DPR, Masa "Gitu"?
Ikrar Nusa Bhakti ; Profesor Riset di Pusat Penelitian Politik
LIPI
|
KOMPAS,
13 Oktober 2015
Nama lembaga ini keren banget: Dewan Perwakilan Rakyat. Para
anggotanya pun mendapatkan sebutan yang aduhai bagusnya: "anggota parlemen",
"anggota DPR", atau "legislator" (pembuat undang-undang).
Fungsi-fungsi yang diemban DPR dalam ketatanegaraan kita pun bukan main
pentingnya: pertama, fungsi legislasi atau pembuatan undang-undang; kedua,
fungsi pengawasan dengan hak yang cukup banyak, yaitu hak bertanya, hak
angket, hak interpelasi, dan hak menyatakan pendapat; dan ketiga, hak budget
(ikut serta menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara).
Sejak DPR pertama era Reformasi terbentuk pada 1999, DPR dapat
dikatakan menggantikan eksekutif dalam hal kekuasaan membuat undang-undang,
termasuk-tetapi tidak terbatas pada-kekuasaan menjalankan fungsi pengawasan
dan budgeting. Tak heran apabila era Reformasi ini sering disebut dengan
eranya kekuasaan DPR atau disebut juga beralihnya kekuasaan dari yang dulu
berat ke eksekutif (executive heavy)
ke berat ke legislatif (legislative
heavy).
Sejak reformasi atau demokratisasi bergulir pada Mei 1998, kita
telah mengalami tiga periode DPR, yakni DPR periode 1999-2004, 2004-2009, dan
2009-2014. Kini kita sedang mengalami DPR periode 2014-2019 yang sudah
berjalan selama setahun. Dalam setahun ini berbagai kejadian politik telah
terjadi di DPR.
Artikel yang judulnya meminjam gaya judul sinetron
"Tetangga Masa Gitu?" yang ditayangkan sebuah stasiun televisi
swasta ini ingin memberikan catatan kritis atas setahun kinerja DPR
2014-2019.
Kaya intrik, miskin karya
Setahun DPR hasil Pemilu Legislatif 2014 banyak diwarnai
intrik-intrik politik internal ketimbang menghasilkan suatu karya yang
monumental membangun masa depan politik yang lebih baik bagi bangsa dan
negara Indonesia. Hiruk-pikuk politik bahkan sudah dimulai setelah pemilu
legislatif dan sebelum Pemilu Presiden-Wakil Presiden 2014. Fungsi legislatif
yang dimiliki DPR bukan digunakan untuk memperbaiki sistem politik Indonesia
ke depan ke arah yang lebih baik, malah digunakan oleh kelompok mayoritas di
parlemen untuk membuat undang-undang demi kepentingan politik mereka.
Contoh paling kasatmata ialah saat DPR periode 2009-2014
menghasilkan Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) yang
penuh rekayasa politik untuk keuntungan koalisi partai pendukung
Prabowo-Hatta Radjasa. Contoh kedua, ketika DPR 2009-2014 juga menghasilkan UU Pilkada
yang mengubah tata cara pemilihan kepala daerah dari langsung oleh rakyat
menjadi tak langsung melalui DPRD provinsi untuk memilih gubernur dan DPRD
kabupaten/kota untuk memilih bupati/wali kota.
Konflik internal di DPR terus berlanjut pada DPR hasil Pemilu
Legislatif 2014. Empat bulan pertama diwarnai oleh intrik-intrik politik di
kubu masing-masing untuk memilih ketua dan para wakil ketua DPR, para ketua
dan wakil ketua komisi dan alat-alat kelengkapan Dewan lainnya periode 2014-2019. Agar kelompok wakil rakyat
pendukung Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla mendapatkan porsi yang sangat
kecil di komisi-komisi, mau tidak mau DPR harus mengubah UU MD3 yang hanya
diselesaikan tidak lebih dari sehari masa sidang. Demi mengubah Peraturan
Presiden Pengganti Undang-Undang mengenai Pilkada menjadi UU, DPR pun
bersidang tidak lebih dari lima jam!
Pemerintah dan DPR pada 6 Februari 2015 sudah menyetujui bahwa
ada 160 RUU yang harus disusun DPR periode 2014-2019. Pada masa sidang selama
2015, ada 37 RUU yang menjadi prioritas dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
Dari jumlah itu, ada 22 RUU yang sedang disusun dan 3 RUU telah selesai
disusun. Kini, sudah bulan Oktober 2015, hampir-hampir mustahil 37 RUU itu
akan selesai diproses menjadi UU pada 2015.
Memutar jarum jam
Jika kita mengkaji kinerja DPR periode 2014-2019 selama setahun
ini, ada beberapa kata kunci yang bisa digunakan untuk menggambarkan DPR,
yakni penuh dengan kegaduhan politik internal, lebih memfokuskan pada
kepentingan politik kelompoknya, miskin rasa kebangsaan, ingin mengembalikan
Indonesia ke era politik yang penuh dengan dominasi kekuatan politik
mayoritas atas minoritas, dan ingin mengembalikan praktik korupsi, kolusi,
dan nepotisme (KKN) membahana kembali di negeri ini.
Kegaduhan politik bukan saja dilakukan anggota parlemen di DPR semata,
melainkan juga merasuk ke kabinet pemerintahan Jokowi-Kalla. Lihat saja
komentar-komentar anggota DPR dari fraksi terbesar, PDI-P, dalam mengkritisi
pemerintahan Jokowi-Kalla, baik dalam kasus gagalnya Budi Gunawan dilantik
sebagai Kepala Polri yang berbuntut pada hiruk-pikuk politik antara DPR dan
Presiden soal KPK serta hiruk-pikuk kriminalisasi beberapa komisioner KPK.
Soal perombakan kabinet juga diramaikan oleh para anggota Dewan yang berasal
dari PDI-P. Orang jadi bertanya, PDI-P itu partai pemerintah atau partai
oposisi?
"Pembunuhan" KPK
Kini, 45 anggota DPR dari enam fraksi, yaitu PDI-P, Partai
Golkar, PKB, Partai Nasdem, PPP, dan Hanura mengajukan revisi UU No 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Satu hal yang menarik, UU
KPK lahir pada era Presiden Megawati Soekarnoputri, tetapi kini mengapa
justru PDI-P yang menjadi motor pelemahan atau bahkan pembunuhan KPK? Apakah
ini terkait dengan isu ketakutan PDI-P bahwa Megawati akan terkena kasus
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada eranya dulu?
Lebih menarik lagi, dua partai yang pada lima tahun lalu
anggotanya banyak tersangkut kasus korupsi, yaitu PKS dan Partai Demokrat,
justru menentang revisi UU KPK. Padahal, di masa lalu ada anggota DPR dari
PKS yang getol banget ingin membubarkan KPK. Gerindra, yang kini berposisi
berbeda dengan PDI-P, tentunya memilih untuk menolak revisi UU KPK. Apalagi
salah satu wakil ketua Gerindra, Fadli Zon, baru saja terpilih menjadi Ketua
Gerakan Antikorupsi Parlemen Antarnegara.
Satu sisi yang amat absurd, Masinton Pasaribu-anggota DPR dari
Fraksi PDI-P-secara menggebu-gebu mengatakan bahwa pembentukan KPK yang lahir
atas dasar Tap MPR RI/VIII/2001 itu adalah produk situasi politik transisi
dan kini MPR bukan lagi lembaga tertinggi negara! Atas dasar itu pula
Masinton dan para pendukung pembunuhan KPK membatasi usia KPK hanya pada 25
tahun. Karena KPK saat ini sudah 13 tahun, sisa usia KPK adalah 12 tahun
seperti yang dicanangkan RUU Revisi KPK itu. Sebelum dibunuh, KPK mulai
dipreteli otoritasnya yang hanya menangani korupsi di atas Rp 50 miliar,
tidak boleh melakukan penuntutan, dan jika telah melakukan penyelidikan dan
penyidikan atas kasus korupsi di bawah Rp 50 miliar, kasusnya harus
diserahkan kepada Polri dan kejaksaan. KPK juga tidak boleh melakukan
penyadapan tanpa ada bukti awal yang cukup dan harus melalui persetujuan
hakim pengadilan negeri.
Sampai detik ini antara DPR dan pemerintah (Menteri Hukum dan
HAM Yasonna Laoly) masih saling mengelak bahwa bukan lembaga mereka yang mempersiapkan
revisi RUU KPK. Jika benar Kementerian Hukum dan HAM yang mempersiapkan draf
revisi tersebut, memang benar ada kepentingan politik PDI-P untuk melemahkan
dan bahkan membunuh KPK. Ini yang justru menambah misteri soal revisi UU KPK
ini, mengapa pemerintah yang didukung PDI-P dulu melahirkan UU KPK, dan kini
ketika PDI-P berkuasa kembali justru ingin mematikan KPK.
Kita berharap Presiden Jokowi masih mendahulukan akal sehat dan
menolak untuk membuat surat presiden
yang memberikan jalan bagi DPR dan pemerintah membahas revisi UU KPK. Posisi
presiden ini penting bukan saja demi masa depan politiknya dan citranya di
mata rakyat, melainkan juga demi masa depan penegakan hukum atas kasus-kasus
korupsi di Indonesia. Hanya negarawan yang memiliki rasa kebangsaan yang
tinggi yang tetap ingin mempertahankan KPK.
Sudah sedemikian rendahkah rasa kebangsaan para anggota DPR
kita? DPR seharusnya memperjuangkan kepentingan bangsa dan negara yang jauh
lebih luas, bukan memperjuangkan kepentingan kelompoknya yang sempit! DPR,
masa gitu? Jika tetap begitu, lebih baik kita tidak memilih lagi para anggota
DPR dan partai-partai yang ingin membunuh KPK, pada pemilu serentak 2019! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar