Generasi Wacana
Rhenald Kasali ; Pendiri Rumah Perubahan
|
JAWA
POS, 19 Oktober 2015
Saya sering kasihan melihat anak-anak muda yang makin pintar
tapi hidupnya galau. Penyebabnya beragam. Misalnya, karena hal sepele saja.
Belum lagi tamat SMA, mereka sudah dikejar-kejar orang tuanya,
“Mau kuliah di mana? Swasta, atau negeri?”
Bahkan sampai menjelang lulus SMA sekalipun masih banyak yang
bingung mau kuliah di mana dan jurusan apa?
Jangan heran kalau banyak yang salah jurusan, bahkan sarjana
nuklir pun berkarir di bank, pertanian jadi wartawan dan seterusnya.
Susah-susah kuliah di fakultas kedokteran, namun begitu lulus maunya jadi
motivator.
Karena sejak awal sudah galau, setelah lulus tetap galau.
Generasi ini pada gilirannya bermetamorfosa menjadi generasi wacana. Jadi
karena dulu selalu galau, setelah lulus hanya mampu berwacana.
Ribut melulu, paling jauh cuma bisa buat heboh di sosial media,
membuat meme, tapi tak berani bertindak. Apalagi mengambil keputusan.
Suaranya Keras
Indikatornya simpel. Kita bisa dengan mudah menemukan mereka di
mana-mana. Contohnya begini. Ada dahan yang patah dan menghalangi jalan. Lalu
lintas pun jadi macet. Apa yang dilakukan oleh generasi wacana?
Dengan gadget-nya, mereka memotret dahan itu, juga memotret
kemacetan yang terjadi. Lalu, mengunggahnya ke media sosial, tentu disertai
dengan komentar. Isinya kritik. “Di mana dinas pertamanan kita? Ada dahan
tumbang kok didiamkan!”
Lalu, ketika hasil unggahannya dikomentari banyak orang,
senangnya bukan main. Begitulah potret generasi wacana. Padahal kalau mau
membantu, dia bisa menyingkirkan dahan tersebut dari jalan. Bukan hanya
berwacana.
Begitulah kita juga saksikan sikap mereka terhadap asap. Itu
hanya satu contoh. Contoh lainnya ada di mana-mana.
Generasi wacana ini sebagian memasuki dunia kerja. Beberapa dari
mereka meningkat kariernya dan menduduki posisi-posisi penting.
Kalau di perusahaan swasta, mereka inilah yang berteriak paling
keras ketika kondisi ekonomi menjadi lebih sulit. Misalnya, ketika pemerintah
mengubah kebijakan, atau ketika Rupiah melemah/ kembali menguat seperti
sekarang ini.
Kalau di dunia politik, mereka ributnya minta ampun. Persis
seperti anggota DPR kita. Bisanya kritik sana, kritik sini, tapi pekerjaan
utamanya, seperti membuat undang-undang, malah tidak diurus.
Kalau di lingkungan pemerintahan, mereka adalah orang-orang yang
sibuk mengamankan posisi dan cari selamat.
Caranya? Adu pintar debat dan lihai membangun argumentasi.
Mereka sangat pintar kalau soal ini. Tapi, nyalinya langsung menciut ketika
ditantang untuk mengambil keputusan.
Akibatnya kita merasakan dampaknya. Penyerapan anggaran akan
terus sangat rendah dan kinerja perekonomian kita pun melambat. Kalau
pemerintah saja tidak punya nyali, apalagi kalangan swasta.
we-CHANGE
Kalau mau melihat masa depan suatu negara, lihatlah generasi
mudanya. Kalau generasi mudanya mudah galau, hanya bisa berwacana, bisa
ditebak kelak seperti apa nasib negaranya.
Kata banyak orang, karena galau dan hanya sibuk berwacana,
negara kita tertinggal sepuluh tahun dibanding negara-negara lain.
Contohnya gampang. Lihatlah jalan tol kita. Kita mulai membangun
jalan tol sejak 1973. Lebih dulu ketimbang Malaysia dan China. Tapi, coba
lihat berapa panjang jalan tol yang sudah kita bangun?
Malaysia mulai membangun jalan tol pada 1990. Namanya, jalan tol
Anyer-Hitam, panjangnya sekitar 10 kilometer. Itu pun yang mengerjakan BUMN
kita, PT Hutama Karya. Kini panjang jalan tol di Malaysia sudah mencapai
3.000-an kilometer.
China pun baru membangun jalan tol pada 1990. Jalan tol pertama
yang mereka bangun namanya Shenda, menghubungkan dua kota, Shenyang dan
Dalian. Kini, China sudah memiliki jalan tol sepanjang 85.000 kilometer.
Anda tahu berapa panjang jalan tol yang sudah kita bangun hingga
saat ini? Belum sampai 900 kilometer!
Begitulah, kalau negara lain sibuk membangun, kita sibuk
berwacana lantaran tidak berani mengambil keputusan.
Baiklah saya juga tak mau disebut hanya bisa berwacana. Sebagai
pendidik, yang saya lakukan adalah menempa anak-anak muda kita agar mereka
tak hanya bisa berwacana, tapi berani mengambil keputusan. Itu sebabnya di
Rumah Perubahan, saya menyiapkan program boot champ, we-CHANGE.
Lewat program ini, saya akan merekrut banyak anak muda di bawah
usia 30 tahun. Syaratnya sederhana. Gigih, disiplin, berpikiran terbuka, siap
belajar dan punya tekad yang kuat untuk memperbaiki masa depan.
Mereka akan saya jadikan mentee, sedang saya mentornya. Saya
akan mendidik untuk berani mengambil keputusan. Saya akan mendidik mereka
untuk menjadi driver, bukan passenger. Silahkan cari informasinya. Ayo
anak-anak muda, siapa berminat? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar