Menangani Bencana Asap
Dinna Wisnu ; Pengamat Hubungan Internasional;
Co-founder & Director
Paramadina Graduate School of Diplomacy
|
KORAN
SINDO, 14 Oktober 2015
Tahun ini kita dihentakkan oleh kenyataan bahwa bencana asap
lintas batas adalah problem serius yang makin mendesak untuk diselesaikan
secara diplomatis oleh Indonesia. Berbagai data yang beredar menunjukkan
bahwa bencana asap 2015 di Indonesia adalah yang terburuk sejak 1997.
Pasalnya bencana ini menyebabkan ragam problem sosial, kesehatan, dan
ekonomi, baik di dalam negeri (di Pulau Sumatera dan Kalimantan) maupun di
luar negeri (di Singapura, Malaysia, bahkan hingga ke daerah wisata Phuket di
Thailand).
Lebih parah lagi, berita-berita tersebut dibumbui dengan
informasi bahwa masalah asap ini sebenarnya rutin terjadi setiap tahun sejak
18 tahun terakhir. Berita-berita macam itu mempertanyakan kredibilitas
Pemerintah Indonesia dalam menangani problem ini secara cepat dan tuntas.
Secara diplomatik, problem kredibilitas macam ini berpotensi mengurangi daya
tawar Indonesia dalam perundingan-perundingan di lini lain sehingga perlu
kita cermati. Berikut ini sejumlah catatan yang perlu ditangani dengan baik
oleh diplomat kita.
Pertama-tama berita bahwa sumberdari problem asap ini adalah
pembakaran (sengaja) dan kebakaran (tidak sengaja) di lahan gambut yang luas
jumlahnya di Indonesia dan kerap ditanami kelapa sawit. Titik apinya
dikabarkan mencapai lebih dari 1.000 per hari! Kedua bahwa terbakarnya lahan
gambut ini kerap terjadi karena kelompok petani sawit tertentu masih memilih cara
pembakaran lahan untuk membuka lahan baru.
Ada yang menuding ini perilaku petani sawit rakyat, tetapi ada
juga yang menunjuk perkebunan sawit besar. Ketiga bahwa kebakaran di lahan
gambut memproduksi gas rumah kaca yang sangat besar. Global Fire Emission Database mengeluarkan pernyataan bahwa
kebakaran yang berlangsung selama 3 bulan pada 2015 ini telah memproduksi
kira-kira 600 juta ton gas rumah kaca.
Hal ini setara dengan jumlah karbondioksida yang diproduksi oleh
industri di Jerman dalam setahun! Keempat , ada teknologi yang sudah
mendeteksi keseriusan tingkat kebakaran besar pada 2015. Guido van der Werf
dari VU University Amsterdam mengatakan bahwa satelit pendeteksi kebakaran
telah memperkirakan sejak September 2015 bahwa potensi kebakaran di Indonesia
ini adalah yang tertinggi sejak tahun 2003.
Robert Field dari NASAs
Goddard Institute for Space Studies telah meramalkan bahwa titik api dan
kebakaran hutan di Indonesia tahun ini bisa jadi seserius problem 1997. Herry
Purnomo, pakar bencana asap di Centre
for International Forestry Research, juga mengamini hal tersebut.
Catatan-catatan itu perlu disikapi dengan cermat. Kalau Pemerintah Indonesia
terkesan mengecilkan masalah, efeknya justru buruk bagi kita.
Kalau kita menyangkal besaran masalah atau tampil tidak
simpatik, efeknya justru akan memojokkan Pemerintah Indonesia sebagai tidak
peka dan tidak peduli pada efek ekonomi dan sosial dari bencana asap ini.
Untuk itu berita bahwa Presiden Joko Widodo telah meminta maaf kepada negara
tetangga adalah langkah yang tepat.
Perdana Menteri Malaysia Najib Razak tampak menghargai sinyal
bahwa Presiden RI tertekan dan malu serta membuka diri untuk bantuan
penyelesaian masalah dari negara lain setelah menimbang besaran masalah.
Namun meminta maaf dan membuka diri saja tidaklah cukup. Kaitan problem asap
ini dengan pengelolaan lahan sawit di Indonesia perlu ditanggapi juga.
Selama ini Indonesia berpegang pada argumen bahwa perusahaan-
perusahaan sawitdi Indonesia sudah mengikat diri pada sertifikasi lembaga
internasional untuk sawit seperti RSPO (Roundtable
of Sustainable Palm Oil) atau sertifikasi nasional ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil).
Dan dalam syarat sertifikasi telah jelas disebutkan penerapan
kebijakan zero burning,
antipembakaran lahan. Beberapa perusahaan bahkan membentuk Indonesia Palm Oil
Pledge bersama Kadin demi menunjukkan standar-standar tertinggi
dalamindustrikelapasawit yang telah mereka terapkan. Yang problematis dari
argumen di atas adalah karena sertifikasi tersebut belum mencakup seluruh
pemilik lahan sawit di Indonesia.
Publik tahu persis bahwa sertifikasi tersebut terlalu mahal
untuk diterapkan oleh pemilik lahan kecil yang mayoritas adalah petani sawit
rakyat. Dari sisi luas lahan, petani rakyat baik petani plasma maupun petani
mandiri semakin banyak jumlahnya. Data dari Badan Pusat Statistik menyebutkan
bahwa luas lahan petani rakyat mencapai 4,5 juta ha di tahun 2014, sementara
total lahan perkebunan besar adalah 5,6 juta ha.
Jika dilihat dari percepatan pertumbuhan lahan sawit,
pertumbuhan lahan sawit rakyat meningkat lebih cepat (6,5%) daripada lahan
sawit perkebunan besar (5,4%). Publik juga telah mengendus lemahnya mekanisme
penegakan hukum untuk melacak pengusaha yang melakukan pembakaran hutan
secara sengaja. Selain karena medan pengawasan yang sulit dan terpencil,
jumlah pengawas belum memadai jumlahnya. Artinya kecurigaan bahwa kebakaran
hutan tersebut terkait dengan upaya pembukaan lahan seakan menjadi fakta yang
tak terbantahkan.
Di satu sisi perluasan lahan sawit rakyat sebenarnya memiliki
efek keuntungan yang baik bagi masyarakat lokal. Karena perusahaan rakyat
biasanya mengalokasikan keuntungannya untuk penduduk setempat dan di sektor
industri sejenis. Dan karena itu penanganan petani sawit rakyat tidak bisa
lagi setengah-setengah. Mereka tidak bisa dibiarkan berkembang secara swadaya
atau sekadar menunggu uluran tangan perusahaanbesaryangmembuka pertanian
plasma.
Di dunia, jumlah petani pemilik lahan kecil juga mayoritas,
bahkan termasuk di Malaysia, kompetitor sawit kita. Council for Palm Oil
Producer Countries (Dewan Negara-Negara ProdusenKelapaSawit) yang digagas
Indonesia tahun ini dan dipakai untuk mengikat kerja sama bilateral yang
lebih erat dengan Malaysia adalah langkah baik untuk mendorong sesama negara
penghasil sawit untuk saling mendukung.
Namun bagaimana kerja dewan ini masih harus terus kita pantau.
Sebagai wadah dialog antarnegara, dewan ini patut diapresiasi. Namun dewan
ini tidak bisa menyelesaikan problem di dalam negeri di mana petani kita
tidak semua terpantau aktivitasnya. Sudah saatnya pemerintah kita memikirkan
terobosan teknologi untuk memantau kegiatan industri kelapa sawit dan
memberikan insentif yang layak bagi petani sawit rakyat yang patuh pada
standar ISPO.
Mungkin keberadaan teknologi tersebut bisa dipikirkan bersama
dalam Dewan Negara-Negara Produsen Kelapa Sawit tersebut, tetapi
implementasinya akan sangat bergantung pada kesiapan tenaga pengawas di
lapangan. Namun, sayangnya, Menteri Pertanian sudah mengeluarkan peraturan
yang membebaskan petani dari kewajiban menyertifikasi lahannya. Sebetulnya
juga amat disayangkan apabila petani mandiri tidak diwajibkan untuk mematuhi
ISPO.
Di satu sisi mungkin petani dapat lega karena tidak perlu
mengeluarkan biaya untuk sertifikasi, tetapi di sisi lain ketidakwajiban ini
membuat negara melepaskan tanggung jawabnya dalam membina petani sawit.
Diplomasi memang mencakup teknik menegosiasikan kepentingan, tetapi dalam
konteks problem asap, diplomasi harus bisa membingkis realitas di lapangan
sebagai kepentingan bersama yang patut ditangani secara bersama-sama pula.
Dalam politik, suatu masalah hanya bisa ditangani bersama jika
pihak yang paling berkepentingan untuk dipandang kredibel (yakni pemerintah)
bersedia memberi modal untuk terjadinya perubahan penanganan masalah. Siapkah
pemerintahan saat ini bertindak lebih konkret dengan mengalokasikan lebih
banyak perhatian dan sumber daya untuk perbaikan pengawasan industri sawit di
lapangan? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar