Memperkuat Legalitas Kayu
Suhardi Suryadi ; Direktur Program Prisma Resource Centre
|
KOMPAS,
16 Oktober 2015
Rencana penerbitan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 66 Tahun
2015 tentang Ketentuan Ekspor Industri Kehutanan dalam rangka peningkatan
investasi dan pertumbuhan ekonomi tak ayal menuai kritik dari sejumlah pihak
yang perhatian terhadap kelestarian hutan.
Pasalnya, peraturan ini memberi kemudahan bagi eksportir
industri kehutanan yang cukup memiliki surat deklarasi ekspor. Tidak lagi
perlu mencantumkan izin sebagai eksportir terdaftar dan dokumen kepabeanan
serta kewajiban mengantongi dokumen V-Legal atas produk yang diekspor (Kompas, 5 Oktober 2015).
Rencana Kementerian Perdagangan ini dikhawatirkan akan semakin
menyuburkan praktik perdagangan kayu ilegal hasil pencurian dan pembalakan
liar. Oleh karena itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagai
sektor utama dalam industri kehutanan juga menolak kehadiran Peraturan
Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 66 Tahun 2015 tersebut.
Tren global
Rencana permendag dalam kaitan ekspor industri kehutanan
mencerminkan pendekatan kebijakan yang pragmatis, yaitu meningkatkan investasi untuk
semata-mata mengejar pertumbuhan ekonomi dan mengabaikan nilai-nilai sosial
dan lingkungan.
Pendekatan demikian pada dasarnya sudah usang mengingat tren
global telah berubah. Dalam politik ekonomi internasional ada kecenderungan
untuk menempatkan aspek nilai-nilai dalam proses reproduksi ekonomi. Hal ini
sebagai bagian dalam upaya mewujudkan kehidupan dunia yang damai dan
harmonisasi pembangunan. Sekalipun, tentu saja, tetap mengedepankan manajemen
ekonomi yang rasional.
Menurut Grzegorz W Kolodko (2013), aspek penting dalam masa
depan ekonomi dunia adalah pembangunan sosial-ekonomi jangka panjang yang
seimbang yang mencakup tiga aspek. Pertama, pertumbuhan berkelanjutan ekonomi
atau pertumbuhan yang berhubungan dengan barang dan pasar modal serta
investasi, keuangan, dan tenaga kerja.
Kedua, pertumbuhan yang berkelanjutan secara sosial atau
pertumbuhan yang berhubungan dengan keadilan, yaitu distribusi pendapatan
diterima secara merata dan partisipasi yang tepat dari warga dalam pelayanan
publik dasar.
Ketiga, pertumbuhan lingkungan yang berkelanjutan atau
pertumbuhan yang berhubungan dengan upaya menjaga keselarasan yang kuat
antara aktivitas ekonomi dan alam.
Ketiga aspek tersebut pada dasarnya sudah lama berkembang,
terutama di sejumlah negara maju, seperti Amerika Serikat (AS), Eropa, dan
Jepang. Melalui forum G-8 tahun 1998, negara-negara ini memelopori peluncuran
program untuk mengatasi masalah pembalakan liar.
Negara maju juga sangat ketat dalam memberlakukan aturan
perdagangan terkait dengan produk industri kehutanan yang tidak ramah
sosial-lingkungan. Dalam kasus di AS, misalnya, dikenal amandemen Lacey Act 2008. Terkait itu, setiap
produk kayu yang diimpor atau dijual dinyatakan ilegal jika melanggar hukum
dan sanksinya adalah penjara atau denda. Termasuk mewajibkan importir membuat
deklarasi asal dan spesies kayu. Kasus
pertama dari adanya Lacey Act menimpa Gibson Guitar tahun 2010 yang
diinvestigasi oleh Departemen Kehakiman AS terkait penggunaan bahan baku
mahoni dari Madagaskar yang dilindungi. Gibson akhirnya ditangkap karena
tidak dapat menerangkan sumber bahan baku kayu tersebut.
Hal yang sama juga berlaku di negara-negara Eropa yang
mengharuskan setiap perusahaan melakukan due diligence atau semacam penilaian
risiko ketidakabsahan jika ingin menempatkan atau menjual produk kayu di
pasar Uni Eropa (Forest Trend 2013).
Kepentingan negara
Sebagai negara pengekspor produk kayu, Indonesia pada dasarnya
terikat dengan komitmen internasional untuk memberantas praktik pembalakan
liar dengan memasok kayu secara legal. Komitmen ini dibangun sejak 14 tahun
lalu melalui deklarasi Penegakan Hukum Kehutanan dan Pemerintahan (FLEG)
tahun 2001.
Tidak berhenti pada deklarasi, tetapi secara konkret Pemerintah
Indonesia menetapkan kewajiban pemenuhan standar Sistem Verifikasi Legalitas
Kayu (SVLK) atas produk-produk kayu melalui Peraturan Menteri Kehutanan Nomor
P.38/Menhut-II/2009 yang merupakan landasan dari kesepakatan sukarela antara Uni Eropa dan Indonesia
Keputusan untuk menjamin legalitas kayu yang diperdagangkan,
baik untuk ekspor maupun pasar nasional, seharusnya dilihat sebagai kebijakan
politik negara dan bukan keputusan rezim sebuah pemerintahan masa lalu,
apalagi kementerian. Karena itu, keberadaannya harus didukung dan bahkan
diperkuat oleh pemerintahan sekarang.
Hal ini perlu mengingat verifikasi legalitas kayu (SVLK) atas
produk kehutanan yang diperdagangkan merupakan ciri dari sebuah bisnis yang
bermartabat. Memang disadari, ada keterbatasan dalam penerapan SVLK, terutama
terkait dengan biaya yang mahal bagi kelompok industri skala menengah-kecil.
Setidaknya dibutuhkan dana Rp 150 juta untuk sertifikasi (SVLK).
Meskipun mahal, pemerintah seharusnya dapat memberikan subsidi
agar pelaku industri kehutanan kecil-menengah tidak terbebani. Terlebih lagi
sertifikasi merupakan tanggung jawab negara untuk mendukung perkembangan
ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Namun, alih-alih memberikan subsidi, pemerintah justru berencana
membebaskan pengusaha untuk tidak lagi mengikuti sertifikasi legalitas kayu
dan cukup membuat deklarasi ekspor. Memang pada jangka pendek kebijakan ini
akan menguntungkan secara ekonomi, tetapi merugikan kredibilitas Indonesia di
tingkat internasional dan merusak tatanan sosial-lingkungan di tingkat
nasional.
Oleh karena itu, menjadi wajib bagi Presiden Joko Widodo untuk
menghentikan rencana permendag ini. Jika tidak, dikhawatirkan Presiden
dinilai publik lebih mendahulukan kepentingan pragmatis pengusaha ketimbang
kebutuhan bangsa dan negara akan kelangsungan sosial dan lingkungan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar