Pelajaran Yunani untuk Indonesia dan ASEAN
Ahmad Rizky Mardhatillah Umar ; Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik di
University of Sheffield; Aktivis
Lingkar Studi Cendekia UK
|
INDOPROGRESS,
12 Oktober 2015
BISA JADI, tak ada yang menyangkal bahwa perdebatan paling
hangat di Eropa tahun ini adalah soal austerity dan polemik yang mengemuka
pada Referendum Yunani beberapa bulan silam. Warga Yunani dihadapkan pada dua
pilihan yang mungkin cukup pelik: harus menjawab “Ya” untuk bailout yang ditawarkan
oleh IMF dan Uni Eropa (tentu beserta preskripsi-preskripsi kebijakannya),
atau menjawab “Tidak” yang berarti mendorong Yunani untuk berpikir sendiri
mengenai cara menyelesaikan krisis di negerinya. Perdana Menteri Alexis
Tsipras dan pemerintahan SYRIZA berkampanye untuk “Tidak”. Partai-partai
oposisi memilih “YA”.
Hasilnya cukup mengagetkan banyak orang di Eropa: warga Yunani
memilih “Tidak”. Tak hanya itu, di Pemilu Yunani baru-baru ini, Koalisi
SYRIZA yang dimotori oleh Alexis Tsipras kembali memenangkan Pemilu.
Ada banyak perdebatan mengenai hal ini, dari berbagai
perspektif. Saya tertarik untuk memahaminya dari satu tema penting yang dulu
sempat mengemuka di Eropa, terutama di tahun 2000an: ‘Defisit Demokrasi’.
Perdebatan tentang hal ini sempat mengemuka hingga tahun 2000an di kalangan
para pengkaji Uni Eropa, seperti Andrew Moravcsik dan John McCormick.
Kemenangan Oxi (Tidak -bahasa Yunani) ini membuka pintu perdebatan baru
tentang ‘defisit demokrasi’ di Eropa.
Dimensi Politis Institusi
Keuangan
Dalam artikel tajamnya di The Guardian, George Monbiot (2015)
melancarkan kritik pedas pada IMF. Menurutnya, institusi ini bukan hanya
anti-demokrasi, tetapi juga memperalat politik untuk kepentingan orang-orang
kaya. Pembicaraan soal keuangan internasional seringkali dipisahkan dari
perdebatan politis. Seakan-akan, lembaga-lembaga keuangan seperti IMF itu,
bekerja atas dasar moral yang baik semata nihil pretensi politik. Namun,
sebagaimana dipaparkan Monbiot, nyatanya lembaga semacam itu juga bermain politik
pada negara-negara yang mengalami krisis.
Dimensi ‘politis’ IMF tersebut terlihat dari apa yang ia lakukan
di Asia Tenggara, Argentina, dan kini: Yunani. IMF punya resep yang sering
dikenal sebagai Structural Adjustment Program. Kalau ada negara yang
mengalami krisis, IMF akan datang dan menawarkan paket bantuan. Tentu saja,
tidak ada makan siang gratis. IMF ingin agar paket SAP itu juga diterapkan
bersamaan dengan paket bantuan lainnya.
Pilihannya jadi tidak mudah, bagi negara-negara itu: menolak bantuan
dan menerima nasib berkubang dalam krisis, atau menerima bantuan dan
membiarkan diri diatur oleh perangkat-perangkat aturan teknokratik IMF.
Indonesia mungkin sudah mengalami itu di tahun 1998. Memang, ada yang
berhasil -Turki salah satunya, yang sering sekali dibanggakan sebagai Best Practices SAP.
Konsekuensinya, menurut Monbiot, paket-paket semacam ini
menghalangi negara untuk melancarkan kebijakan-kebijakan progresif. Ini
terkait dengan nature kebijakan IMF yang memaksa negara untuk “menempatkan kontrol
terhadap inflasi alih-alih tujuan ekonomi yang lain, mengurangi dan
menghapuskan hambatan perdagangan serta arus modal, meliberalisasi sistem
perbankan, mengurangi pengeluaran negara untuk apapun yang tak terkait dengan
pembayaran utang, dan memprivatisasi aset-aset negara”. Dengan demikian,
nature kebijakan IMF adalah politis sejak awalnya. Ia menghalangi adanya
alternatif-alternatif kebijakan lain di luar paket SAP dari rezim pemerintah
yang ada.
Celakanya, masih menurut Monbiot, hal serupa juga terjadi di Uni
Eropa. Monbiot menulis,
“Consider the European
Central Bank. Like most other central banks, it enjoys “political
independence”. This does not mean that it is free from politics, only that it
is free from democracy. It is ruled instead by the financial sector, whose
interests it is constitutionally obliged to champion through its inflation
target of around 2%. Ever mindful of where power lies, it has exceeded this
mandate, inflicting deflation and epic unemployment on poorer members of the eurozone.”
Salah satu hasil dari Perjanjian Maastricht yang menjadi
foundational treaty bagi Bank Sentral Eropa adalah adanya economic governance
bersama. Sebagaimana disebut oleh Monbiot di atas, ia menikmati ‘independensi
politik’. Oleh sebab itu, logikanya juga tidak akan match dengan ‘deliberasi’
yang digaung-gaungkan oleh proponent demokrasi di Eropa.
Tapi jangan lupa, sebagaimana IMF, nature dari pengelolaan
ekonomi bersama itu juga politis! Karena adanya independensi politik, ECB
berhak untuk melakukan intervensi manakala sebuah negara mengalami krisis.
Setelah Eropa mengalami krisis beruntun di tahun 2008, ECB kemudian tampil
dengan prasyarat-prasyarat moneternya. Dimotori oleh Jerman yang sekarang
menjadi seperti ‘bandar’ bagi bailout
di negara-negara yang terkena krisis, ECB memainkan pola-pola yang sama
dengan IMF: menawarkan bailout tetapi juga sepaket dengan paket-paket
pengelolaan krisisnya.
Tetapi tentu saja semua itu perlu proses nasional. Kebetulan
pula, Yunani baru saja ganti rezim. Segera setelah terpilih dalam Pemilu
tahun lalu, Alexis Tsipras dan koalisi SYRIZA yang mendukungnya segera
merespons austerity yang ditawarkan oleh Uni Eropa (dimotori oleh Jerman)
dengan cukup galak: Proposal bailout direspons dengan referendum. Tsipras dan
SYRIZA mendukung opsi menolak bailout . Hasilnya terlihat seperti yang
terjadi pada ‘referendum’: penolakan Yunani terhadap opsi tersebut.
Bandul memang cepat berubah. Belakangan muncul proposal bailout
baru dari parlemen yang sempat menggoncangkan perdebatan di Yunani. Koalisi
SYRIZA rupanya kalah dalam voting di parlemen. Tsipras agak mengalah. Ia
membalikkan logika progresifnya dengan menuruti beberapa konsesi yang
ditawarkan oleh Troika. Tsipras dikabarkan mengikuti keputusan parlemen untuk
bernegosiasi dengan Uni Eropa. Segera setelah itu, Yannis Varoufakis mundur
dari posisi Menteri Keuangan. Hasil yang dinilai mengecewakan oleh banyak
aktivis kiri, baik di Indonesia maupun di belahan dunia lain.
Proses dan negosiasi-negosiasi lanjutannya memang masih harus
dinantikan ke depan (terutama karena Tsipras kembali terpilih dalam Pemilu
baru-baru ini), namun setidaknya Yunani telah mengalami proses yang tidak
mudah dalam berdemokrasi, terutama di wilayah ekonomi. Lantas, apa pelajaran
yang bisa ditarik?
Defisit Demokrasi?
Saya ingin menyoroti satu hal penting dalam kasus di atas. Dalam
kajian tentang regionalisme, kita bisa melihat bahwa pada dasarnya institusi
regional semacam Uni Eropa –institusi yang dianggap sebagai format
regionalisme paling maju— rupanya tidak bisa mengelak dari kegalauan soal
sistem ekonomi dan politiknya. Dalam konteks ini, perdebatan soal defisit
demokrasi menjadi menarik untuk dicermati kembali.
Jika dilacak dalam perdebatan-perdebatan teoretik soal ’defisit
demokrasi’ di Eropa, para teoretisi demokrasi berbeda pendapat soal apakah
Uni Eropa mengalami defisit atau tidak. Pemikir dengan model pemikiran
‘formalis’ seperti Andrew Moravcsik (2004) dan Giandomenico Majone (1998)
akan menyatakan bahwa pembicaraan soal ‘defisit demokrasi’ tidak relevan
karena UE tidak bisa disamakan dengan kerangka negara bangsa. Sementara
pemikir yang berhaluan deliberatif seperti John McCormic (2006), Amitai
Ezione (2007), atau Jurgen Habermas (2006) akan bicara tentang hak-hak sosial
dan partisipasi ‘warga Eropa’ .
Argumen-argumennya menarik untuk dikemukakan. Menurut Moravcsik
(2004), ada banyak perspektif tentang ‘demokrasi’. Empat perspektif menarik
untuk dikemukakan: (1) perspektif libertarian, yang menekankan demokrasi
sebagai sistem untuk menjaga kebebasan warga dari tirani negara; (2)
perspektif pluralis, yang melihat akuntabilitas demokratik sebagai prasyarat
dalam membangun demokrasi; (3) sosial-demokrat, yang melihat demokrasi lebih
pada hak-hak ekonomi dan sosial warga; dan (4) deliberatif yang menekankan
partisipasi. Menurut Moravcsik, keempat perspektif ini punya parameter
sendiri-sendiri dalam memandang demokrasi dan menjadikan demokrasi tidak bisa
dianalisis dalam satu tarikan nafas.
Bahkan, dalam artikelnya yang lain, Moravcsik (2008) justru
menganggap persepsi ‘defisit demokrasi’ sebagai mitos belaka. Konsep ini
terlalu melebih-lebihkan Uni Eropa sebagai satu kekuatan yang besar, padahal
pada nyatanya ia tidak memiliki basis institusional yang jelas.
Proponen ‘defisit demokrasi’ seperti Habermas (yang pernah
menyerukan negara-negara Eropa untuk menggelar referendum atas keberadaan Uni
Eropa) atau Andres Follesdaal dan Simon Hix (2006) tentu akan menekankan
prinsip-prinsip kontestasi dan partisipasi dalam menekankan demokrasi.
Follesdaal dan Hix berargumen bahwa partisipasi dan kontestasi (ini dianut
juga oleh pendekatan Dahlian) sentral dalam demokrasi. Menurutnya,
meng-counter gagasan Moravcsik, Uni Eropa punya defisit dalam partisipasi dan
kontestasi ini. Selain gagasan tentang kelembagaan Uni Eropa sangat
elite-centric, berkembangnya diskursus Euroskeptis di tahun 2000-an (dan
kemudian menguat di parlemen Eropa hasil Pemilu tahun lalu) justru
menyiratkan sebuah fakta bahwa tidak semua warga Eropa menginginkan format
Uni Eropa sebagai supranasional.
Artinya, menurut argumen ini, gagasan tentang Uni Eropa sangat
didasarkan pada konsensus para elit dan ‘defisit’ dalam hal partisipasi warga
negara dan kontestasi di dalamnya.
Bagaimana kita menempatkan ‘defisit demokrasi’ ini dalam konteks
Yunani? Krisis dan Referendum Yunani terakhir membuka mata kita bahwa pada
dasarnya, Uni Eropa penting untuk menimbang kembali model-model pengambilan
keputusan di dalamnya. Bukan hanya Rezim Moneter Bersama yang perlu
dievaluasi (ini wilayah kajian para Ekonom) tetapi juga posisi ‘partisipasi’
dalam Uni Eropa yang juga perlu dipikirkan kembali. Dengan model
supranasional yang ada, bisa saja yang terjadi adalah marjinalisasi
kelompok-kelompok tertentu atas dalih ‘Kedaulatan Eropa’, yang justru menemui
paradoksnya ketika Yunani mengalami krisis dan logika yang digunakan untuk
bailout adalah ancaman-ancaman teknokratik a la Jerman.
Dari sini, berkaca dari krisis Yunani, otoritarianisme finansial
perlu dipikirkan kembali. Regionalisme bukan sekadar urusan ekonomi.
Regionalisme, dalam kerangka deliberatif, juga mesti dipahami sebagai urusan
menegaskan hak-hak warganya untuk berpendapat. Dan artinya ‘berdemokrasi’
bukan sekadar urusan Pemilu Eropa untuk memilih anggota-anggota Parlemen!
Formatnya bisa jadi harus melampaui Pemilu dan membuka kesempatan bagi setiap
kekuatan sosial untuk mengontestasikan gagasannya.
Pelajaran bagi ASEAN
Saya ingin menarik refleksi yang lebih kritis untuk ASEAN. Saat
ini, ASEAN tengah menempuh jalan untuk membangun regionalisme yang lebih
rumit dalam format Masyarakat ASEAN. Gagasan yang sedikit banyaknya mengambil
referensi dari cara-cara Uni Eropa. Belajar dari kasus Yunani, ASEAN juga
harus mempertimbangkan satu hal: mustahil membangun format regionalisme tanpa
bicara soal partisipasi warga negara. Jangan sampai gagasan tentang
Masyarakat Ekonomi ASEAN (yang dimana-mana menjadi sentral perbincangan soal
ASEAN) justru menjadi ‘otoritarianisme ekonomi’ baru atas nama pasar.
Selama ini, perbincangan soal ASEAN didominasi oleh perbincangan
soal Masyarakat Ekonomi ASEAN. Publikasi-publikasi dari Kementerian Luar
Negeri, seminar-seminar, hingga artikel di media cetak atau elektronik banyak
yang terlalu menekankan soal Masyarakat Ekonomi ASEAN. Argumennya, Indonesia
dinilai tidak siap menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN yang akan segera
dihadapi dalam waktu dekat. Meskipun penting, hal ini justru melupakan
dimensi ’yang lain’ yang dihadapi oleh ASEAN, yaitu problem soal kepemilikan
dan partisipasi warga di dalamnya.
Masyarakat Ekonomi ASEAN bukan sekadar isu soal kesiapan
pemerintah. Di baliknya, ada banyak pelaku UKM yang kebingungan menghadapi
tantangan baru ke depan atau kelompok-kelompok masyarakat di Sungai Mekong
yang harus berhadapan dengan pembangunan bendungan yang disponsori Thailand.
Saatnya, perbincangan yang melampaui masalah ’kesiapan Indonesia’ dalam
menghadapi ASEAN, kita geser ke ranah yang lebih real di masyarakat: soal
pembangunan, masalah usaha kecil dan informal, maupun hak-hak rakyat yang
bisa jadi akan tersentuh ketika rezim perdagangan bebas diberlakukan. Saatnya
diplomasi Indonesia di ASEAN juga memperhatikan masalah-masalah demikian.
Setidaknya, ASEAN punya dua pekerjaan rumah yang harus
diselesaikan menuju pemberlakukan Masyarakat ASEAN nanti. Pekerjaan rumah
pertama adalah meningkatkan kepedulian (awareness)
tentang ASEAN dari warganya. Banyak riset yang menyatakan bahwa kepedulian
masyarakat tentang ASEAN lemah. Dengan demikian, jika pemerintah serius
dengan gagasan tentang ’Masyarakat ASEAN’, perlu ada peran pemerintah untuk
menjadikan ASEAN sebagai ‘imaji bersama’ yang tidak hanya dimiliki oleh
elit-elit bisnis besar dan pemerintah, tetapi juga semua warganya.
Pekerjaan rumah kedua terkait soal partisipasi. Sejauh ini, ada
banyak kepentingan-kepentingan yang tak tersuarakan di ASEAN. Tahun 2015
menunjukkan bahwa keinginan kelompok-kelompok masyarakat sipil dan gerakan
sosial untuk berpartisipasi di ASEAN sudah cenderung meningkat, namun
lagi-lagi desain kelembagaan ASEAN masih terbatas untuk perwakilan negara. Akhirnya,
relasi negara-masyarakat sipil di ASEAN, terutama di beberapa negara yang
nature sistem politiknya otoritarian, cenderung konfliktual (lihat Gerard, 2014; Nandyatama, Prabandari, dan
Umar, 2014). Hal ini bisa diikuti dari debat-debat antara perwakilan NGO
dengan pemerintah di negara seperti Kambodia atau Thailand ketika ASEAN
People’s Forum yang lalu.
ASEAN hendaknya belajar banyak dari Yunani. Bahwa regionalisme
bukan sekadar soal ekonomi (yang seringkali bias kepentingan bisnis besar)
tetapi juga soal hak untuk bicara dan hak untuk bisa. Jadikan ASEAN
benar-benar sebagai kawasan yang people-oriented
dan people-centred, sebagaimana
dideklarasikan oleh para pemimpinnya di Kuala Lumpur beberapa bulan yang
lalu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar