Integrasi Ekonomi dan Volatilitas
Firmanzah ; Rektor Universitas Paramadina; Guru Besar
FEUI
|
KORAN
SINDO, 12 Oktober 2015
Dalam satu minggu terakhir, nilai tukar rupiah dan indeks harga
saham gabungan (IHSG) melonjak. Nilai tukar rupiah berdasarkan Bloomberg
Index pada Jumat (9/10) menguat 475 poin atau 3,42% ke level Rp13.412 per
dolar Amerika Serikat (AS).
IHSG pada hari yang sama naik 2,18% ke level 4.589. Nilai tukar
rupiah tercatat telah terapresiasi signifikan setelah pernah menyentuh titik
terendah Rp14.900 per dolar AS beberapa waktu lalu. IHSG juga sempat
mengalami tekanan dan berada di titik terendah pada Agustus 2015 di level
4.163.
Naik turunnya nilai tukar dan indeks saham tidak hanya dialami
Indonesia, melainkan juga sejumlah negara berkembang lain seperti Malaysia,
Brasil, Thailand, dan Afrika Selatan. Volatilitas di pasar keuangan menjadi
konsekuensi dari semakin terintegrasinya ekonomi suatu negara ke sistem
ekonomi kawasan maupun global. Saya melihat menguatnya nilai tukar rupiah dan
IHSG dalam beberapa waktu terakhir merupakan hasil kombinasi dari dua hal.
Pertama, keseriusan otoritas ekonomi, baik pemerintah, Bank
Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK) maupun Lembaga Penjamin Simpanan
(LPS) yang secara kolektif memperkuat daya tahan dan fundamental ekonomi
nasional. Para pelaku pasar mulai melihat arah perbaikan baik di sektor
moneter, fiskal maupun sektor riil setelah pemerintah meluncurkan serangkaian
paket kebijakan ekonomi.
Kedua, sentimen eksternal yang selama ini sangat menekan ekonomi
Indonesia, yaitu ditundanya kenaikan suku bunga The Fed yang banyak kalangan
memproyeksikan dilakukan pada tahun ini. Rilis data sektor ketenagakerjaan
dan pernyataan sejumlah pejabat Bank Sentral AS menurunkan spekulasi kenaikan
suku bunga tahun ini. Hal ini membuat investor kembali memasukkan dananya ke
pasar keuangan negara berkembang dan emerging.
Sementara itu, stimulus moneter Jepang dan Uni Eropa juga
memberikan sentimen positif dan meningkatkan likuiditas global. Langkah dua
otoritas tersebut membuat uang beredar terjaga dan meningkatkan permintaan
terhadap surat utang negara (SUN) maupun obligasi yang diterbitkan korporasi.
Capital-inflow ke sejumlah negara
berkembang dan emerging terjadi dan membuat nilai tukar mata uang dan pasar
modal sejumlah negara yang selama ini tertekan kembali naik.
Tidak hanya nilai tukar rupiah, tetapi juga ringgit Malaysia
yang dalam sepekan telah terapresiasi sebesar 6,25%. Mata uang Brasil juga
menguat menjadi 3,76 per dolar AS setelah berada di titik terlemah pada
September 2015, yaitu di level 4,18 per dolar AS. Sentimen penundaan kenaikan
suku bunga The Fed telah memberikan angin segar kepada sejumlah negara
berkembang dan emerging untuk bernapas sebentar sekaligus momentum untuk
memperkuat fundamental ekonomi.
Terlebih, sejumlah persoalan di tingkat eksternal masih
membayangi pemulihan ekonomi negara berkembang dan emerging seperti pelemahan ekonomi China dan merosotnya harga
komoditas. Pelajaran yang dapat kita petik dari situasi di pasar keuangan
dalam beberapa waktu terakhir adalah kesadaran bahwa ekonomi nasional semakin
terintegrasi dengan sentimen regional dan global. Aliran dana asing
keluar-masuk ke ekonomi nasional akan mudah terjadi mengikuti kinerja ekonomi
riil dan faktor psikologis investor atau bahkan aspek spekulasi para
fund-manager global.
Ketika investasi di suatu negara dianggap kurang menguntungkan
dan peluang mendapatkan keuntungan di tempat lain lebih tinggi, akan dengan
mudah dana berpindah keluar dari negara tersebut. Begitu juga sebaliknya,
apabila suatu negara dianggap lebih memberikan keuntungan investasi yang
lebih tinggi, dana asing akan masuk. Di era globalisasi dan semakin dalamnya
integrasi ekonomi, proses ini terjadi secara intens dan tidak lagi gradual.
Membuat capital outflow maupuninflow terjadi secara masif dan
dalam waktu singkat. Hal ini terlihat secara statistik dengan persentase
kenaikan atau penurunan indikator secara tajam dan mendadak. Lantas apa yang
dapat dilakukan oleh otoritas baik moneter, fiskal maupun sektor riil di
suatu negara? Menurut saya, peran otoritas di suatu negara menjadi sangat
penting untuk tetap menjaga daya tahan dan fundamental ekonomi terjaga.
Dihadapkan pada gejolak eksternal yang sering terjadi dan
bersifat mendadak telah membuat kebijakan ekonomi di banyak negara bersifat
adaptif dan responsif. Dengan semakin terintegrasi dan volatilitas ekonomi global
yang sangat tinggi, banyak pihak semakin sulit merancang kebijakan yang
bersifat jangka menengah maupun jangka panjang. Bahkan sering kali proyeksi
kinerja ekonomi satu tahun ke depan harus beberapa kali direvisi untuk
menyesuaikan dengan perkembangan dan situasi yang terjadi.
Lembaga internasional seperti IMF, Bank Dunia, OECD, ADB, dan
WTO sering kali melakukan revisi atas proyeksi indikator ekonomi dunia. Bagi
Indonesia, tantangan bagi pembuat kebijakan ekonomi nasional saat ini
terfokus pada dua hal. Pertama, kebijakan yang bersifat responsif dan adaptif
dengan perkembangan ekonomi dunia.
Sering kali untuk menjaga daya saing, daya tahan, dan
fundamental ekonomi nasional, para pembuat kebijakan tidak dapat hanya
inwardlooking saja. Benchmarking-policy dengan negara lain, paling tidak di
kawasan ASEAN, perlu dilakukan agar kebijakan yang dihasilkan tidak hanya
lebih baik dari kebijakan di masa lalu, tetapi juga kompetitif bila
dibandingkan dengan kebijakan negara lain.
Misalnya kebijakan untuk menarik investasi dalam membangun
proyek infrastruktur yang saat ini berjalan. Komparasi stimulus dan kemudahan
yang ditawarkan oleh negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, Vietnam,
Thailand, dan Filipina perlu menjadi acuan untuk penyusunan kebijakan.
Investor dipastikan akan membandingkan tawaran yang diberikan oleh negara
lain sebelum memutuskan di mana investasi tersebut dilakukan.
Kedua , kebijakan yang terfokus pada penyelesaian sejumlah
agenda pembangunan nasional. Di tengah volatilitas perekonomian dunia, tugas
penting bagi pengambil kebijakan adalah penuntasan agendaagenda pembangunan
nasional. Agenda pembangunan infrastruktur, penanganan kemiskinan, penciptaan
lapangan kerja, industrialisasi, penguatan daya beli masyarakat, penguatan
sektor UMKM, dan penyerapan anggaran negara harus tetap menjadi prioritas
nasional.
Gejolak di perekonomian dunia hanya akan termitigasi dampaknya
apabila ekonomi domestik memiliki ketahanan dan daya saing yang baik.
Sebaliknya, apabila kita tidak memiliki ekonomi domestik yang kuat, kita akan
sangat rentan (vulnerable) atas
setiap gejolak ekonomi kawasan dan global yang tidak terduga-duga
kemunculannya. Ketika ekonomi suatu negara rapuh, gejolak ekonomi dalam skala
kecil dan menengah dari eksternal akan berdampak serius bagi perekonomian
negara tersebut. Krisis ekonomi 1998 menjadi pembelajaran berharga bagi kita
semua.
Dengan tekanan yang sama dialami oleh negara lain seperti Korea
Selatan, Thailand, dan Malaysia, tetapi dengan kerapuhan sistem ekonomi,
politik, dan kepercayaan, dampak ke ekonomi Indonesia jauh lebih buruk
dibandingkan dengan negara lain.
Kita tentunya berharap dan optimistis bahwa reformasi telah
menghasilkan pembenahan tidak hanya di bidang ekonomi, tetapi juga politik,
sosial-budaya, dan kemasyarakatan. Hal ini perlu terus kita perkuat dan
perbaiki sebagai modal menghadapi ekonomi dunia yang penuh dengan gejolak dan
volatilitas yang tinggi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar