Revisi UU KPK
Margarito Kamis ; Dosen Fakultas Hukum Universitas Khairun
Ternate
|
KORAN
SINDO, 15 Oktober 2015
Warna-warni gagasan, hasrat, dan sikap yang menyertai rencana,
kalau bukan DPR secara kelembagaan, sejumlah fraksi di DPR mengubah
undang-undang KPK, entah sebagai kodrat demokrasi atau bukan, kini menghiasi
kehidupan politik sehari-hari.
Melalui media sosial, puluhan ribu orang, katanya, menolak
rencana itu, berkebalikan dengansikap sejumlah fraksi di DPR yang berhasrat
mengubah UU KPK. Dalam kehidupan demokrasi, soalnya tidak terletak pada harus
diubah atau tidak. Soalnya terletak pada derajat rasionalitas argumen yang
menyertainya.
Derajat rasionalitas argumen, begitulah maxim-nya, tidak
ditentukan oleh intensitas gagasan itu dipublikasikan atau diperdebatkan.
Intensitas publikasi hanya menyatakan satu hal; demokrasi bekerja, kebebasan
menyatakan pendapat sedang hidup. Itu saja, tak lebih.
Aspek Tata Negara
Gagasan baru yang menyertai, dan kelak mungkin akan
dilembagakan, perubahan UU KPK adalah diciptakannya lembaga ”dewan
eksekutif.” Karena diangkat atau ditunjuk oleh Presiden, begitulah gagasan
”dewan eksekutif” itu dapat dibayangkan, akan menjadi bagian integral organ
KPK hasil perubahan UU KPK saat ini. Fungsi apakah yang akan diberikan kepada
dewan eksekutif, kenyataannya, belum didemonstrasikan secara terbuka.
Itu sebabnya, tidak banyak yang tahu, dan dengan demikian, tidak
dapat menimbang secara holistik ketepatan gagasan itu dari sudut tata negara.
Sungguhpun begitu, gagasan memberi kewenangan kepada Presiden mengangkat atau
menunjuk, mungkin dengan persetujuan atau pertimbangan DPR anggota dewan
eksekutif itu, menarik.
Konsekuensi absolut, kelak bila benar-benar diadakan dewan
eksekutif itu adalah rontoknya sifat independen, yang selama ini secara hukum
disandang oleh KPK. Secara teoritik sifat independen sebuah organ, tidak
terletak pada nama organ itu adalah komisi. Nama komisi, begitulah asal-usulnya,
disematkan pada organ yang diberi nama komisi itu karena selain fungsinya
spesifik, juga meliputi soal lain.
Spesifikasi fungsi menunjuk pada satu saja urusan pemerintahan,
yang dipegang oleh Presiden, yang didelegasikan, bukan dimandatkan, kepada
satu organ. Inilah yang untuk pertama kalinya dalam tata negara Amerika
Serikat dipraktikkan dengan dibentuk Interstate
Commerce Commission, 1870. Tujuannya adalah memecahkan, bersifat praktis,
berbagai masalah, yang mengganggu jalannya perdagangan antarnegara bagian.
Bukan presiden, melainkan kongreslah yang memprakarsai
pembentukan komisi itu. Bukan mengingkari kewenangan presiden sebagai
satusatunya figur pemegang kekuasaan pemerintahan, melaksanakan hukum,
melainkan untuk membatasi kekuasaan presiden. Cara pembatasannya adalah organ
itu disifatkan sebagai organ independen, mandiri. Sifat independen organ itu
bernilai hukum sebagai ”pembatasan kekuasaan presiden” atau ”pembatasan
jangkauan kewenangan presiden.”
Delegation of authority itulah dasar konstitusional, yang dipakai kongres dalam
membatasi kewenangan presiden. Itu disebabkan kongres tidak menemukan
dasarnya secara tersurat dalam konstitusi. Dalam perkembangannya, kreasi
itu–doktrin delegation of authority–diterima
menjadi hukum dengan sifat konstitusional. Sifat konstitusional imanen di
dalamnya, disebabkan hanya, tidak lebih dari itu, diterima oleh masyarakat
hukum Amerika.
Cara pengisian jabatan pada organ itu, dan ini juga dipakai
dalam UU KPK saat ini adalah Presiden menominasikan calon fungsionaris ke
parlemen, dan parlemen memutus, dalam bentuk menyetujui atau tidak menyetujui
figur yang dinominasikan itu. Segera setelah mereka menyandang status
fungsionaris, komisioner, sejak saat itu Presiden dan organ lain, apa pun,
kehilangan kewenangannya untuk misalnya ikut campur dalam kehidupan organ
itu. Hitam putih organ itu ditentukan sendiri oleh fungsionarisnya.
Indonesia jelas bukan Amerika dan di situlah letak masalahnya
dilihat dari sudut tata negara. UUD 1945 mengatur presiden sebagai satu-satunya
figur tata negara pemegang kekuasaan melaksanakan hukum. Terminologi
kekuasaan mengandung nilai hukum sebagai kewenangan dan dalam kewenangan
terkandung nilai hukum tanggung jawab konstitusional.
Hukumnya, dengan demikian, hitam putih penegakan hukum adalah
kewenangan dan tanggung jawab Presiden. UUD 1945, harus diakui, tidak
mengatur, sekalipun hanya sekelumit delegasi kewenangan menegakan hukum dari
Presidenkeorganlain, apapunorgan itu diberi nama.
Masalahnya adalah apakah dengan tidak adanya pengaturan itu,
mengakibatkan presiden dan DPR tidak bisa mendelegasikan sebagian kewenangan
itu? Jawabannya, positif, bisa. Tetapi, sesuai dengan pengertian, nilai dan
makna delegasi, jangkauan kewenangan yang didelegasikan sepenuhnya bergantung
pada pertimbangan Presiden, tentu bersama DPR.
TAP MPR; Cek Kosong
Hanya satu dari empat pasal dalam Ketetapan MPR Nomor
VIII/MPR/2001 Tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, yang menjadi dasar pembentukan Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). Pasal dimaksud adalah pasal 2 ayat
(6).
Pasal ini berisi ketentuan sebagai berikut: Membentuk
undang-undang beserta peraturan pelaksanaannya untuk pencegahan korupsi yang
muatannya meliputi: a. Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; b.
Perlindungan Saksi dan Korban, dan seterusnya. Sebatas itulah pengaturan
tentang KPK dalam Tap MPR ini. Apa konsekuensinya?
Karena sebatas itu saja, cukup beralasan untuk menyifatkan TAP
MPR ini sebagai cek kosong. Apa saja yang hendak dicantumkan dalam cek ini
bergantung pada penerima cek. Hukumnya, jangkauan fungsi KPK sepenuhnya
diserahkan pada kebijakan hukum pembentuk UU, Presiden, dan DPR. Semua fungsi
yang saat ini dimiliki oleh KPK, secara hukum, harus dilihat sekadar mudahnya
saja, bergantung penerima cek.
Fungsi-fungsi penyidikan dan penuntutan, subjeknya harus pejabat
negara, nilai kerugian negara di atas Rp10. Miliar (sepuluh miliar rupiah),
menyadap, supervisi, koordinasi, dan ambil alih, semuanya merupakan hasil
kebijakan hukum Presiden dan DPR. Tidak satu pun ketentuan dalam Ketetapan
MPR itu, yang jangankan eksplisit, implisit pun tidak, yang mengharuskan KPK
disifatkan sebagai organ independen.
Apakah sifat itu telah dibayangkan sedari awal oleh pembentuk
Tap MPR itu akan dimiliki oleh KPK? Tidak jelas. Itu sebabnya, harus diakui
bahwa sifat ini– independen–sepenuhnya merupakan hasil kreasi kebijakan hukum
Presiden dan DPR. Kata Markus Tulius Cicero, negarawan besar republik Romawi
suatu saat, anda tidak bisa menyuruh orang lain meyakini gagasan anda bila
mereka tidak melihat keyakinan pada diri anda.
Kata John Locke, legislative power adalah highest power, dan di
dalamnya termaktub decisive power. Sesuai prinsip contrario actus, Presiden
dan DPR berwenang mengatur, melalui UU, jangkauan fungsi, kewenangan KPK. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar