Berkaca dari Bantuan Asing
pada Bencana Asap di Riau 2005
Chaidir Anwar Tanjung ; Wartawan Detikcom yang berdomisili di
Pekanbaru, Riau
|
DETIKNEWS,
08 Oktober 2015
Setelah sempat menolak, pemerintah Jokowi akhirnya menerima
bantuan asing untuk menanggulangi kebakaran lahan dan hutan. Adalah Menteri
Luar Negeri Singapura Vivian Balakrishnan yang pada Rabu 7 Oktober memposting
di Facebook bahwa Indonesia bersedia menerima bantuan mereka.
Singapura menawarkan bantuan berupa peralatan pemadaman, baik
dalam bentuk helikopter ataupun pesawat untuk modifikasi cuaca dan bom air,
citra satelit dan tim asistensi.
Bantuan asing yang datang menjelang musim penghujan ini
mengingatkan saya pada era tahun 2005 saat Riau dikepung kebakaran lahan
hebat. Langit Riau jauh lebih buruk dibanding kebakaran yang terjadi tahun
2015 ini.
Kala itu, bantuan asing berdatangan ke Bumi Lancang Kuning.
Pemerintah Indonesia saat itu seakan pasrah tak bisa berbuat apa-apa. Tawaran
asing diterima, baik dari Australia, Malaysia dan Singapura.
Dua negara tetangga kala itu tak hanya mengirimkan peralatannya.
Tapi pasukan daratnya juga diboyong ke Riau. Malaysia dikenal dengan pasukan
pemadam apinya dengan sebutan Bomba.
Aparat kedua negara ini bergabung dalam tim Satgas Penanggulangan
Bencana Kebakaran Lahan dan Hutan di Riau. Kedatangan mereka ke Riau bak
pahlawan. Sepintas mereka seperti pahlawan yang menyelamatkan jutaan rakyat
Indonesia yang menghirup asap.
Tim Indonesia yang sudah berjibaku lebih awal, di tengah kepungan
api, seakan redup dari pemberitaan media asing, termasuk media di Indonesia.
Tim asing ini dikirim ke titik-titik lokasi kebakaran lahan yang
menyebar. Saat itu, saya bersama sejumlah rekan media nasional pergi ke
Kabupaten Rokan Hilir (Rohil). Di sana titik api paling parah.
Kami menyaksikan langsung bagaimana tim Satgas Indonesia,
terdiri dari TNI/Polri dan Manggala Agni dan masyarakat, berjibaku memadamkan
api. Bukan hal yang gampang. Jika tak punya pengalaman, tak bakalan bisa.
Tim Indonesia sudah terbiasa jeli. Mereka memadamkan dengan
melihat dari mana arah mata angin, dan mana bagian ekor api, dan mana bagian
lidah api. Semua harus cermat dan matang. Bila salah memadamkan, api bukannya
hilang, tapi bisa malah membesar.
Jarih payah tim Indonesia di tengah kobaran api yang tingginya
dua kali lipat dari tubuh tim itu sendiri, harus kita acungi jempol. Mereka
memadamkan tak kenal lelah, siang dan malam. Jilatan api bisa mereka padamkan
walau hanya mengandalkan mesin semprot air ala kadarnya.
Melihat api yang berkobar di tengah teriknya matahari, tim asing tak berani berdiri di garda
depan. Tim asing berada di bagian belakang. Mereka seakan tak menyangka
kebakaran lahan begitu dahsyatnya. Belum lagi mereka berhadapan dengan asap
yang bisa membuat jatuh pingsan.
Kita harus akui, tim Indonesia jauh lebih paham akan daerahnya
sendiri untuk melakukan pemadaman. Jilatan api yang begitu menyala, bisa
mereka taklukkan. Setelah api padam, tersisa bara api, barulah tim asing
masuk untuk meneruskan melakukan pemadaman.
Sedangkan tim Indonesia segera meninggalkan lokasi yang apinya
sudah bisa dijinakkan. Tim Satgas kita kembali mencari titik kobaran api.
Begitu api bisa dipadamkan tim Indonesia, barulah tim asing kembali
memadamkan sisanya. Begitulah seterusnya.
Di sinilah letaknya
propaganda media asing. Mereka lebih memilih jepretan foto pada tim
Malaysia dan Singapura. Kesannya, merekalah yang melakukan pemadaman. Seolah
mereka menjadi superhero di Indonesia.
Padahal fakta di lapangan, sesungguhnya garda depan dalam
pemadaman kebakaran lahan tetap TNI/Polri dan rakyat Indonesia.
Tak sampai sepekan tim asing ikut dalam pemadaman, mereka pun
jatuh sakit. Tim Bomba Malaysia ada yang jatuh pingsan kena kepungan asap.
Mereka mengalami sesak nafas karena memang pengalaman mereka belum sebanding
dengan rakyat Indonesia. Tim asing sempat dievakuasi dari lokasi kebakaran
lahan ke Pekanbaru untuk mendapatkan perawatan.
Melihat fakta itu juga bahwa sesungguhnya tim asing tidak
terlalu banyak bisa berbuat, meski kita tetap menghargai kontribusi mereka.
Pemerintah Indonesia sejak saat itu berhati-hati terhadap berbagai tawaran
asing bila terjadi kebakaran lahan.
Kini, tawaran asing kembali diterima. Walau saat ini bantuan
yang ditawarkan sejumlah peralatan, minus tim darat. Tapi perlu diingat,
sekalipun ada bantuan heli untuk membuat bom air, itu juga bukanlah upaya
maksimal. Pemadaman lewat water bombing bukan jalan satu-satunya untuk
memadamkan lahan gambut yang menyimpan bara api di perutnya. Tim darat tetap
tulang punggung dalam menghentikan api.
Kita tentunya tidak mau kedatangan bantuan asing lantas
membenamkan perjuangan anak bangsa sendiri. Terlebih aparat TNI dan
Polri, jerih payah mereka tak bisa
dilupakan begitu saja. Tim Manggala Agni, masyarakat termasuk tim pemadam
berbagai perusahaan yang ada selama ini bekerja, yang tak kenal lelah berjibaku melawan si jago
merah, juga tak bisa diabaikan begitu saja. Masyarakat Indonesia harus tetap
menempatkan anak bangsa sendiri sebagai pahlawan dalam penanggulangan bencana
kebakaran lahan dan hutan.
Tahun ini kebakaran yang sama tak hanya terjadi di Riau semata.
Di Kalimatan, Sumsel, Jambi yang dulunya nol titik api, kini justru titik api
jauh lebih banyak ketimbang Riau. Jika saja pemerintah Jokowi sejak awal
lebih serius menanggulangi, mustahil api tak bisa dipadamkan. Sebab
sesungguhnya kita sendiri yang lebih paham soal penanggulangan kebakaran
lahan tersebut.
Keputusan pemerintah Jokowi yang akhirnya menerima bantuan asing
jangan sampai membuat kita lupa pada jasa para Satgas kita sendiri.
Selamat bertugas Tim
Satgas Indonesia. Bravo! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar