RI dan Kepentingan Regional AS
Makmur Keliat ; Pengajar Ilmu Hubungan Internasional,
FISIP,
Universitas Indonesia
|
KOMPAS,
23 Oktober 2015
Our new focus
on this region reflects fundamental truth-the United States has been, and
will always be, a Pacific nation. Barack
Obama
Hubungan bilateral antara dua negara tidak terjadi dalam
kehampaan regional. Oleh karena itu, makna kunjungan Presiden Joko Widodo ke
Amerika Serikat harus pula dikaitkan dengan dua perkembangan strategis yang
telah terjadi di kawasan Asia Pasifik
tahun ini.
Perkembangan strategis tersebut, pertama disepakatinya kerangka
aturan-aturan normatif (articles of
agreement) dalam pembentukan Bank Investasi Infrastruktur Asia (AIIB)
pada Mei 2015. Kedua, keberhasilan dalam perundingan tahap akhir untuk
pembentukan kerangka kerja sama Kemitraan Trans-Pasifik (TPP) pada awal
Oktober 2015.
AIIB dan TPP
Sejauh yang dapat diidentifikasikan, AIIB merupakan inisiatif
diplomasi Tiongkok dengan keanggotaan
sejauh ini sebanyak 57 negara. Di sisi lain TPP menjadi simbol dari inisiatif
diplomasi Amerika Serikat (AS) yang beranggotakan 12 negara. Dua
inisiatif kelembagaan ini tinggal
menunggu proses ratifikasinya di
setiap negara untuk segera menjadi operasional. Dua perkembangan ini telah
membawa kompleksitas dalam peta geoekonomi dan geopolitik.
AIIB, misalnya, dapat menyampaikan pesan bahwa Tiongkok memiliki
kepentingan dalam penataan arsitektur baru keuangan internasional.
Lembaga-lembaga keuangan multilateral, yang merupakan warisan dari
kesepakatan Bretton Woods, seperti Bank Dunia, Dana Moneter Internasional
(IMF), dan Bank Pembangunan Asia, dipandang tidak lagi memadai. Institusi
baru perlu diciptakan untuk memberikan ruang gerak yang lebih luas bagi
aspirasi power Tiongkok yang semakin menguat dalam berbagai dimensinya. Pesan
lainnya, Tiongkok berusaha untuk meyakinkan komunitas internasional bahwa
tindakan-tindakan liberalisasi regional tidaklah cukup. Tanpa disertai dengan
fasilitas pendanaan untuk pembangunan infrastruktur, tindakan liberalisasi
itu dipandang hanya akan menguntungkan pihak yang lebih kuat.
TPP juga memberikan gambaran yang mirip dengan itu. Ia menjadi
bagian konkret dari rebalancing strategy AS di kawasan Asia Pasifik. Strategi
"penyeimbangan kembali" itu muncul pertama kali pada pidato Barack
Obama di depan parlemen Australia tahun 2011. Untaian kecil dari pidato
Obama, yang dikutip di awal tulisan
ini, sebenarnya bisa dibaca dalam rumusan kalimat berbeda. "Jika tidak
ingin diganggu, setiap kerangka kerja sama regional di Asia Pasifik haruslah
memberikan ruang pelibatan bagi AS".
Dalam konteks ini, logislah jika TPP dikonstruksikan
sebagai turunan dari strategi
penyeimbangan baru itu. Strategi ini juga
telah menciptakan kerumitan peta geoekonomi dan geopolitik di Asia
Pasifik. Seperti diketahui, di samping TPP terdapat beragam kerja sama
ekonomi regional yang telah dikembangkan.
Di luar Masyarakat Ekonomi ASEAN, yang dirancang mulai efektif
pada awal tahun depan, terdapat juga gagasan untuk mewujudkan kerja sama
ekonomi ASEAN yang diperluas di bawah payung Kemitraan Ekonomi Regional
Komprehensif (RCEP). Beragam kerja sama perdagangan bebas bilateral juga
muncul di kawasan ini. Mengingat pola perkembangan kerja sama regional di Asia Tenggara dan Asia Timur
itu tidak memiliki karakter linear, seperti telah terjadi dalam kasus Uni
Eropa, seluruh kerja sama perdagangan bebas itu memang tampak menyerupai pola
spaghetti bowl, meminjam ungkapan
Bhagwati, dan merumitkan tindakan pengawasannya. Pola spaghetti bowl memang
sangat memungkinkan terjadinya lalu lintas perdagangan melalui "pintu
belakang".
Terlepas dari kecurigaan ini, menarik mencatat keunikan hubungan
Indonesia dengan dua perkembangan strategis itu. Dalam konteks AIIB,
Indonesia merupakan negara yang termasuk sangat mendukung. Indonesia telah
menyetujui AoA. Di sisi lain, AS dan sekutunya, Jepang, belum menjadi bagian
dari AIIB. Sedangkan dalam konteks
TPP, Indonesia, seperti halnya Tiongkok, bukan merupakan negara anggota. Dari
ASEAN, hanya empat negara yang terlibat, yaitu Vietnam, Malaysia, Singapura,
dan Brunei.
Di luar keunikan ini, layak pula mencatat dua keunikan lainnya.
Pertama, muatan lingkup kerja sama dalam TPP sangat luas mencakup lingkungan
hidup, hak milik intelektual, dan BUMN.
Kedua, terdapat paradoks dalam proses pembentukannya. Walau
cakupan liberalisasinya sangat luas, aspek transparansi TPP dalam agenda dan
proses negosiasinya sangat terbatas.
Walau kesepakatan akhir sudah diumumkan, masih belum terdapat akses informasi
publik yang besar untuk mengakses dokumen
kesepakatan akhir dari TPP itu.
Sangat mungkin, itulah
salah satu sebab mengapa muncul kecurigaan terhadap TPP. Itu juga yang
menyebabkan tanggapan dari IMF tidak tampak sangat tegas. Christine Lagarde, Direktur IMF,
hanya menyatakan bahwa "kami akan mengkaji seluruh rincian sebelum menawarkan suatu penilaian
komprehensif termasuk efek transisional dan limpahannya, tetapi saya berharap
bahwa TPP dapat memberikan jalan bagi satu generasi perdagangan yang dalam".
Tantangan bagi
Indonesia
Apa yang dapat kita lihat
dari dinamika kawasan Asia Pasifik ini dalam konteks persaingan AS dengan
Tiongkok itu? Pertama, ASEAN tidak
dirancang menjadi penjuru dalam diplomasi ekonomi setiap negara anggotanya.
Tidak semua anggota ASEAN menjadi bagian dari TPP adalah fakta yang sukar
dibantah untuk sampai pada kesimpulan seperti ini. Fakta itu sekaligus
menyampaikan pesan bahwa ASEAN menawarkan
fleksibilitas dan ruang independensi strategis yang cukup luas bagi
negara anggota untuk melakukan
engagement dalam berbagai kerja sama ekonomi baik bilateral maupun regional.
Kedua, fleksibilitas dalam menggunakan ruang independensi
strategis ini menjadi sangat penting bagi Indonesia. Dengan tradisi politik
luar negeri dan diplomasi yang bebas aktif, ruang fleksibilitas yang
ditawarkan ASEAN itu akan membuat pernyataan bahwa "ASEAN sebagai penjuru politik luar negeri
Indonesia" tampak menjadi tidak relevan. Yang kemudian tampak menjadi jauh
lebih mendesak adalah bagaimana memberikan jawaban terhadap dua pertanyaan
berikut.
Pertama, argumen apakah yang diberikan untuk menyatakan bahwa
tidak menjadi anggota TPP adalah
sebagai ekspresi untuk memperoleh ruang independensi strategis yang lebih
besar bagi Indonesia? Demikian juga halnya, argumen apakah yang diberikan
untuk menyatakan bahwa menjadi anggota AIIB pada dasarnya bertujuan untuk
memperluas ruang independensi strategis Indonesia?
Untuk membuat argumen itu memiliki basis empirik, tentu saja
perlu mengaitkannya dengan dua hal. Pertama, gambaran pola interaksi
perdagangan khususnya ekspor Indonesia dan juga dengan besaran penanaman
modal asing langsung (FDI) di Indonesia.
Kedua, mengaitkannya dengan semangat kebijakan ekonomi nasional yang
dicanangkan pemerintah.
Jika kita mengaitkannya dengan ekspor, harapan sebaiknya tidak
digantungkan terlalu tinggi. Ekspor Indonesia masih didominasi oleh ekspor
komoditas. Terdapat tujuh negara yang berperan penting dalam menyerap ekspor
komoditas Indonesia, yaitu Jepang, Tiongkok, Singapura, AS, India, Korea
Selatan, dan Malaysia. Laporan IMF
tentang Indonesia pada Februari 2015, menyebutkan bahwa ekspor komoditas
masih mengambil porsi terbesar, yaitu lebih dari 50 persen ekspor merchandise
negeri ini.
Namun, nilai ekspor komoditas ini dalam nilai dollar telah menurun drastis,
yaitu hampir sebanyak 30 persen.
Penyebab penurunannya beragam. Namun, yang utama disebutkan terkait
dengan penurunan harga komoditas di pasaran internasional, khususnya untuk
batubara, minyak, kelapa sawit, bijih
besi, dan karet. Penurunan untuk minyak dan gas juga disebutkan karena
penurunan produksi dan karena terjadinya under-investment di sektor energi
itu. Di sisi lain berbagai laporan juga menyebutkan bahwa harga komoditas
akan tetap mengalami tekanan dalam dua hingga tiga tahun yang akan datang.
Adapun dalam investasi, laporan BKPM menyebutkan bahwa hingga
triwulan pertama 2015 terdapat 10 negara berperan penting dalam FDI.
Kesepuluh negara tersebut adalah, Singapura, Jepang, Korea Selatan, Inggris,
AS, Malaysia, Belanda, Kepulauan Virgin Britania Raya, Hongkong, dan
Tiongkok. Mengingat itikad kebijakan pemerintah Jokowi-Kalla dalam makna "kepentingan nasional" adalah
mentransformasikan basis ekonomi nasional dari yang konsumtif menjadi
berbasis produktif, konsekuensi
logisnya adalah sangat nyata.
Fokus diplomasi ekonomi Indonesia terhadap AS sebaiknya tidak
diharapkan terlalu banyak pada perdagangan, tetapi pada upaya menarik modal
melalui FDI. Sasarannya adalah mempercepat proses hilirisasi industri
nasional sekaligus mengharapkan
transfer kemajuan teknologi dari AS. Yang tertinggal adalah persoalan
simpulnya. Apakah simpul untuk mempercepat pencapaian sararan itu cukup hanya
melalui mekanisme diplomasi bilateral ataukah simpul itu nantinya
mengharuskan Indonesia menjadi bagian dari TPP tentu saja akan menjadi
perkembangan menarik untuk dicermati di tahun-tahun yang akan datang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar