Terik
Samuel Mulia ; Penulis Kolom “Parodi” Kompas Minggu
|
KOMPAS,
25 Oktober 2015
Saya sedang menikmati pemandangan laut di atas kapal pinisi.
Pemandangan yang menakjubkan itu sering kali diselingi dengan pemandangan
bukit kecoklatan yang tak kalah menariknya.
Musim panas yang datang sungguh menyengat dan membuat rumput
yang menutupi bukit menjadi kering kecoklatan. Meski demikian, beberapa pohon
cukup rindang justru tumbuh dan tetap mempertahankan warna hijaunya, seolah
ia tak kalah dengan terik yang menyengat.
Kesal
Di saat saya sedang menikmati kedua pemandangan itu, nurani saya
menyambar dengan cepat. ”Apakah hidup yang terik telah membuat kamu seperti
rumput kering kecoklatan atau seperti pohon hijau yang tetap rindang?” Pertanyaan
itu benar menghunjam kalbu.
Pasalnya, beberapa hari belakangan sebelum saya mengambil cuti
liburan selama satu minggu, hari-hari saya dipenuhi dengan kesehatan yang
menurun dan tak henti-hentinya menyerang sampai satu hari sebelum saya
berlibur.
Ketika teman-teman memenuhi koper mereka dengan pakaian renang,
bermuda, sepatu olahraga, dan seluruh perlengkapan liburan, saya mengisi
koper tak hanya dengan pakaian, tetapi sejuta obat ini dan itu, serta
perlengkapan untuk memeriksa kadar gula dan tekanan darah setiap hari.
Melihat perbedaan isi koper itu saja, saya sudah merasa sebalnya
setengah mati. Apalagi, ini adalah kali pertama saya berlibur dengan satu tas
khusus yang mirip kotak P3K, dengan sejuta catatan cara tepat untuk
mengonsumsi obat.
Yang satu harus dikonsumsi setengah jam sebelum makan, yang satu
lagi harus diminum tepat pada waktu makan, dan satu lagi setelah selesai.
Pagi, siang, dan malam. Pemeriksaan kadar gula pun cukup mengganggu acara
liburan itu.
Mengganggu karena pemeriksaan yang dilakukan setiap hari itu tak
hanya setelah bangun pagi, tetapi sebelum makan siang, sebelum makan malam,
dan pada pukul 10 malam. Acap kali kegiatan bersenang-senang harus dihentikan
sejenak, hanya untuk pemeriksaan yang sungguh mengesalkan itu.
Saya duduk di beranda terbuka di atas kapal besar ketika nurani
saya menghunjam dengan pertanyaan yang tak diharap datangnya. Sambil
menikmati alam indah itu, saya terdiam dan merenungi pertanyaan itu.
Mengurangi terik
Saya memiliki keinginan yang sangat menjadi manusia yang mampu
berdiri tegak seperti pohon hijau yang rindang. Bahkan berkeinginan untuk
mampu merindangkan keadaan di sekitarnya ketika hidup begitu teriknya.
Saya ingin tidak kesal ketika hidup itu tidak mau berkompromi
melihat saya tersakiti karena teriknya. Bahkan saya tak ingin kecewa kalaupun
sesudah saya memoleskan badan dengan krim anti matahari, bahkan krim setelah
terkena matahari, badan saya tetap gosong dan kulit jadi mengelupas.
Saya ingin memiliki kemampuan untuk menerima bahwa keadaan tidak
akan membaik bahkan saat saya sudah melindungi diri dari sejak awal. Tetapi,
sesungguhnya, saya sering kali merasa kesal, karena setelah mengadakan
persiapan, saya tetap tertimpa kekeringan seperti rumput yang menutupi
bukit-bukit itu. Saya yang pesimistis ini malah berpikir, makin saya berbuat
hal yang positif, kok saya jadi makin menjadi sengsara.
Sebagai rumput kering, saya acap kali diserang rasa iri hati
yang sangat melihat mengapa pohon hijau itu bisa bertumbuh menantang matahari
bahkan menghijau dan menjadi rimbun. Saya tak bisa menerima melihat
teman-teman saya yang tidak pernah berolahraga, merokok seperti minum air,
bahkan ada yang sama sekali tak suka makan sayur dan buah, sampai ada yang
tidak bekerja karena memang tidak mau bekerja, tetapi mereka tumbuh seperti
pohon yang rindang di bukit-bukit kering itu. Mereka terlihat lebih sehat,
subur, makmur dari saya yang setengah mati harus bekerja keras untuk hidup.
Saya tidak bisa menerima bahwa terik yang menyengat semua
permukaan bumi, hanya mengeringkan bagian yang ini, dan tidak bagian yang
itu. Saya acap kali berpikir mengapa mereka yang melakukan persiapan dengan
cermat sejak awal, memiliki hasil yang jauh lebih kecil daripada yang
mempersiapkan sekadarnya saja atau malah sama sekali tidak melakukannya.
Apakah mereka yang sejak awal tidak melakukan persiapan
menghadapi terik kehidupan, sejujurnya mereka telah mempersiapkan sesuatu
yang tak dilihat kasatmata? Apakah mereka memilih untuk melakoni hidup yang
terik tidak dengan persiapan fisik, tetapi dengan hati yang menerima dan jiwa
yang bahagia?
Ataukah skenario perjalanan hidup yang berbeda untuk setiap
oranglah yang membuat perbedaan reaksi dan hasil dari sengat kehidupan yang
terik? Saya lahir dengan IQ jongkok, yang lain dengan IQ kelewat tinggi,
sehingga sejujurnya saya tak bisa mencontek skenario hidup orang lain untuk
diterapkan pada diri saya sendiri.
Di beranda kapal besar itu, ketika matahari mulai berkemas untuk
tenggelam, saya sungguh tak tahu menjawab pertanyaan itu. Yang saya tahu,
saya bergumam sendiri. ”Enggak bisa ya
intensitas terik mataharinya dikurangin buat yang punya IQ jongkok. Masak
intensitas teriknya sama, IQ-nya beda. Kan yaa… enggak adil. Paling enggak
kalau dikurangin, kan rumputnya enggak sampai kering-kering amat.” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar