Evolusi Mental Jokowi
Rohman Budijanto ; Wartawan Jawa Pos
|
JAWA
POS, 20 Oktober 2015
JOKO Widodo
sudah sangat jarang menyebut-nyebut lagi ’’azimat’’ revolusi mental.
Sudahlah, anggap saja revolusi mental sudah selesai ketika panggung kampanye
dibongkar. Yang terjadi dalam setahun pemerintahannya bersama Wapres Jusuf
Kalla justru gejalagejala ’’evolusi mental’’ Jokowi yang menarik dicermati.
Mentalitas
Jokowi untuk memerankan diri sebagai presiden dengan segenap kewibawaan dan
kekuasaannya tampak beringsut pelan-pelan. Evolusioner, bukan revolusioner.
Kita lihat
sikap Jokowi pada ide kalangan DPR untuk membekap KPK yang kini menghangat.
Jokowi mengulur waktu dengan mengatakan UU KPK perlu direvisi, tetapi tidak
sekarang. Bagi pengingat dan penagih janji kampanye kepresidenan, sikap itu
terasa menjengkelkan. Mereka mendesak Jokowi tegas menolak. Tetapi, kita
perlu melihat bahwa sebenarnya sikap mengulur Jokowi itu sudah lumayan.
Bedakan dengan
sikap pada awal dia menjabat. Ketika pimpinan KPK dipenjahatkan polisi,
Jokowi diam saja. Bukannya mencegah, tetapi malah meneken penggantian
sementara Abraham Samad (AS) dan Bambang Widjojanto (BW). Kalau soal revisi
UU KPK dia bersikap mengulur waktu, ini penanda mental Jokowi menguat
terhadap tekanan partai-partai yang berkepentingan meloyokan KPK. Memang, ya
baru sebatas itu. Belakangan, ketika 72 akademikus mendesak untuk
menghentikan kasus BW, Jokowi tidak juga menuruti. (Cukup mengherankan
sebenarnya, mengapa akademikus itu tidak sekalian meminta kasus AS dihentikan
juga, padahal samasama sangat sumir).
Evolusi mental
yang lumayan juga ditunjukkan saat merotasi Komjen Budi Waseso dari kepala
Bareskrim ke BNN. Ketika Waseso diganti, keributan memang telanjur terjadi.
KPK dan Komisi Yudisial (KY) guncang oleh penetapan tersangka pimpinannya.
Para tokoh yang kritis ke polisi, termasuk Denny Indrayana, terancam jerat
hukum. Ada pula upaya menyeret pers untuk dikriminalkan (untung ada Dewan
Pers yang bilang ’’tidak’’ dengan menyebut itu kasus pers, diselesaikan
dengan mekanisme pers, bukan pidana umum).
Kalau Jokowi
baru ’’menemukan cara’’ mengganti Waseso setelah sekitar 10 bulan menyepak
terjang, itu sudah mending. Bandingkan saat Jokowi memicu geledek politik
ketika menunjuk Komjen Budi Gunawan (BG) sebagai calon Kapolri. Padahal,
rekam jejaknya yang beredar sangat jauh dari harapan yang terbentuk dari
janji kampanye Jokowi. Geledek politik kian menggelegar ketika DPR –yang
dikuasai oposisi– malah mengisyaratkan persetujuan.
Untung ada KPK
yang berani menghadang, sekalipun AS dan BW harus dinonaktifkan sebagai
rentetan penetapan tersangka kepada BG. Badai penentangan sedikit menyadarkan
Jokowi. Kemenangan BG dalam praperadilan hakim Sarpin tidak menjadikan dia
dilantik. Jokowi seperti mengoreksi dari masalah yang dia buat sendiri, meski
tidak drastis. BG kemudian menjadi wakil Kapolri. Di panggung lain,
’’perusakan’’ kepada KPK dibiarkan saja berlangsung di depan mata Jokowi.
Dalam
membangun tim kabinet, evolusi mental Jokowi juga bisa diraba. Kocok ulang
komposisi kabinet Agustus lalu menunjukkan betapa Jokowi berusaha menawar
tekanan partai pengusungnya. Dia menurut untuk memasukkan nama politikus
senior PDIP Pramono Anung untuk menggeser Andy Widjajanto yang kerap diserang
politikus PDIP karena sebab yang tidak terlalu jelas.
Tetapi, Jokowi
ogah mencopot Menteri BUMN Rini Soemarno. Politikus PDIP sering menyerang
Rini, bahkan melaporkannya ke KPK, sepaket dengan Dirut Pelindo II R.J. Lino.
Jokowi tetap kalem, sekalem ketika diembus-embuskan kabar ada rekaman ucapan
Rini yang dinilai merendahkan sang presiden. Jokowi menunjukkan mental yang
menolak semuanya didikte. Meskipun, risikonya cecaran dari para politikus
kepada Rini (juga Jokowi) akan terus berlangsung.
Terasa evolusi
mental Jokowi untuk lebih independen terhadap PDIP. Apalagi di parlemen ada
kekuatan baru yang masuk, yakni PAN. Posisi Jokowi memang belum terlalu aman.
Guncangnya Nasdem, partai pendukung Jokowi, karena Sekjennya ditersangkakan
KPK bisa menjadi faktor ketidakpastian baru bagi kubu pemerintah. Tinggal
bagaimana kepiawaian politik Jokowi mengelola kondisi itu untuk memperkuat
realisasi visi hukumnya yang masih lemah ( Jawa Pos, kemarin 19/10).
Masih butuh
evolusi mental yang lebih tegar bagi Jokowi untuk membenahi kinerja hukumnya.
Meskipun inilah sebenarnya momentum untuk membenahi tim hukum Jokowi. Sejak
awal, penunjukan Menkum HAM, jaksa agung, dan Kapolri (yang penuh keributan)
sangat tidak menimbulkan harapan besar pada perbaikan penegakan keadilan.
Jangankan efek ’’ wow’’, terasa yang muncul malah efek ’’ waduh’’.
Penegakan
hukum setahun pertama pemerintahan Jokowi justru sangat diwarnai oleh KPK.
Masih ada tangkap tangan kasus-kasus besar. Termasuk menimpa politikus PDIP
dan menyeret politikus Nasdem, keduanya partai pemerintah. Terasa sangat
memberikan harapan di tengah kegaduhan keluhan kriminalisasi yang dilakukan
aparat hukum lain. Bila KPK loyo pada ’’musim kriminalisasi’’ ini, jelas
citra hukum kita makin tersungkur. Ketika KPK justru akan dikerangkeng via
revisi UU, kegeraman meluas.
Sebentar lagi
pimpinan baru KPK bertugas mulai Desember. Meski kinerja mereka butuh
pembuktian, kita boleh yakin nama ’’KPK’’ akan sulit membuat siapa pun yang
duduk di dalamnya main-main, menyia-nyiakan amanah. Tim baru KPK tersebut
akan berelasi dengan tim hukum Jokowi yang masih seperti itu. Kalau saja tim
hukum Jokowi dibenahi, diperkuat dengan orang-orang ’’ wow’’, penegakan hukum
akan lebih nendang. Ini bisa memperkuat harapan perbaikan ekonomi yang mulai
menjanjikan ( Jawa Pos, kemarin juga).
Sabar saja, evolusi mental
kepresidenan Jokowi setahun ini cukup lumayan. Memang sebenarnya untuk
seorang presiden NKRI tidak cukup sekadar mental lumayan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar