kalau mau disederhanakan, sistem upah untuk Indonesia
bisa dilakukan dengan dua model, yaitu UM dan upah hidup layak (UHL). Upah
minimum untuk mereka dengan masa kerja di bawah satu tahun ditetapkan oleh
pemerintah dengan formula UM ditambah tingkat inflasi daerah dan pertumbuhan
ekonomi daerah. Tetapi, pengawasannya melibatkan serikat buruh dalam wadah
tripartit daerah. Untuk UHL ditetapkan melalui perundingan bipartit tingkat
perusahaan berdasarkan komponen KHL dan produktivitas. Ini akan lebih adil
karena setiap perusahaan memiliki kondisi dan kemampuan yang berbeda. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar