Geopolitik Pangan Indonesia
Djagal Wiseso Marseno ; Guru Besar Teknologi Pangan UG;
Bekerja di Lemhannas RI
|
MEDIA
INDONESIA, 01 Oktober 2015
PANGAN merupakan kebutuhan dasar minimal manusia untuk
melangsungkan kehidupannya. Terkait dengan hal tersebut, Bung Karno, presiden
pertama Republik Indonesia, saat meresmikan Fakultas Pertanian UI (cikal
bakal IPB) pada 27 April 1952, menyatakan bahwa masalah pertanian (pangan)
adalah masalah hidup dan matinya sebuah bangsa. Dalam konteks yang sama,
mantan Menteri Luar negeri Amerika Serikat Henry Kissinger (1970) menyatakan,
“Control oil and you control nations;
control food and you control the people.“
Saat ini, sebanyak 95% cadangan pangan dunia dalam bentuk
grain dikuasai oleh enam perusahaan agrobisnis multinasional. Jadi, baik Bung
Karno maupun Henry Kissinger sudah memprediksi dengan tepat bahwa pangan
adalah komoditas strategis karena mengandung multinilai, yaitu politis,
ekonomis, dan biologis.
Pangan tidak semata sebagai komoditas hasil pertanian,
tetapi juga memiliki nilai strategis yang berdampak luas dan menjangkau
hingga ke ranah politik antarbangsa dan negara di dunia. Pernyataan dua tokoh
besar dunia telah menunjukkan hal tersebut. Pangan dapat dihasilkan dari
daratan ataupun lautan sebagai media untuk memproduksi pangan. Dengan
demikian, untuk menghasilkan bahan pangan akan sangat bergantung pada kondisi
geografis-fisik yang dimiliki suatu bangsa dan negara tertentu. Atau, dengan
kata lain, bahan pangan dihasilkan di wilayah yang merupakan ruang hidup bagi
setiap bangsa dan negara di dunia.
Geopolitik pangan
Cohen (2003) mendefinisikan geopolitik sebagai analisis
interaksi geographical settings and
perspective dengan proses-proses politik. Interaksi di antara kekuatan
prosesproses politik (domestik dan internasional) untuk penguasaan kondisi
geografis suatu wilayah berlangsung sangat dinamis dan saling memengaruhi.
Esensi dari geopolitik pangan ialah (1) adanya pemahaman yang mendalam
terhadap potensi kondisi geografis suatu wilayah dan (2) adanya kemampuan (competence) dan kemauan (good will) untuk menyiasati kondisi
geografis dalam rangka tujuan pemenuhan d kebutuhan pangan. Terwujudnya k
swasembada pangan (beras) Indonesia pada 1984 yang diakui FAO dihasilkan dari
adanya pemahaman yang mendalam tentang geopolitik pangan oleh pemerintah
sejak era 1960-an.
Pengertian dan pemahaman yang mendalam terhadap geopolitik
pangan menjadi syarat mutlak untuk terwujudnya kemandirian pangan dan bahkan
kedaulatan pangan. Arti penting dan strategis dari geopolitik pangan harus
sangat dipahami politisi di pusat ataupun daerah yang ada di eksekutif,
legislatif, dan yudikatif sehingga dicapai cara pandang yang sama dan kompak
dalam mewujudkan pemenuhan kebutuhan pangan secara berdaulat dan tidak
tergoyahkan oleh kepentingan sesaat yang bersifat pragmatis dan menguntungkan
segelintir orang.
Fenomena importasi berbagai komoditas pangan, bahkan
termasuk garam, dalam jumlah besar dan dalam kurun waktu lama (lebih dari 15
tahun) membuktikan bahwa kita sebagai bangsa secara kolektif belum memahami
geopolitik pangan. Apabila hal ini terus berlanjut, jangan harap Indonesia
pada 2045 akan men jadi negara yang berdaulat dalam bidang pangan.
Sebaliknya, yang akan terjadi justru seperti tikus mati kelaparan di lumbung
padi.Sangat ironis bila kemudian bangsa Indonesia akan sangat bergantung
kepada pasokan pangan dari luar padahal secara geografis Indonesia adalah
lumbung pangan.
Geopolitik pangan 2045
Sejalan dengan pertambahan penduduk yang tidak dapat
dihindari, ketahanan dan kebutuhan pangan menjadi salah satu isu besar yang
membayangi kehidupan bangsa-bangsa di dunia. Dengan asumsi laju pertumbuhan
penduduk 1,49%, pada 2045 jumlah penduduk Indonesia diprediksi akan mencapai
450 juta jiwa. Artinya, kebutuhan pangan Indonesia meningkat dua kali lipat
dari kebutuhan pangan saat ini. Di sisi lain, perlu kita sadari bahwa saat
ini, sumber daya lahan di Indonesia semakin menyusut karena dikuasai para
pemilik modal.
Dalam kurun waktu 20 tahun terakhir, keluarga tani rata-rata
hanya memiliki lahan pertanian seluas 0,25 hektare. Sementara itu, para
pengusaha dan pemilik modal justru semakin menguasai lahan pertanian dalam
areal yang luas.
Oleh karena itu, kita harus menyadari, secara kolektif,
untuk mewujudkan kedaulatan pangan pada 2045, masalah kepemilikan (ownership) lahan sebagai ruang hidup
bangsa harus dikelola dengan berpedoman pada kepentingan bangsa dalam jangka
panjang. Untuk itu, diperlukan langkah strategis berupa (1) penyadaran kolektif
tentang arti penting lahan pertanian dalam perspektif geopolitik pangan bagi
para eksekutif, legislatif, yudikatif, dan masyarakat luas di tingkat pusat
ataupun daerah; (2) penguatan intelijen bidang pangan; (3) penataan ulang
kebijakan dan kelembagaan bidang pangan; (4) penguatan regulasi yang
berorientasi pada kedaulatan pangan; dan (5) penguatan infrastruktur produksi
pangan.
Lahan sebagai ruang hidup dan penghidupan harus dikuasai
negara untuk kepentingan rakyat, dan tidak boleh `digadaikan' untuk dikuasai
pemilik modal secara masif. Lumbung-lumbung pangan harus dibangun sesuai
dengan kondisi dan karakteristik geografis lahan dan budaya masyarakatnya.
Intelijen bidang pangan merupakan faktor pendukung yang dibutuhkan untuk
mendapatkan informasi yang akurat dan tepat tentang kebutuhan jenis dan
jumlah komoditas pangan ataupun industri pangan yang berdaya saing di tingkat
internasional.
Penataan ulang kebijakan dan kelembagaan bidang pangan
harus disusun berdasarkan informasi intelijen pangan dan berorientasi pada
pemenuhan kebutuhan masyarakat dan kedaulatan pangan. Penguatan regulasi dan
infrastruktur produksi pangan untuk membangun kedaulatan pangan harus
dilakukan secara komprehensif, mencakup seluruh aspek yang dibutuhkan dari
hulu hingga hilir, dan berpihak pada pemenuhan kebutuhan pangan dalam negeri.
Semoga pada 2045, mimpi Indonesia yang berdaulat dalam
bidang pangan dapat terwujud. Untuk itulah, geopolitik pangan tidak cukup
mencuat hanya sebatas wacana, tetapi harus diterapkan secara nyata melalui
program dan indikator yang terukur dalam sebuah roadmap kedaulatan pangan
Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar