Benci, Cinta, Damai
Trias Kuncahyono ; Penulis Kolom “Kredensial” Kompas Minggu
|
KOMPAS,
25 Oktober 2015
Carl Philipp Gottfried von Clausewitz. Itu nama lengkapnya.
Clausewitz lahir 1 Juli 1780 di Burg bei Magdeburg, Prussia, (meninggal 16 November
1831 di Breslau). Ia dikenal sebagai tentara dan intelektual, filsuf militer.
Pertama kali Clausewitz terjun di medan perang ketika usianya masih 13 tahun
sebagai kadet, dalam Perang Napoleon.
Ketika usianya belum genap 20 tahun, Clausewitz sudah berpangkat
letnan. Dan, pada usia 21 tahun, ia masuk Kriegsakademie (akademi perang
nasional) di Berlin. Clausewitz terlibat dalam Pertempuran Waterloo, 18 Juni
1815. Dalam pertempuran ini, pasukan Inggris bersama Prussia menghadapi
pasukan Perancis, pimpinan Napoleon Bonaparte (1769-1821).
Pertempuran Waterloo, Belgia, menandai kekalahan Perancis dan
Napoleon, yang sebelumnya sudah menaklukkan sebagian besar Eropa. Napoleon
naik ke puncak kekuasaan lewat jalur militer selama Revolusi Perancis
(1789-1799), merebut kekuasaan Pemerintah Perancis pada 1799, dan menjadi
kaisar pada 1804.
Terinspirasi oleh pengalamannya dalam perang itu, Clausewitz
mengembangkan teori-teori perang, yang terkenal dan banyak dikutip, hingga
kini. Opus magnus, karya terbesarnya, adalah Vom Kriege (On War). Buku 600
halaman ini sebenarnya belum selesai ditulis karena Clausewitz keburu
meninggal terkena kolera. Tetapi, diterbitkan oleh istrinya, Countess Marie
von Bruhl.
Clausewitz dalam bukunya itu, antara lain, mengatakan, perang
adalah lanjutan dari politik (damai) dengan cara lain. Pendapat itu di
kemudian hari ”di balik” Jenderal Vo Nguyen Giap (1912-2013), seorang
pemimpin politik dan militer Vietnam yang mengatakan, damai (politik) adalah
lanjutan dari perang dengan cara lain. Namun, menurut Clausewitz, ”Dalam
perang, hasil tidak pernah final.” Dengan kata lain perang ”tidak pernah
benar-benar berakhir”.
Perang Enam Hari (1967) antara Israel dan Arab (Mesir, Jordania,
Suriah, dan Irak), misalnya, merupakan kegagalan pemerintahan Eisenhower,
Kennedy, dan Johnson untuk mencegah konflik seusai Perang Suez, 1956. Pada
akhir perang, setelah PBB turun tangan, Israel merebut Tepi Barat, Jalur
Gaza, Jerusalem Timur, Dataran Tinggi Golan, dan Semenanjung Sinai. Urusan
dengan Mesir selesai lewat perundingan Camp David, dan Semenanjung Sinai
dikembalikan ke Mesir. Namun, dengan Suriah (menyangkut Golan), hingga kini
belum selesai, demikian juga menyangkut Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Jerusalem
Timur.
Benar kata Clausewitz bahwa ”perang tidak pernah benar-benar
berakhir.” Permusuhan antara Korea Utara dan Selatan hingga kini belum
selesai juga. Perang Korea 1950-1953 yang dihentikan lewat gencatan senjata
masih menyisakan perseteruan antardua ”negara sekandung” itu. Meskipun ada
gerakan dari rakyatnya untuk bersatu, rasanya impian tersebut bagaikan punguk
merindukan bulan.
Bahwa ”perang adalah kelanjutan politik (damai) dengan cara
lain” seperti dikatakan Clausewitz, rasanya sekarang terlihat jelas dalam
perang di Suriah. Sejumlah negara terlibat dalam perang di negara itu—AS,
Rusia, Turki, Iran, Arab Saudi, dan juga Qatar. Di balik keterlibatan mereka
di medan laga, tersembunyi (meski terlihat) kepentingan politik negara-negara
tersebut. Untuk apa Rusia, misalnya, terlibat perang kalau tidak memiliki
kepentingan politik, strategis, dan ekonomi di Suriah? Untuk apa Iran
membantu rezim Bashar al-Assad melawan kelompok-kelompok oposisi bersenjata
dan kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah kalau tak memiliki kepentingan
lain? Demikian pula Arab Saudi, Qatar, Turki, dan juga AS.
Sebenarnyalah, setiap perang didorong, dipicu oleh kepentingan
politik. Tetapi, hanya sebagian saja dari tujuan itu yang dapat diwujudkan
lewat perang. Mengapa Taliban di Afganistan, misalnya, mengobarkan perang
melawan Kabul? Tujuannya adalah merebut kekuasaan di Kabul dan mendirikan
kembali rezim Taliban.
Maka jelas bahwa keputusan memulai dan mengakhiri perang
merupakan ranah kewenangan para negarawan dan politisi. Sementara tugas
militer, seperti dikatakan Clausewitz, adalah menindaklanjuti keputusan
politik itu secara profesional, melalui penerapan doktrin, strategi, taktik,
dan teknik militer, maksimal untuk menghancurkan musuh, minimal untuk
mematahkan semangatnya untuk melawan.
Dengan demikian apakah benar bahwa tujuan akhir perang adalah
perdamaian atau kekuasaan? Lev Nikolayevich Tolstoy (Leo Tolstoy) dalam
Perang dan Damai, novel sejarah perang antara bangsa Rusia dan bangsa
Perancis pada 1812, mengatakan, ”Perang adalah dinamika kehidupan sebab dalam
keadaan perang, orang bersiap untuk berdamai dan dalam keadaan damai orang
bersiap untuk berperang.”
Kalau benar tujuan akhir perang adalah perdamaian, kiranya
perdamaian itu bukanlah sekadar berarti tiadanya konflik bersenjata,
melainkan terciptanya situasi saat akhirnya kebenaran akan kemanusiaan sejati
dihargai dan diwujudkan; berubahnya kebencian menjadi cinta, balas dendam
menjadi pengampunan, permusuhan menjadi persaudaraan, dan perang menjadi
damai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar