Reformasi KPK melalui Revisi UU KPK
Romli Atmasasmita ; Profesor Emeritus Unpad
|
KORAN
SINDO, 17 Oktober 2015
Peristiwa pro dan kontra revisi UU KPK telah terjadi dua kali.
Pertama, Presiden menolak. Kedua, kemarin, Presiden tidak menolak, tetapi
menunda pembahasan revisi UU KPK.
Tafsir saya mudah-mudahan benar, pemerintah cc Presiden tidak
menolak lagi, tetapi setuju revisi. Terlepas dari masalah tersebut, yang
penting ke depan masalahnya bukan memperkuat atau memperlemah KPK, melainkan
bagaimana mereformasi KPK baik struktural maupun aspek substansial ketentuan
UU KPK 2002.
Ada beberapa alasan. Pertama, usia UU KPK telah mencapai 13
tahun, cukup dan layak dievaluasi efektivitasnya dari aspek output dan juga
tidak kalah pentingnya, outcome
atau dampak signifikan dari capaian tujuan awal pembentukan UU KPK 2002.
Kedua, praktik KPK tidak lagi berfungsi sebagai counter-partner kepolisian dan kejaksaan. Sebaliknya, KPK telah
berfungsi sebagai ”competitor” dan
menyimpang dari fungsi ”trigger mechanism ” melalui koordinasi dan supervisi.
Ketiga, tujuan utama sesuai UU Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah
UU Nomor 20 Tahun 2001 yaitu mengembalikan/menyelamatkan kerugian keuangan
negara tidak berhasil signifikan. Selama 2009-2013, hasil kajian LPIKP, KPK
hanya berhasil secara riil mengembalikan/menyelamatkan keuangan sebesar Rp728
miliar dibandingkan dengan kejaksaan (Rp6 triliun) dan kepolisian (Rp2
triliun).
Keempat, multitafsir atas ketentuan-ketentuan UU KPK 2002
mengisyaratkan bahwa UU KPK 2002 belum mencerminkan asas lex certa yang merupakan jaminan kepastian hukum, ketertiban
beracara, keadilan dan kemanfaatan yang memadai untuk tujuan menciptakan
pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Kelima, manajemen KPK di dalam implementasi UU KPK khusus fungsi
pencegahan tidak maksimal karena keterbatasan kewenangan KPK di dalam
mengungkap tuntas kondisi K/L dan efek hasil monitoring dan evaluasi atas
kinerja K/L yang tidak tampak sama sekali.
Keenam, manajemen penanganan perkara tipikor terutama pada
kepemimpinan KPK Jilid III tidak mencerminkan perlindungan hak asasi
tersangka/terdakwa secara konsisten dan benar sesuai dengan prinsip due process of law khusus prinsip
praduga tak bersalah terutama di dalam melaksanakan tugas dan wewenang
penyadapan.
Ketujuh, manajemen pelaksanaan tugas penyitaan dan perampasan
aset tersangka/ terdakwa korupsi belum juga memperhatikan prinsip ”limited and selective confiscation”,
melainkan telah dipraktikkan ”total
confiscation” yang berujung pada ”total
injustice” dalam pembatasan hak kepemilikan kekayaan setiap orang
termasuk tersangka/terdakwa.
Kedelapan, fakta putusan praperadilan hakim Sarpin dan Haswandi
serta Putusan MK RI menunjukkan terdapat mismanajemen penanganan perkara
tipikor di KPK selama kurun waktu 2009 sampai 2014. Kesembilan, putusan
praperadilan tersebut telah membuktikan bahwa pimpinan dan pegawai KPK
bukanlah ”manusia tanpa kesalahan”, melainkan menguatkan keyakinan kita bahwa
tidak ada satu pun kekuasaan tanpa batas karena rentan terhadap penyalahgunaan
kekuasaan sehingga diperlukan pengawasan sesuai dengan prinsip ”checks and balances” yang sejalan
dengan standar perlindungan hak asasi di dalam UUD 1945 dan ICCPR 1996.
Kesepuluh, deterrent
effect terhadap pimpinan dan pegawai KPK yang menyimpang dari prinsip ”checks and balances”, praduga tak
bersalah, dan prinsip due process of
law belum tercermin dalam UU KPK 2002 sehingga tampak telah terjadi
”imunitas” (impunity) terselubung
di dalam manajemen penanganan perkara di KPK.
Sampai saat ini masyarakat tidak mengetahui berapa kasus
pimpinan atau pegawai KPK yang telah berhasil secara tuntas diungkap, dan
terbuka kepada masyarakat sesuai dengan akuntabilitas kinerja yang
diperintahkan dalam Pasal 20 UU KPK.
Kesebelas, justifikasi strategi pemberantasan korupsi sejak era
reformasi 1998 telah tidak relevan lagi dengan perjuangan pemerintah untuk
memperbaiki kondisi perekonomian nasional dalam menghadapi persaingan global
karena terbukti kiprah penegakan hukum oleh aparatur hukum termasuk KPK sebagai
lembaga ”trigger mechanism” dan
titik sentral pemberantasan korupsi, tidak berhasil memperkuat dan
menciptakan sistem perekonomian nasional dalam kurun waktu 2009-2014.
Kedua belas, penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi hanya
berdasarkan prinsip hukum normatif yaitu pada ”benar (right) atau salah (wrong)”
yang selama ini sudah dianggap benar untuk setiap masa dan pada semua kasus
pidana termasuk korupsi, telah terbukti tidak lagi relevan dengan
perkembangan global abad ke-21 ini. Masih perlu relaksasi dan fleksibilitas
proses penanganan perkara pidana termasuk perkara korupsi untuk kepentingan
masyarakat dan bangsa yang lebih besar.
Ketiga belas, keyakinan awal perjuangan antikorupsi dengan
prinsip ”zero tolerance” terbukti utopia semata, bahkan menjadi
kontraproduktif bagi bangsa dan negara. Contoh, KPK di Korea Selatan
dibubarkan dan diganti oleh peranan Ombudsan; pembunuhan pimpinan KPK di
Malaysia baru-baru ini; pimpinan KPK Nigeria, Nihi Ribadu yang terlunta-lunta
di negeri orang sebagai ”stateless”;
dan penculikan dan pembunuhan dua orang pimpinan KPK di Ukraina. Kita tidak
mengharapkan contoh nyata dan ekstrem tersebut terjadi di Indonesia.
Keempat belas, reformasi KPK bertujuan menguatkan KPK dan
menempatkan KPK pada tempat yang tepat dan layak sebagai mitra kerja
kepolisian dan kejaksaan di dalam naungan NKRI, bukan untuk dan atas nama
kepentingan bangsa lain (asing).
Tindak lanjut dari alasan-alasan di atas bagaimana seharusnya
mereformasi KPK melalui revisi UU KPK? Ada beberapa langkah konkret yang
harus dilakukan. Pertama, revisi UU KPK merupakan keniscayaan agar kinerja
dan akuntabilitas KPK terhadap masyarakat dapat dilaksanakan secara benar dan
sejalan dengan bukan hanya sebanyak-banyaknya memenjarakan pelaku korupsi,
melainkan juga semaksimal mungkin menyelamatkan kekayaan negara yang telah
dirampok oleh para koruptor.
Kedua, sejalan dengan langkah pertama, diperlukan perubahan
paradigma dari ”penghukuman”-represif menuju ”restoratif-preventif” yaitu
pemulihan penerimaan pemasukan negara dari KPK dan penegak hukum lain.
Ketiga, seluruh ketentuan UU KPK diperkuat dengan rincian tugas dan wewenang
yang lebih jelas, tidak multitafsir dan memenuhi asas lex certa.
Keempat, status pimpinan dan pegawai KPK diberikan status khusus
berbeda dengan jaminan perlindungan hukum yang memadai untuk mencegah
kriminalisasi di satu sisi, dan di sisi lain untuk mencegah ”abuse of power” oleh pimpinan dan pegawai
KPK. Kelima, perlu dibentuk Dewan Pengawas di luar struktur organisasi KPK
diangkat dan bertanggung jawab secara langsung kepada Presiden.
Keenam, perlu dibentuk tenaga ahli KPK yang memiliki latar
belakang pengetahuan dalam bidang hukum dan penegakan hukum, keuangan, dan
perbankan. Ketujuh, peningkatan kinerja KPK dengan penambahan personel KPK
diperkuat peningkatan anggaran KPK yang rasional dibandingkan dengan
kepolisian dan kejaksaan.
Kedelapan, tugas dan wewenang penindakan KPK dibatasi, hanya
untuk kasus korupsi yang melibatkan penyelenggara negara baik pejabat negara,
pimpinan proyek negara yang vital dan strategis, termasuk juga pegawai
kepolisian dan kejaksaan yang melaksanakan fungsi penindakan. Selain itu,
dibatasi untuk perkara korupsi dengan nilai di atas Rp30 miliar dengan
pertimbangan, kebocoran APBN kurang lebih 30% per tahun sejak 1960 sampai
sekarang (rumusan harus bersifat kumulatif dan atau alternatif).
Kesembilan, tidak diperlukan batas waktu keberadaan KPK, contoh
ICAC Hong Kong, sampai saat ini masih tetap eksis sekalipun Hong Kong
menunjukkan sukses dan terbilang nomor satu dibandingkan negara lain.
Kesepuluh, untuk mencegah ”abuse of power” karena pengaruh
kepentingan kekuasaan, perlu sanksi pidana dan sanksi administratif dan untuk
tujuan tersebut, perbuatan memperdagangkan
pengaruh harus merupakan tindak pidana korupsi dengan segera mengubah UU
Nomor 31 Tahun 1999. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar