Aktor Intelektual Tragedi Mina
Ali Mustafa Yaqub ; Imam Besar Masjid Istiqlal
|
REPUBLIKA,
09 Oktober 2015
Prosesi ibadah haji tahun 1436 H/2015 M selesai sudah. Sebagian
jamaah haji telah pulang ke negara masing-masing, sementara sebagian yang
lain masih berziarah ke kota suci Madinah.
Ada catatan pahit yang harus ditelan oleh umat Islam pada musim
haji tahun ini, yaitu tragedi di Mina yang menelan korban lebih dari 1.000
orang. Sepanjang sejarah kontemporer ibadah haji, setiap tahun memang ada
musibah.
Apalagi jika yang disebut dengan musibah itu, adanya jamaah yang
meninggal meskipun karena faktor sakit. Namun tampaknya, ada karakter yang
berbeda antara musibah-musibah haji yang terjadi sebelum tahun 1980 dan
musibah-musibah haji yang terjadi sesudahnya.
Sebelum tahun 1980, musibah-musibah di Mina lebih bersifat alami
dan tidak menelan korban yang banyak. Akan tetapi, setelah tahun 1980,
musibah-musibah di Mina memiliki beberapa kejanggalan karena musibah itu di
samping menelan korban yang massal sampai ratusan bahkan ribuan jamaah,
polanya juga sama, yaitu jamaah terinjak-injak.
Sebagai seorang yang pernah tinggal di Arab Saudi sejak tahun
1976 hingga 1985, dan selalu mengikuti prosesi ibadah haji bahkan sesudah
itu, kami melihat adanya beberapa kejanggalan dalam tragedi Mina, khususnya
yang terjadi pada tahun 2015 ini. Apabila apa yang diberitakan itu benar
bahwa pada Kamis, 10 Dzulhijah, jamaah haji yang berjalan menuju tempat
pelontaran Jamrah Aqabah, tiba-tiba yang di depan berhenti sehingga yang di
belakang berdesakan sampai terinjak-injak dan mati, dan yang mati berjumlah
1.095 orang, maka hal itu tampaknya sulit dapat diterima oleh akal yang
sehat.
Sebab, para jamaah yang hendak melontar Jamrah Aqabah itu sedang
dalam kondisi ngantuk, letih, dan lapar akibat pada Rabu, ketika mereka wukuf
di Arafah, seharian mereka tidak bisa istirahat. Malam hari juga, dalam
perjalanan dari Arafah ke Mina, mereka tidak bisa tidur. Sementara pagi
harinya, mereka kebanyakan belum mendapat sarapan. Karenanya, perjalanan
mereka itu tidaklah cepat melainkan agak santai.
Pada tahun 2000, ketika kami diundang oleh Pemerintah Arab Saudi
untuk memberikan penyuluhan haji melalui radio dan saluran televisi Arab
Saudi, dari lereng gunung di Mina kami sempat memantau perjalanan jamaah
haji. Ternyata, perjalanan mereka itu pelan, tidak berlari, tanpa berdesakan.
Berdesakan hanya terjadi ketika mereka sedang melontar Jamrah Aqabah.
Jamaah haji yang berjalan seperti itu, apabila jamaah yang di
depan tiba-tiba berhenti, tampaknya sulit diterima akal apabila jamaah di
belakangnya langsung terinjak-injak. Apalagi karakter haji adalah beribadah,
dan orang yang beribadah selalu akan menolong orang lain.
Sekiranya ada 100 orang yang jatuh dan terinjak-injak sampai
mati, maka yang seribu orang tentunya akan berusaha menghindarkan diri dengan
mundur ke belakang. Akan tetapi, seperti diberitakan justru semuanya mati
terinjak-injak. Maka suatu hal yang mungkin sekali bahwa ada kelompok jamaah
haji yang memang mendapatkan tugas untuk merobohkan jamaah yang lain,
kemudian kelompok yang lainnya menginjak-injak mereka sehingga yang roboh itu
kemudian mati.
Boleh jadi juga, ada kelompok yang sengaja mau melakukan bunuh
diri dengan merobohkan diri dan diinjak-injak. Apabila perkiraan ini benar,
maka hal itu bukanlah perbuatan orang yang beribadah haji, melainkan
perbuatan orang-orang yang sengaja membuat kekacauan.
Pada tahun 2000, kami mencoba untuk melontar Jamrah Aqabah pada
tanggal 10 Dzulhijah dari lantai atas. Waktu itu tempat pelontaran Jamrah
baru ada dua lantai. Situasi saat itu sangat padat sehingga kami gagal untuk
melontar jamrah dari lantai atas. Akhirnya, kami berhasil melontar jamrah
lewat lantai bawah. Pada saat itu, tidak ada satu pun jamaah yang terjatuh
apalagi terinjak-injak sampai mati.
Kepadatan yang lebih parah lagi sebenarnya terjadi ketika jamaah
haji sedang melakukan thawaf khususnya tawaf ifadhah. Para jamaah hampir bisa
disebut berimpitan. Kendati demikian, tidak ada jamaah yang terjatuh apalagi
terinjak-injak. Sekiranya ada kecelakaan di mana salah satu jamaah terjatuh,
maka tentu yang lain akan segera menolong. Oleh karena itu, tragedi jamaah
terinjak-injak yang berulang kali di Mina itu tampaknya memang didesain oleh
kelompok tertentu untuk kepentingan tertentu pula.
Di antara kepentingan itu adalah pertama, ingin memberikan kesan
kepada dunia bahwa Pemerintah Kerajaan Arab Saudi tidak mampu menjamin
keamanan para jamaah haji. Berikutnya adalah untuk memberikan rasa takut
kepada umat Islam agar mempertimbangkan kembali niatnya untuk beribadah haji
karena Mina adalah kuburan massal, siapa yang datang ke Mina sama artinya
dengan setor nyawa.
Ronde berikutnya seperti yang sudah tampak digelindingkan adalah
munculnya pendapat bahwa kota suci Makkah harus dikelola secara internasional
karena Makkah milik umat Islam. Apabila wacana ini menggelinding, maka akan
terjadi negara-negara Muslim saling berebut untuk mendapatkan kesempatan
mengelola tanah suci Makkah.
Akhirnya, yang terjadi justru konflik antarumat Islam. Maka
sangat baik merenungkan kembali Protokol Zionisme nomor 7 yang menyatakan,
"Untuk kawasan Eropa dan demikian pula benua-benua lain, kita wajib
menciptakan konflik, mengobarkan api permusuhan dan pertentangan." Dalam
kurun waktu paling lama 10 tahun, tidak mustahil, tragedi serupa akan
terulang lagi karena memang sudah ada yang mendesain kecuali apabila aktor
intelektual dan kelompok jamaah haji yang selalu membuat keonaran di tanah
suci itu tidak dizinkan lagi memasuki Arab Saudi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar