Ekonomi Weekend Husband
Rhenald Kasali ; Pendiri Rumah Perubahan
|
KORAN
SINDO, 15 Oktober 2015
Saya punya banyak kolega yang bekerja di Jakarta, sementara anak
dan istrinya tinggal di Bandung. Setiap akhir pekan, ia akan pulang ke
Bandung dan baru kembali lagi ke Jakarta, Senin pagi. Lantaran pola hidupnya
yang seperti itu, di kantornya ia mendapat julukan weekend husband. Mungkin
kalau yang menjalani pola hidup seperti itu adalah sang istri, julukannya
menjadi weekend wife.
Ketika mendengar gagasan tentang kereta cepat Jakarta– Bandung,
mata kolega saya berbinar. Bayangkan, jarak Jakarta– Bandung dan sebaliknya
bisa ditempuh hanya dalam tempo sekitar 30 menit. Itu kalau nonstop. Baiklah
kita tambahkan dengan waktu yang dihabiskan untuk berhenti di beberapa
stasiun, menjadi 50 menit. Itu pun masih oke. Akan jauh lebih cepat daripada
orang Bekasi yang berdesak-desakan lewat jalan tol ke Jalan Sudirman–Thamrin.
Ini berbeda dengan teman lain yang biasa melihat kereta barang
angkutan logistik di Amerika Serikat. Kawan lulusan Amerika Serikat itu biasa
menyaksikan kereta api lewat dengan rangkaian gerbong panjang, yang ternyata
hanya pengangkut barang. Dia memimpikan kereta logistik yang bisa
menggantikan truk-truk kontainer yang terlihat ngos-ngosan mendaki jalan tol
Cipularang dan memicu kemacetan. Maka, ketika mendengar kereta cepat hanya
untuk penumpang, ia pun geregetan.
Adapun si weekend husband
langsung berhitung, membandingkan harga tiket Jakarta–Bandung (PP) dengan
biaya untuk sewa rumah di Jakarta, ongkos pergi ke tempat kerja, plus biaya
lain-lain. Termasuk biaya psikologis hidup jauh dari anak-istri.
Kesimpulannya, kalau harga tiketnya terjangkau, ia bakal
meninggalkan tempat kos papan atasnya di Jakarta dan memilih tinggal di
Bandung. Ia akan pensiun sebagai weekend
husband. Anda tahu berapa banyak penghuni Jakarta yang menjadi weekend husband atau weekend wife? Jumlahnya ribuan!
Hitungan Ekonomi dan
Disruption
Lalu, tambahkan itu semua dengan ribuan penumpang lain yang
pergi karena berbagai urusan. Jumlahnya tentu juga ribuan. Bahkan bisa
menjadi puluhan ribu karena daya tarik yang bakal diciptakan. Termasuk kaum
muda yang bakal memanfaatkan industri kreatif yang diimpikan Wali Kota
Bandung Ridwan Kamil di sekitar Gedebage atau wisata pengobatan herbal di
kota baru Walini.
Kalikan jumlah calon penumpang tersebut dengan harga tiket.
Kemudian bandingkan hitung-hitungan tersebut dengan investasi pembangunan
kereta cepat. Kita bisa menghitung kapan tercapai break event point dan kapan modal investasinya bisa kembali.
Hitung-hitungan model inilah yang banyak berkembang di masyarakat ketika
mereka mengevaluasi model bisnis dari kereta Jakarta–Bandung.
Jumlah penumpang diperkirakan di bawah target, harga tiketnya
kalau Rp200.000, mungkin masih kemahalan. Kesimpulannya: bisnis ini tidak
layak; muncul rekomendasi: tutup saja. Ada yang menyimpulkan bahwa bisnis ini
bakal menyeret BUMN dalam jurang kebangkrutan. Jadi, lebih baik alihkan saja
dananya untuk membangun jalan tol atau proyek-proyek lain. Masalahnya, dana
ini bukan dana APBN, melainkan kerja sama bisnis swasta asing dengan BUMN.
Ada juga yang mempersoalkan mengapa memilih mitra usaha dari
Tiongkok yang menawarkan bunga lebih mahal? Tiongkok menawarkan pinjaman 40
tahun dengan bunga 2%, sedangkan Jepang hanya 0,1%. Saya perlu mengajari Anda
tentang tarif bunga. Hati-hati. Kelihatannya 0,1% itu murah, tapi itu dalam
yen. Tentu kita jangan gegabah, sebab angka 0,1% itu harus kita ukur swap rate-nya (untuk menghadapi
gejolak perubahan kurs). Dan kalau di-swap
ke dalam dolar akan menjadi sekitar 2,36%. Adapun tawaran Tiongkok adalah 2%
dalam USD. Begitu cara kita membandingkannya.
Selain itu model bisnis Tiongkok dan Jepang totally different. Yang satu tak ada value creation-nya karena hanya point-to point proyek kereta api yang bakal klop ditangani satu
perusahaan saja: PT KAI. Itulah tawaran Jepang. Kereta cepat baru itu
dibangun dalam jalur kereta yang lama.
Adapun yang satunya dijalankan dengan konsep sinergi BUMN dan value creation yang utuh. Dibuat di
badan jalan tol sehingga selain PT KAI, pemegang sahamnya adalah PT
Jasamarga. Lalu ia akan menembus kawasan perkebunan milik BUMN PTPN VIII yang
sudah punya planning untuk membuat
kota baru sejak 2009, tetapi mangkrak karena tak ada akses. Itulah kota baru
Walini.
Nilai investasinya menjadi jauh lebih mahal karena ia bukan
hanya mendatangkan investor untuk membangun akses (kereta cepat), tetapi juga
terminal of destination yang
merupakan kawasan kegiatan ekonomi (permukiman, pendidikan, industri,
kesehatan, dan sebagainya).
Perhatikanlah rute dan exit
gate-nya, ia dimulai dari jalan tol (Halim–Jakarta) dan berakhir di dekat
pintu tol (Gedebage–Bandung). Makanya agak membingungkan kalau ada yang bisa
membandingkan biayanya tanpa membandingkan business model-nya yang 100% berbeda. Atau mengatakan studi
kelayakannya sama dan plagiat. Bagaimana mungkin Anda memplagiat kalau
jalurnya beda, business model-nya
berbeda, dan semuanya tidak sama?
Tapi, baiklah, namanya juga perubahan, sudah pasti ada kekuatan disruption-nya. Pelaku utama ekonomi
bisa berubah, berbagi porsi. Dari dominasi Jepang kini harus berbagi dengan
Tiongkok, lalu menjadi kekuatan ekonomi BUMN. Dari sekadar proyek menjadi value creation. Di dalam kawasan juga
ada yang terancam.
Bisa saja menimpa trayek Cipaganti yang sudah memiliki ribuan
kendaraan. Mungkin juga kedai-kedai siap saji asing yang marak di rest area jalan tol. Tapi, jangan
lupa, disruption juga menjanjikan ribuan bisnis baru di TOD (terminal of destination)-nya. Namun
perhitungan konvensionalnya kebanyakan orang ya begitulah, pakai break event point dan IRR dalam bisnis
point to point. Terlalu mudah
melihat kenirlabaannya dalam semata-mata urusan transportasi publik yang tak
dikaitkan dengan value creation
yang dihasilkannya.
Maka, saya bisa mengerti kalau masyarakat kemudian diajak
bertanya-tanya, mengapa pembangunan kereta cepat ini tidak berada di bawah
Kementerian Perhubungan, yang sehari-hari memang mengurusi masalah
transportasi point to point,
melainkan di bawah Kementerian BUMN?
Menciptakan Value
Cara pandang konvensional yang hanya menghitung nilai proyek
tanpa value creation-nya bisa
keliru dan membuat bangsa kita tidak maju. Kita berpura-pura menuding bangsa
kita yang mulai pintar sebagai korup dan bodoh. Padahal banyak engineer kita
yang mulai memakai jurus kewirausahaan, yang tak bisa lagi dibodoh-bodohi
asing.
Benar harga tiket Rp200.000 itu kemahalan dan jumlah
penumpangnya yang kalau tak mencapai target bisa membuat BUMN kita bangkrut.
Hitungan itu benar kalau ia hanya dihitung sebagai bisnis point-to point tanpa mengukur dan
mengambil nilai tambahnya. Jadi kalau itu dikelola BUMN kita mestinya
memandang lebih dari sekadar urusan transportasi. Satu sisi ia adalah agent of development, di sisi lain ia
adalah kontributor keuntungan bagi negara. Ya, mereka dituntut menyumbangkan
dividennya ke dalam APBN.
Pasar Indonesia yang begitu besar, yang unsur C (consumption-nya) begitu kuat ini akan
kita persembahkan kepada siapa kalau bukan bagi bangsa sendiri? Pilihannya
adalah memberikannya kepada asing (produsen automotif) atau mereka berbagi
dalam usaha patungan dengan kita? Semua tentu boleh berbagi, hidup berdampingan.
Maklum nilai investasinya besar sekali. Jari saya lebih suka menyebut urusan
ini sebagai economy of value creation.
Apa itu?
Dalam literatur ekonomi, value
creation adalah fondasi dari setiap bisnis. Itulah alasannya kita
menumbuhkan kewirausahaan. Bahkan itulah yang sudah lama kita nantikan,
birokrasi dengan spirit kewirausahaan. Birokrasi jangan cuma menghabiskan
anggaran, jangan hanya belanja saja, melainkan pikirkan dan wariskan value-nya bagi bangsa agar menjadi
kegiatan ekonomi yang produktif. Bukan sekadar ada, nice to have but then poor maintenance! Ya, itulah yang selama
ini kita saksikan.
Fasilitas publik hanya bagus kalau ia masih baru saja. Setelah
itu tak ada perawatannya lalu menjadi rumah hantu yang kumuh, bau pesing, dan
tak diminati publik. Kita lalu berpura-pura tak tahu bahwa semua perawatan
butuh biaya. Kenyamanan itu ada biayanya dan publik bersedia membayarnya
kalau pelayanannya baik. Value creation
itulah yang mendasari berdirinya setiap perusahaan. Mereka menciptakan value,
lalu men-deliver-nya melalui
cara-cara yang seefektif dan seefisien mungkin.
Kalau ini terjadi, pada gilirannya masyarakat, stakeholders (bukan hanya shareholders), dan perusahaan bakal
sama-sama untung, lapangan kerja tumbuh, fiskal kita sehat karena pengusaha
serta konsumen membayar pajak, dan kesejahteraan meningkat. Banyak perusahaan
di Indonesia yang dalam mengelola bisnisnya sudah masuk ke ranah ini.
Tengoklah Astra International. Ia tak hanya memasarkan
automotif, tetapi men-deliver value
dalam asuransi untuk kendaraan yang ia jual, bengkel perawatan, derek, suku
cadang dan aksesori lainnya. Tengoklah Podomoro yang tak hanya menjual
apartemen, tetapi juga membangun mal dan memungut service charge untuk keamanan, parkir, listrik, air, dan sambungan
internet. Siapa yang akan memungut value,
itulah yang akan keluar sebagai pemenang. Begitulah bisnis hidup, tumbuh,
memberi manfaat, dan menggerakkan perekonomian.
Demikianlah para weekend
husband dan weekend wife.
Mereka juga bukan hanya pekerja dalam arti pencari nafkah bagi keluarga.
Mereka juga value creator yang
menjanjikan hidup berkeluarga yang lebih indah, kalau juga dapat menikmati
layanan hidup modern yang valuable.
Para perencana kota pun perlu memikirkan public
happiness through value creation. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar