Agama Kekuatan Pembebas
Komaruddin Hidayat ; Guru Besar Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah
|
KORAN
SINDO, 16 Oktober 2015
Pada mulanya semua agama merupakan gerakan dan kekuatan pembebas
(liberating force). Para rasul
Tuhan pembawa dan penyebar ajaran Ilahi selalu membela mereka yang bodoh dan
tertindas oleh penguasa.
Makanya para rasul Tuhan selalu dibenci penguasa tiran. Sebut
saja Nabi Ibrahim, Musa, Isa, dan Muhammad, semuanya dikejar-kejar oleh penguasa
penindas rakyat. Mereka hendak dibunuh karena dianggap sebagai tokoh
subversif yang mengancam kekuasaan waktu itu. Ketika para nabi itu menaklukkan
suatu wilayah, istilah yang tepat bukan penaklukan, melainkan pembebasan (al-fath).
Sebagaimana ketika Nabi Muhammad kembali masuk ke Mekkah setelah
lama tinggal diMadinah menghindari kejaran musuh, hal itu dikenal dengan
istilah fathu Makkah. Pembebasan
Kota Mekkah dari cengkeraman penguasa yang zalim. Pembebasan dari kehidupan
jahiliah , dari kebodohan, amoralitas, dan kekufuran.
Agama yang awalnya merupakan gerakan moral dan pencerahan yang
dibawa oleh sosok rasul Tuhan seorang diri, ketika berhasil pada urutannya
melahirkan sebuah komunitas orang beriman (the community of believers) yang jajaran elitenya memiliki akses
untuk menggenggam kekuasaan politik dan ekonomi. Ketika itu agama tidak lagi
melekat sebagai identitas orang-orang yang lemah, miskin, dan tertindas,
melainkan juga menjadi agama penguasa. Rasulullah Muhammad, misalnya, beliau
dikenal tidak saja sebagai nabi pemimpin agama, tetapi juga pemimpin politik.
Ketika Rasulullah wafat, yang diwariskan tidak saja ajaran dan
tradisi agama, tetapi juga komunitas politik (political community) di Madinah. Kenabiannya tidak bisa
digantikan, tetapi kepemimpinannya bagi komunitas orang beriman diteruskan
untuk melestarikan kekuatan politik yang berlangsung berabadabad. Maka
muncullah sosoksosok pemimpin di dunia Islam dengan sebutan khalifah, sultan,
ataupun amir yang berkonotasi
sebagai pemimpin politik dan keagamaan.
Dalam konteks kekuasaan politik, agama bukan sekadar sebagai
tangga untuk meraih kekuasaan, tetapi agama juga instrumen politik yang
canggih jika digunakan untuk mengendalikan dan memperluas kekuasaan. Dalam
sejarah agama, khususnya Kristen dan Islam, ekspansi kekuasaan politik dan
penyebaran agama selalu berbarengan. Bahkan kadang agama terlibat perang
sehingga muncul istilah perang suci atau holy
war.
Perang yang disucikan atau penyebaran ajaran suci tapi
menggunakan jalan peperangan. Sebuah kata yang paradoksal. Peperangan dengan
dalih pembebasan dengan menyebarkan agama sebagai jalan kebenaran dan
peradaban, tetapi sering kali agama sekadar instrumen ekspansi kekuasaan
politik dan ekonomi. Dalam perjalanan sejarahnya agama lalu menampilkan wajah
ganda.
Wajah dan karakter aslinya sebagai kekuatan moral, intelektual,
dan peradaban sering kali tertutupi oleh wajahnya yang seram dan menakutkan
akibat deviasi sejarah yang dilakukan para penguasa yang menggunakan agama
sebagai instrumen kekuasaannya. Situasi ini sangat merugikan misi dan
eksistensi agama yang telah banyak memberikan kontribusi pada pembangunan
peradaban dan pembelaannya pada agenda menjaga martabat kemanusiaan. Sejarah
kristiani di Barat telah menorehkan catatan hitam akibat agama terlibat dalam
perang berebut kekuasaan politik yang pada urutannya mendorong lahirnya
sekularisme karena masyarakat intelektual kecewa pada agama untuk mengatur
kehidupan politik dan lembaga keilmuan.
Dalam Islam pun terjadi. Hari-hari ini kita disuguhi drama
perang antarsesama umat Islam dan sama-sama bangsa Arab untuk memperebutkan
hegemoni politik dan ekonomi di Timur Tengah. Ironisnya, perang itu telah
mengundang kekuatan asing nonmuslim untuk membantu pihak masing-masing yang
tengah berseteru. Lalu rakyat sipil yang menjadi korban melakukan diaspora
secara mengenaskan untuk mendapatkan tempat tinggal, makanan, dan pekerjaan
di Eropa yang juga bukan muslim.
Drama ini sungguh bertolak belakang dari misi awal ketika agama
diperkenalkan oleh para rasul Tuhan sebagai pembela orang-orang miskin yang
tertindas. Padahal sejarah membuktikan, agama memiliki sumber dan kekuatan
laten yang amat besar dalam membangun peradaban dan mempromosikan perdamaian.
Agenda inilah yang mesti diambil umat Islam Indonesia untuk menyuarakan pesan
perdamaian serta melakukan aksi nyata menjadikan agama sebagai sumber
kemajuandanperadaban.
Sebagainegara dengan penduduknya mayoritas muslim, sungguh tidak
pantas jika emosi dan simbolsimbol agama hanya dijadikan instrumen perebutan
kekuasaan dan ritual dengan niat penebusan dosa sosial.
Indonesia mesti memberikan kontribusi dan sumber inspirasi pada
dunia bahwa agama itu menjadi liberating force seperti awal mula diwahyukan.
Jangan biarkan kekuatan luar dan mazhab pemikiran keagamaan yang senangnya
berantem merusak taman peradaban kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar