Memperbaiki Keberagaman Singkil
Teuku Kemal Fasya ; Dewan Pakar Nahdlatul Ulama Aceh; Pernah
Meneliti Aspek Keberagaman Singkil Bersama Abdurrahman Wahid Centre dan
Universitas Indonesia
|
KOMPAS,
19 Oktober 2015
Kasus Singkil menjadi pelajaran bahwa tidak ada garansi
keberagaman dapat bertahan jika tidak terus dijaga. Hal ini lantaran konsep
keberagaman kerap terlihat abstrak ketika berhadapan dengan politisasi agama,
seperti kasus izin pendirian rumah ibadah.
Efek pembakaran rumah ibadah di Singkil, Aceh, 13 Oktober
lalu, telah berhasil diredam, tetapi
sentimen telanjur melesat liar. Ribuan orang Kristen Singkil telah mengungsi
ke beberapa kabupaten di Sumatera Utara. Percakapan nasional kembali
terganggu oleh perbedaan agama. Kita kembali harus menanggung kerugian koyak
moyak toleransi sesama anak bangsa.
DNA religio-antropologis
Kasus Singkil sesungguhnya tidak mencerminkan DNA
religio-antropologis masyarakat. Kejadian ini bisa diantisipasi jika aparat
pemerintah dan keamanan bertindak cepat dan bijaksana mencegah konflik.
Seruan untuk "membakar gereja tak berizin dan menumpahkan
darah" dalam bentuk pesan Blackberry Messenger dan Whatsapp sudah
tersebar luas lima hari sebelum hari-H. Saya sempat berkomunikasi dengan
aktivis pro perdamaian Singkil agar menghubungi kepolisian untuk mencegah
hal-hal buruk. "Polisi sudah tahu nyalah, Bang, tetapi kita tengok
mereka tenang-tenang saja, engak berbuat apa-apa," katanya dengan
perasaan gusar.
Isu "gerejanisasi" ini juga pernah memanas saat
Pilkada Singkil 2012. Saat itu, isu digunakan untuk mendiskreditkan salah
seorang kandidat bupati dalam bentuk kampanye hitam. Istilah
"Kristenisasi" sesungguhnya tidak tepat untuk membahasakan kondisi
keberagamaan Singkil karena pada saat yang sama terjadi juga
"Islamisasi". Namun, Islamisasi dan Kristenisasi terjadi secara
alamiah. Jatuh cinta sesama muda-mudi dan kemudian menikah menjadi alasan
pindah agama. Itu semua jauh dari unsur ideologis-teologis, hanya ada unsur
romantis-domestik. Bahkan, menurut Pendeta Erde Berutu, pemimpin Gereja
Kristen Protestan Pakpak-Dairi Singkil, jumlah umat Kristen yang masuk Islam
lebih banyak dibandingkan sebaliknya.
Situasi itu terbentuk karena Singkil memiliki sistem
sosial-budaya unik dibandingkan etnis Aceh mayoritas. Sebagai etnis tempatan
(host ethnic) yang berkembang di
perbatasan Sumatera Utara dan bertemu dengan "etnis-etnis
pendatang" (migrant ethnic)
yang rata-rata non-Muslim dari Pakpak Bharat, Dairi, Tapanuli Tengah, dan
Sibolga, kesadaran beragama masyarakat Singkil sangat kultural dan tidak
puritan. Politik identitas keagamaan Singkil ramah pada perbedaan. Agama
bukan palang solidaritas utama. Kekerabatan dan margalah yang lebih mengikat.
Bukan hanya itu, etnis Pakpak Bharat dan Batak menganggap Singkil juga tanah
leluhur sehingga wajar membangun rumah ibadah di tanah Opung (Muhammad Ansor, 2014).
Maka, tidak cukup tepat menyebut etnis Pakpak, Toba, Nias, dan
Jawa yang hidup di Singkil sebagai pendatang. Mereka telah hidup bergenerasi
dan di antaranya memiliki tanah adat di sana. Demikian pula identitas
keagamaan mereka tidak tepat dianggap sebagai "etnis-etnis
Kristen". Suku Pakpak Muslim yang tinggal di Singkil kerap diistilahkan
Pakpak Suak Boang. Bupati Singkil saat ini, Safriadi, bermarga Manik, dari
etnis Pakpak. Saya juga berteman dengan anggota DPR Singkil beretnis Toba
Muslim, Frida Siska Sihombing. Demikian pula etnis Singkil yang Kristen bukan
hal asing.
Nuansa konspiratif
Kasus ini tidak mencerminkan reaksi alamiah masyarakat.
Kerusuhan sengaja dipantik untuk memberikan kesan Aceh tidak aman. Dalam
beberapa hal, kasus Singkil mirip dengan Tolikara. Kerusuhan dimulai dengan
menyebarnya selebaran tentang permusuhan terhadap agama lain. Fotokopi
selebaran disebar di tempat terbuka sebagai tanda perang, seolah-olah dibuat
oleh salah satu persekutuan gereja. Terbukti surat itu palsu dan menambah
amunisi kemarahan masyarakat awam.
Sebelum aksi bentrok pada siang itu, ulama karismatis Singkil,
Buya Batu Korong, meminta massa membubarkan diri. Aksi kekerasan hanya
merugikan masyarakat Singkil. Buya mengatakan, jika sampai terjadi kerusuhan
dan ada yang mati, itu bukan mati syahid, melainkan mati kafir. Anehnya,
nasihat dari ulama besar Singkil tidak lagi diindahkan sehingga terjadi
bentrokan sesama anak-buyut.
Korban yang tewas saat bentrokan di Desa Dungaran, Kecamatan
Simpang Kanan, beralamat di Desa Bulohsema, Kecamatan Suro. Dungaran dan
Bulohsema berjarak kira-kira 7 kilometer dari lokasi kejadian. Artinya,
terjadi mobilisasi massa dari tempat jauh untuk melakukan tindakan perusakan
dan kekerasan. Harus diselidiki lebih lanjut apakah gelombang massa ini
bergerak spontan atau ada yang mensponsori.
Demikian pula sikap kepolisian yang "terlambat panas"
dalam merespons kasus. Polisi yang kehilangan elan imparsialitasnya juga
memunculkan ironi tersendiri. Tidak sepantasnya aparat keamanan negara tidak
berlaku adil dan melindungi segenap kepentingan warga. Pemerintah daerah pun
tidak proaktif dan persuasif menyelesaikan masalah: cenderung memakai
pendekatan politis dan seremonial. Penandatanganan surat kesepakatan
pembongkaran 10 gereja pada 12 Oktober oleh bupati dan unsur muspida hanya
untuk memenuhi hasrat mayoritarian, bukan permufakatan damai. Tidak ada satu
pun perwakilan gereja ikut diundang saat pertemuan itu.
Seharusnya kita belajar dari sejarah. Syekh Abdurrauf
as-Singkily (1615-1693), ulama sufi-fikih sekaligus Qadhi Malik al-Adil empat
sultanah Kerajaan Aceh, lahir di Kecamatan Simpang Kanan. Daerah itu saat ini
tetap jadi "daerah non-Muslim".
Demikian pula pemakaman papan tinggi, Syekh Mahmud, di Labutua,
Barus, Tapanuli Tengah, tetap kokoh dikelilingi perkampungan Kristen. Di
kampung itu pula, filsuf eksistensialis Islam abad ke-16, Hamzah Fansuri,
dilahirkan. Pengetahuan Islam para ulama itu tidak menjadikan mereka
ekspansionis dan agresif, memaksakan tanah kelahiran dan masa tua mereka
sebagai kampung Muslim.
Singkil dan Barus adalah oase bagi keberagaman dan toleransi
selama ratusan tahun. Kerusuhan bernuansa agama ini patut disesalkan dan
jangan lagi berulang. Untuk kerusakan sosiokultural dan material, negara
harus paling depan menyelesaikannya secara bermartabat dan beradab. Penegakan
hukum patut dilakukan agar provokasi sektarian tidak selalu mudah digunakan
atas nama ekspresi keagamaan. Sisanya, biarkan masyarakat menyelesaikan
masalahnya secara musyawarah dan kasih sayang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar