Polisi
James Luhulima ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
24 Oktober 2015
Selama kurun waktu tiga tahun, Kepolisian Negara Republik
Indonesia merupakan lembaga yang paling banyak diadukan masyarakat ke Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia terkait dengan dugaan kasus pelanggaran hak asasi
manusia. Selain bertindak sewenang- wenang, polisi juga dilaporkan lamban
dalam menangani kasus.
”Pelanggaran HAM yang dilakukan biasanya berbanding lurus dengan
kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki sehingga merasa berhak melakukan itu.
Saat Orde Baru, TNI (Tentara Nasional Indonesia) selalu menempati posisi
tertinggi. Sekarang gantian kepolisian yang banyak diadukan,” ungkap
komisioner Komnas HAM, Roichatul Aswida, saat pemaparan analisis Laporan
Pengaduan Masyarakat Periode 2012-2015 di ruang rapat pleno Komnas HAM, Jumat
(16/10) (Kompas, 17/10, halaman 3).
Pertanyaannya, haruskah kita heran melihat laporan itu?
Mestinya, sih, tidak!
Memang, pada 1 Juli 1999, menyusul berakhirnya era Orde Baru,
Polri dipisahkan dari TNI. Pemisahan itu ditetapkan dengan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan
Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, serta
Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri.
Isi Tap MPR No VI/MPR/2000 antara lain, TNI dan Polri secara
kelembagaan terpisah sesuai dengan peran dan fungsi masing-masing. TNI adalah
alat negara yang berperan dalam pertahanan negara, sementara Polri adalah
alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan. Dalam hal terdapat
ketertiban kegiatan pertahanan dan kegiatan keamanan, TNI dan Polri harus
bekerja sama dan saling membantu.
Adapun isi Tap MPR No VII/MPR/2000 antara lain, Polri merupakan
alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban
masyarakat, menegakkan hukum, memberikan pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat. Dalam menjalankan perannya, Polri wajib memiliki keahlian dan
keterampilan secara profesional. Dan, anggota Polri tunduk pada kekuasaan
peradilan umum.
Dengan pemisahan Polri dari TNI, pada hakikatnya Polri menjadi
lembaga sipil. Sebagai lembaga sipil, diharapkan wajah Polri semakin ramah
dan bisa bersahabat dengan masyarakat. Namun, itu adalah harapan. Dalam
kenyataannya, dalam tiga tahun terakhir Polri merupakan lembaga yang paling
banyak diadukan masyarakat ke Komnas HAM terkait dengan dugaan pelanggaran
HAM.
Seperti jawaban atas pertanyaan di atas, mestinya kita tidak
heran. Memisahkan Polri dari TNI tidak serta-merta membuat wajah Polri lebih
ramah dan bisa bersahabat dengan masyarakat. Diperlukan usaha ekstra keras
untuk dapat melakukan itu. Hingga kini sudah 14 tahun Polri berpisah dari
TNI, tetapi wajah Polri masih tetap sama. Sama seperti masih bergabung dengan
TNI dulu, dari tahun 1961 hingga tahun 2000.
Senjata
Persoalannya memang bukan pada bergabung atau berpisah dengan
TNI, melainkan pada perilaku Polri itu sendiri. Memang, setelah berpisah
dengan TNI, Polri menjadi lembaga sipil, dan sesuai Tap MPR No VII/MPR/2000,
anggota Polri tunduk pada kekuasaan peradilan umum. Namun, seperti TNI,
walaupun Polri adalah lembaga sipil, secara sah diizinkan memegang senjata.
Dengan memegang senjata, secara terbatas Polri pun memegang ”kekuasaan”.
Kita ingat kata-kata bijak Lord Acton (1834-1902), yakni, ”Power
tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely”, yang artinya
”Kekuasaan cenderung disalahgunakan dan kekuasaan mutlak pasti
disalahgunakan”. Persoalannya, siapa yang mengawasi institusi Polri.
Kegalauan ini pula yang menjadikan Jenderal George Washington
(1732-1799) mengatakan, ”Orang-orang merdeka sebaiknya tidak hanya
dipersenjatai dan didisiplinkan, tetapi mereka juga harus mempunyai senjata
api dan amunisi yang memadai untuk mempertahankan status kemerdekaannya dari
orang-orang yang mungkin mencoba untuk ’mengganggunya’, bahkan juga
pemerintah mereka sendiri.”
Jenderal George Washington memimpin perang kemerdekaan Amerika
Serikat dan kemudian mengundurkan diri dari militer, menjadi warga sipil, dan
selanjutnya terpilih menjadi presiden pertama AS (1789-1797). Hal yang hampir
sama dinyatakan presiden ketiga AS, Thomas Jefferson (1801-1809). Thomas
Jefferson menyatakan, ”Orang merdeka tidak pernah boleh dilarang menggunakan
senjata api.”
Secara selintas dengan mudah dapat dikatakan bahwa kedua
presiden AS itu menyetujui penggunaan senjata api secara bebas. Namun, jika
dibaca dengan saksama dan dikontekskan dengan situasi politik AS pada saat
itu, kita ketahui bahwa sesungguhnya yang ingin disampaikan oleh kedua
presiden AS itu adalah kegalauan jika kemerdekaan rakyat itu dirampas oleh
lembaga-lembaga yang memiliki senjata api.
Memang, kegalauan di AS itu muncul lebih dari 200 tahun yang
lalu, tetapi kegalauan itu masih sangat relevan di negeri ini, pada saat ini.
Harus ada lembaga di luar Polri yang dapat secara efektif mengawasi Polri
agar pelanggaran HAM itu tidak terus terjadi.
Selama ini, pengawasan terhadap Polri dilakukan oleh Komisi
Kepolisian Nasional (Kompolnas). Namun, kita tahu bahwa Kompolnas tidak
berada dalam posisi untuk melakukan pengawasan yang ketat terhadap Polri.
Kompolnas kurang memiliki kemampuan dan kewenangan untuk mengawasi Polri.
Kita tentunya belum melupakan bahwa salah seorang komisioner Kompolnas
meminta maaf kepada Kepala Polri saat diperiksa oleh polisi karena bersikap
kritis terhadap Polri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar