Menanti Tindak Lanjut
dari Sidak Lapangan Kebakaran Hutan
Mas Achmad Santosa ; Spesialis Hukum Lingkungan dan Governance;
Mantan Deputi Kepala UKP4
|
DETIKNEWS,
10 Oktober 2015
Perkembangan terkini sampai dengan kunjungan Presiden Jokowi ke
beberapa wilayah Sumatera dalam upaya mengatasi kebakaran hutan dan lahan
(karhutla) menunjukkan kesungguhan presiden mengatasi bencana ini. Kunjungan
ini adalah kedatangan Presiden kesekian kalinya sejak November 2014 tahun
lalu.
Ada beberapa hal yang perlu dicatat secara cermat dan kritis.
Pertama, ada pertanda baik dari Presiden dan jajaran pemerintah yang akhirnya
menerima bantuan pesawat. Ada yang dari Singapura, Malaysia, Korsel, Rusia dan
Tiongkok. Terutama pesawat yang mampu membawa air dalam jumlah besar dengan
bantuan bahan/cairan kimia (air tractor) untuk mempercepat pemadaman.
Walaupun terlambat, kerjasama internasional untuk sebuah
penanganan bencana sangat diperlukan di tengah-tengah keterbatasan kita.
Terlebih lagi dampak karhutla ini telah merugikan negara tetangga. Selain
itu, presiden memerintahkan membeli pesawat (sendiri) yang khusus untuk
pemadaman (untuk masa mendatang)- membeli sejumlah air tractors yang bisa stand by setiap saat terutama di saat
kebakaran belum meluas, merupakan sebuah keniscayaan.
Pertanda positif lainnya, dihari yang sama- Jumat 9 Oktober
2015-, kunjungan Menko Polhukam, Kapolri dan Kepala BNPB di Sumsel lewat
udara dan darat melihat langsung kebakaran terjadi di areal HTI yaitu PT Bumi
Andalas Permai yang berlokasi di Air Sugihan (Jakpost 10 Oktober 2015 hal 3).
Menko Polhukam Luhut Panjaitan yakin bukan masyarakat lokal yang
membakar, akan tetapi HTI (memiliki luas 192.000 hektar konsesi). Sayangnya
kunjungan Menko Polhukam hanya dimuat di harian Jakarta Post saja. Menko
Luhut mengatakan: "local people
are often blamed for the fires. In fact HTI concession holders like you are
the parties (who are mainly to blame)....".
Luhut Panjaitan juga di lapangan menegaskan bahwa untuk HTI
sebesar ini, seharusnya sudah punya pesawat water bombing, satu unit pemadaman api yang memadai dan sistem
peringatan dini yang efektif. Luhut berjanji akan mengecek kembali di bulan
Februari, apakah permintaannya sudah dipenuhi.
Poin Luhut ini persis seperti temuan Pak Kuntoro Mangkusubroto
menjelang bubarnya UKP4 dan Badan Pengelola BP REDD+ di tahun 2014. Di saat
itu, UKP4 dan BP REDD+ melakukan audit kepatuhan (compliance audit) di sejumlah perusahaan besar HTI dan kelapa
sawit di provinsi Riau dan menemukan ketidaksiapan perlengkapan pengendalian
api di sejumlah perusahaan tersebut. Kuntoro Mangkusubroto saat itu
merekomendasikan perusahaan-perusahaan tersebut dibekukkan izinnya sebelum
mereka melengkapi persyaratan tersebut.
Berdasarkan temuan audit kepatuhan UKP4 dan BP REDD+, ternyata
aparat Pemda juga jauh dari kondisi siap, bahkan tidak melakukan pengawasan
kepatuhan di lapangan. Menko Luhut juga meminta Kapolri yang menyertainya
kemarin untuk ambil tindakan hukum (maksudnya proses gakum pidana sebagai
tugas kepolisian).
Maksud saya mengemukakan soal ini, mengangkat sebuah contoh
tentang ketegasan dan obyektifitas dalam menyikapi temuan di lapangan,
sekalipun perusahaan itu milik the most
powerful business di sektor HTI dan kelapa sawit. Secara jujur harus
diakui bahwa di Indonesia, politico-business
nexus tak jarang menggangu upaya penegakan hukum yang konsekuen dan
berkeadilan. Memang seharusnya pemerintah memiliki wibawa terhadap siapapun,
termasuk pelaku usaha yang punya pengaruh politik sekalipun harus sama
taatnya di hadapan hukum.
Di Desa Panjang dan Rimbo Panjang Kabupaten Kampar Riau yang
ditemukan 22 lokasi kebakaran, sudah ditetapkan 10 tersangka. 6 Tersangka
perorangan (pelaku fisik) dan 4 korporasi (pelaku fungsional). Perlu
ditelusuri sudah sejauh mana proses hukum yang ditangani Polda Riau dan Polda
Sumsel ini berjalan. Siapa yang mengawal proses-proses hukum ini, saya tak
paham betul. Persoalan gakum ini sangat rawan intervensi apabila tidak ada yang
memelototi proses ini.
Kekhawatiran berikutnya adalah tindak lanjut dari pesan
kunjungan Presiden. Bagaimana temuan dan perintah Presiden diterjemahkan
menjadi kebijakan pemerintahan yang mampu merespon akar persoalan karhutla. Tantangan terbesar ke depan
yang menjadi pertaruhan kewibawaan pemerintah adalah menindaklanjuti pesan
dan instruksi presiden di lapangan. Statement
menggembirakan dari presiden dan gesture
Menko Polhukam yang menunjukkan kegeramannya menyaksikan tindakan pembakaran
merupakan respon di sisi hilir (downstream)
dari sebuah proses penanganan Karhutla.
Tindakan pemerintah di sisi hulu yaitu penataan ulang kawasan
gambut perlu disikapi lebih serius melalui paket kebijakan pencegahan.
Diawali dengan penyelesaian peta resmi tentang sebaran lahan gambut,
kedalaman gambut, kegiatan-kegiatan apa saja di atas lahan gambut terutama
gambut dalam di seluruh nusantara. Mengapa gambut? Karena hampir seluruh
kebakaran hutan dan lahan berada di atas kawasan sensitif gambut dalam (deep peatland). Peta ini perlu
diintegrarasikan ke dalam RTRW provinsi-provinsi yang memeliki lahan gambut
dan rawan kebakaran agar ada legal effect karena terkait dengan pelaksanaan
UU Penataan Ruang.
Sikap pemerintah dari hasil pemetaan dikaitkan dengan
kondisi/praktik di lapangan/kawasan gambut, sangat diperlukan supaya tidak
terjadi lagi kebakaran hutan dan lahan dalam skala luas langkah-langkah
pencegahan ini merupakan hal mendesak untuk diselesaikan. Terlalu mahal
apabila kita hanya bertindak terus menerus sebagai the "fire
fighters". Sikap Presiden Jokowi yang mengunjungi Sei Tohor, Riau di
tahun 2014 dan serial kunjungan saat ini (2015) harus diterjemahkan ke dalam
kebijakan-kebijakan operasional, seperti kebijakan perlindungan ekosistem gambut,
kebijakan tata ruang, kebijakan pengawasan kepatuhan, kebijakan pengadaan,
kebijakan anggaran, kebijakan gakum, pembenahan SDM, kebijakan relokasi
kegiatan budi daya di atas kawasan gambut, kebijakan penguatan SDM dan
partisipasi luas masyarakat.
Siapa yang mengurusi ini agar penyikapan dan pesan Presiden dan
jajarannya terinternalisasi ke dalam sistem pemerintahan dengan tolak ukur
keberhasilan pelaksanaan yang jelas? Pertanyaan ini harus dijawab Presiden
dalam beberapa hari mendatang. Diperlukan adanya jaminan agar tidak terulang
lagi bencana karhutla dimasa yang akan datang. Kita tidak ingin bangsa ini
disebut sebagai pelaku kambuhan (repeated
offender). Kita tidak ingin lagi ke depan ada kunjungan-kunjungan tingkat
tinggi, ad hoc dalam skala besar
dari Presiden yang telah banyak menguras biaya, waktu, energi dan kerugian
moneter dan kesehatan serta korban jiwa.
Perlu dicatat sudah saatnya kita punya tekad agar tidak lagi
terjangkit sindroma "here today gone tommorrow". Perlu ada jaminan
ada tindak lanjut dan ketepatan dalam menterjemahkan kunjungan Presiden yang
telah dilakukan berkali-kali. Tindak lanjut ini selalu menjadi sisi lemah
indonesia. Apakah semuanya perlu dituangkan dalam Instruksi Presiden (Inpres)
yang setiap bulannya dievaluasi tingkat pencapaian dan kemajuannya? Semua
terpulang kepada Presiden dan pembantu terdekat Presiden. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar