Soto
Goenawan Mohamad ; Esais; Mantan Pemimpin Redaksi Majalah
Tempo
|
TEMPO.CO,
19 Oktober 2015
Catatan
Pinggir ini pernah dimuat di Tempo edisi 24-30 Oktober 2005
Tiap 28 Oktober saya teringat
soto. Hari itu, di tahun 1928, ketika para pemuda menyatakan bersumpah untuk
memiliki "satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa", tak terdengar
ada kesepakatan untuk punya "satu soto, soto Indonesia".
Demikianlah kini kita masih
bisa merasai soto Bandung, soto Banjar, soto Betawi, soto Kudus, soto Pekalongan
(yang terakhir ini belum juga mau disebut soto, melainkan "tauto",
karena ada unsur tauco di dalamnya), soto Madura, dan seterusnya, sehingga
dari barat sampai ke timur berjajar soto-soto—itulah Indonesia.
Soto agaknya satu hal yang
mustahil diatur. Maksud saya, ia sulit untuk dilebur dalam sebuah
"kesatuan". Saya tak tahu, sejauh mana kalangan intelijen
menganggap soto Bandung, soto Banjar, soto Madura dan lain-lain itu sebagai
ancaman dan menyebarkan informasi: awas, soto adalah pendukung diam-diam
federalisme dan pelawan "NKRI".
Adapun akronim ini sekarang
dipakai sebagai bahasa resmi untuk menyebut Republik kita—acap kali disebut
dengan setengah menggertakkan geraham, khususnya ketika sampai di huruf
"K". Tapi kita tahu, lidah kita tak bisa merasakan soto dari mana
pun pada saat kita menggertakkan geraham.
Mungkin karena soto akan
senantiasa luput dari bahasa resmi. Ia bertaut erat dengan kelaziman perut
dan lidah, yang umumnya terbentuk oleh pengalaman sejak masa kanak-kanak.
Orang yang sejak berumur 6 tahun dihibur ibunya dengan makan soto bersantan
gaya Bandung tak akan dengan gampang mencintai soto bening gaya Madura.
Dengan kata lain: soto
berhubungan dengan selera, hasrat, kenikmatan, ingatan, bawah-sadar, banyak
hal jasmani yang tersimpan dari masa lalu, yang kadang-kadang muncul, dan
agaknya disebut jouissance dalam
psikoanalisis Lacan. Soto bertautan dengan sesuatu yang mengandung hal-ihwal
yang tak selamanya dapat dibuat terang dan rapi. Soto yang tak dapat
dijadikan bagian dari Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober itu menunjukkan
bahwa dalam hidup memang ada hal-hal yang tak dapat dijangkau oleh tata
simbolik—oleh bahasa, hukum, konvensi bersama, dan agama.
Yang menarik ialah bahwa 28
Oktober 1928 justru sebuah peristiwa dalam tata simbolik, ketika nama jadi
demikian penting. Contoh yang paling jelas adalah salah satu yang disebut dalam Sumpah itu: "bahasa
persatuan, bahasa Indonesia". Bahasa ini bukanlah sesuatu yang baru pada
saat ia disepakati untuk dipakai. Bahasa ini telah beredar sekian abad
sebelumnya, umumnya disebut sebagai bahasa "Melayu", tapi tak lagi persis seperti yang dipergunakan suku Melayu,
sebab khazanah dan lidah orang lain—terutama kaum peranakan Cina, yang banyak
berperan dalam perdagangan dan media—ikut membentuknya. Maka yang terjadi pada tanggal 28 Oktober 1928 itu adalah
mengubah nama "Melayu" menjadi "Indonesia".
Apa arti sebuah nama? Ini
pertanyaan yang sering diulangi sejak Shakespeare menulis Romeo and Juliet.
Bagi Romeo, nama tak penting; kembang mawar tetap kembang mawar seandainya
pun ia disebut "dadap". Romeo mendahului teori linguistik Saussure,
jika "nama" kita samakan dengan "kata": arti sepatah kata
bukanlah sesuatu yang berdiam atau tersimpan dalam kata itu sebagai satu hakikat.
Arti itu selamanya bergantung pada kata lain yang maknanya berbeda. Maka X =
mawar, sebab ia bukan Y bila Y = melati, dan Y = melati, sebab Y bukan Z bila
Z = alamanda, dan seterusnya. Maka apa itu "mawar"? Kita cuma bisa
angkat bahu.
Tapi tak selamanya kita bisa
menyamakan "nama" dengan "kata". Nama sering punya
sejarahnya sendiri. Ketika nama "Indonesia" dipilih, yang simbolik
tak hanya bunyi netral. Ia digerakkan dan menggerakkan sebuah cita-cita,
sebuah harapan, mungkin sebuah rancangan. Jika kita lihat kini, itulah
cita-cita tentang sebuah negeri yang baik, tempat orang yang berbeda-beda
memutuskan untuk tak saling melempar bom.
Ada yang pragmatis di situ:
seandainya sebagian kita bersikap seperti Imam Samudra, tak akan banyak lagi
di antara kita yang hidup, lebih banyak lagi yang dalam ketakutan. Sebab
orang seperti Imam Samudra—yang dengan berapi-api menulis pembelaan atas
perannya dalam mengatur pengeboman di Bali—tak peduli tentang Indonesia. Ia
tak perlu Indonesia. Ia ingin menegakkan masyarakat Islam yang tak terbatas pada
"satu bangsa dan satu tanah air" ini. Dan ia merasa tahu pasti apa
yang "Islam" itu. Dan dengan klaim itu, ia sah membunuh yang
"bukan Islam". Islam, dalam pandangan ini, selalu menghunus empat
pedang.
Tapi tak ada sebuah kehidupan
bersama yang bakal tahan dalam ancaman empat pedang yang terus-menerus. Ini
bukan hanya karena rasa jeri. Sesuatu yang lebih dalam tersimpan dalam
pragmatisme itu: "satu nusa, satu bangsa, satu bahasa" adalah
ekspresi dari sebuah panggilan ke arah sesuatu yang universal.
Setidaknya, dilihat di tahun
2005, Sumpah Pemuda bukanlah ambisi mendapatkan kekuatan politik dan keluasan
geografis. Sumpah itu buah kesadaran: tak pernah ada kelompok (agama, suku,
gender, dan lain-lain) yang bisa mapan dan selesai dalam mencapai
identitasnya. Yang disebut "orang Jawa", juga yang disebut
"umat Islam", sebenarnya tak pernah jelas apa artinya—sebab di
dalamnya keanekaan berkecamuk, meskipun sering tak diakui.
Pada saat yang sama, kita tahu
sudah takdir kita: meskipun penghuni 17.000 pulau ini tak hadir serentak di
satu ujung jalan, kita tahu bahwa tiap saat kita bersentuhan dengan orang
yang lain. Bahkan Imam Samudra harus mencoba meyakinkan orang yang
"lain" itu, dan sebab itu ia bicara, berseru, menulis.
Dalam tiap seru, tersirat asumsi bahwa ada yang universal
dalam kehidupan bersama ini. Ada hal-hal dalam "milik" kita yang
khas yang kita harapkan dapat diterima dan dinikmati siapa saja, entah kapan. Setidaknya begitulah kearifan
penjual soto: ia tak bermaksud menawarkan soto Kudus semata-mata buat orang
di kota di utara Semarang itu. Dan kita bersyukur. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar