Selasa, 20 Oktober 2015

Agama Kekuatan Pembebas

Agama Kekuatan Pembebas

Komaruddin Hidayat  ;  Guru Besar Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah
                                                  KORAN SINDO, 16 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pada mulanya semua agama merupakan gerakan dan kekuatan pembebas (liberating force). Para rasul Tuhan pembawa dan penyebar ajaran Ilahi selalu membela mereka yang bodoh dan tertindas oleh penguasa.

Makanya para rasul Tuhan selalu dibenci penguasa tiran. Sebut saja Nabi Ibrahim, Musa, Isa, dan Muhammad, semuanya dikejar-kejar oleh penguasa penindas rakyat. Mereka hendak dibunuh karena dianggap sebagai tokoh subversif yang mengancam kekuasaan waktu itu. Ketika para nabi itu menaklukkan suatu wilayah, istilah yang tepat bukan penaklukan, melainkan pembebasan (al-fath).

Sebagaimana ketika Nabi Muhammad kembali masuk ke Mekkah setelah lama tinggal diMadinah menghindari kejaran musuh, hal itu dikenal dengan istilah fathu Makkah. Pembebasan Kota Mekkah dari cengkeraman penguasa yang zalim. Pembebasan dari kehidupan jahiliah , dari kebodohan, amoralitas, dan kekufuran.

Agama yang awalnya merupakan gerakan moral dan pencerahan yang dibawa oleh sosok rasul Tuhan seorang diri, ketika berhasil pada urutannya melahirkan sebuah komunitas orang beriman (the community of believers) yang jajaran elitenya memiliki akses untuk menggenggam kekuasaan politik dan ekonomi. Ketika itu agama tidak lagi melekat sebagai identitas orang-orang yang lemah, miskin, dan tertindas, melainkan juga menjadi agama penguasa. Rasulullah Muhammad, misalnya, beliau dikenal tidak saja sebagai nabi pemimpin agama, tetapi juga pemimpin politik.

Ketika Rasulullah wafat, yang diwariskan tidak saja ajaran dan tradisi agama, tetapi juga komunitas politik (political community) di Madinah. Kenabiannya tidak bisa digantikan, tetapi kepemimpinannya bagi komunitas orang beriman diteruskan untuk melestarikan kekuatan politik yang berlangsung berabadabad. Maka muncullah sosoksosok pemimpin di dunia Islam dengan sebutan khalifah, sultan, ataupun amir yang berkonotasi sebagai pemimpin politik dan keagamaan.

Dalam konteks kekuasaan politik, agama bukan sekadar sebagai tangga untuk meraih kekuasaan, tetapi agama juga instrumen politik yang canggih jika digunakan untuk mengendalikan dan memperluas kekuasaan. Dalam sejarah agama, khususnya Kristen dan Islam, ekspansi kekuasaan politik dan penyebaran agama selalu berbarengan. Bahkan kadang agama terlibat perang sehingga muncul istilah perang suci atau holy war.

Perang yang disucikan atau penyebaran ajaran suci tapi menggunakan jalan peperangan. Sebuah kata yang paradoksal. Peperangan dengan dalih pembebasan dengan menyebarkan agama sebagai jalan kebenaran dan peradaban, tetapi sering kali agama sekadar instrumen ekspansi kekuasaan politik dan ekonomi. Dalam perjalanan sejarahnya agama lalu menampilkan wajah ganda.

Wajah dan karakter aslinya sebagai kekuatan moral, intelektual, dan peradaban sering kali tertutupi oleh wajahnya yang seram dan menakutkan akibat deviasi sejarah yang dilakukan para penguasa yang menggunakan agama sebagai instrumen kekuasaannya. Situasi ini sangat merugikan misi dan eksistensi agama yang telah banyak memberikan kontribusi pada pembangunan peradaban dan pembelaannya pada agenda menjaga martabat kemanusiaan. Sejarah kristiani di Barat telah menorehkan catatan hitam akibat agama terlibat dalam perang berebut kekuasaan politik yang pada urutannya mendorong lahirnya sekularisme karena masyarakat intelektual kecewa pada agama untuk mengatur kehidupan politik dan lembaga keilmuan.

Dalam Islam pun terjadi. Hari-hari ini kita disuguhi drama perang antarsesama umat Islam dan sama-sama bangsa Arab untuk memperebutkan hegemoni politik dan ekonomi di Timur Tengah. Ironisnya, perang itu telah mengundang kekuatan asing nonmuslim untuk membantu pihak masing-masing yang tengah berseteru. Lalu rakyat sipil yang menjadi korban melakukan diaspora secara mengenaskan untuk mendapatkan tempat tinggal, makanan, dan pekerjaan di Eropa yang juga bukan muslim.

Drama ini sungguh bertolak belakang dari misi awal ketika agama diperkenalkan oleh para rasul Tuhan sebagai pembela orang-orang miskin yang tertindas. Padahal sejarah membuktikan, agama memiliki sumber dan kekuatan laten yang amat besar dalam membangun peradaban dan mempromosikan perdamaian. Agenda inilah yang mesti diambil umat Islam Indonesia untuk menyuarakan pesan perdamaian serta melakukan aksi nyata menjadikan agama sebagai sumber kemajuandanperadaban.

Sebagainegara dengan penduduknya mayoritas muslim, sungguh tidak pantas jika emosi dan simbolsimbol agama hanya dijadikan instrumen perebutan kekuasaan dan ritual dengan niat penebusan dosa sosial.

Indonesia mesti memberikan kontribusi dan sumber inspirasi pada dunia bahwa agama itu menjadi liberating force seperti awal mula diwahyukan. Jangan biarkan kekuatan luar dan mazhab pemikiran keagamaan yang senangnya berantem merusak taman peradaban kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar