Menuju Referendum Presiden?
Andi Irmanputra Sidin ; Founder Sidin Constitution
|
MEDIA
INDONESIA, 01 Oktober 2015
POLEMIK calon tunggal yang berlangsung beberapa bulan
terakhir ini akhirnya mendapatkan kepastian konstitusional, setelah Mahkamah
Konstitusi (MK), Selasa 29 September 2015, mengeluarkan putusan No 100/
PUU/XIII/2015. Inti dari putusan itu ialah bahwa pasangan calon tunggal
dimungkinkan setelah ada upaya maksimal dan telah sempurna dilaksanakan oleh
KPU menurut UUD 1945 bukan menurut Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU)
semata. Apabila usaha maksimal dilaksanakan, tapi ternyata tetap menghasilkan
hanya satu pasangan calon, KPU tidak boleh serta-merta menunda pemilihan
kepala daerah di daerah tersebut pada pemilu serentak berikutnya.
Calon tunggal tersebut tetap harus dikonteskan guna
pemenuhan hak pilih (memilih dan dipilih) warga negara, tapi bukan dengan
pasangan calon kotak kosong, melainkan dengan cara plebisit alias referendum
meminta rakyat pemilih untuk menentukan pilihannya `setuju' atau `tidak
setuju'. Apabila pemilih mayoritas memilih `setuju', calon tersebut akan
ditetapkan menjadi kepala daerah terpilih, apabila mayoritas rakyat memilih
`tidak setuju', itu berarti rakyat sendiri telah menentukan untuk menunda mendapatkan
kepala daerah definitif.
Pada saat itulah KPU harus mendeklarasikan penundaan
pemilihan kepala daerah tersebut hingga pilkada serentak berikutnya.
Putusan itu memang tidak bisa dikatakan sempurna, karena
hakim konstitusi Patrialis Akbar memiliki pendapat berbeda. Argumentasi yang
dibangunnya juga tidak bisa dianggap remeh dan sepicing mata.
Menurutnya, pilkada itu adalah pemilihan, yang berbeda
dengan referendum. Pemilihan adalah pilihan yang dihidangkan lebih daripada
satu subjek hukum alias pasangan calon, sedangkan referendum hanya
menghidangkan satu subjek hukum.Hal itupun memang akan menimbulkan
kekhawatiran tersendiri, karena jangan sampai nanti kekuatan pasar akan
`membeli' semua kekuatan politik untuk menciptakan calon tunggal, karena
dengan plebisit, analisis probabilitas kemenangan akan lebih mudah guna
kepentingan kekuatan pasar tersebut.
Argumentasi itu memang sangat
mencemaskan sebab jikalau itu terjadi, negara akan diperbudak pasar dan
tentunya sangkakala kematian NKRI.
Kekuasaan tertinggi
Terlepas dari perdebatan-perdebatan yang muncul tersebut,
referendum sudah menjadi kepastian konstitusional untuk pilkada yang bercalon
tunggal. Alasan yang dibangun MK memang rasional. MK masuk terlebih dahulu
membedah Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat
dan dilaksanakan menurut UUD.Bahwa kedaualatan merupakan kekuasaan tertinggi
rakyat, sehingga undang-undang harus menjamin pemenuhan kedaulatan itu dalam
hal pemilihan kepala daerah.Artinya, desain konstitusional yang harus
dibangun ialah tidak ada kata `tunda' apabila saatnya rakyat harus
melaksanakan kedaulatannya, salah satunya ialah hak untuk memilih dan
dipilih.
Dari konstruksi konstitusional itu MK kemudian
`menyenggamakannya' dengan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, bahwa gubernur,
bupati, wali kota dipilih secara demokratis.Frasa `dipilih secara demokratis'
se sungguhnya tidak lain merupakan anak kandung kedaulatan berada di tangan
rakyat menurut Pasal 1 UUD 1945. Artinya, ketika saatnya pengisian jabatan
kepala daerah itu tiba, tidak boleh ada kata tunda untuk pemenuhan kedaulatan
itu untuk memilih dan dipilih kecuali rakyat itu sendiri menundanya. Di
sinilah kemudian kata `dipilih' ditafsirkan secara cerdik oleh hakim bahwa
`dipilih' itu merupakan sebuah kontestasi, dan kontestasi secara demokratis
artinya harus ada perlibatan hak rakyat untuk memilih dan dipilih.
Oleh karenanya, seandainya pun terjadi calon tunggal alias
hanya satu pasangan calon dan semua calon yang mendaftar memang sudah
dinyatakan tidak layak menurut konstitusi, pilkada tidak dapat ditunda.Yang
bisa menunda pilkada ialah rakyat sendiri melalui referendum ketika mereka
diberikan ruang kontestasi yang ternyata lebih banyak `tidak setuju' terhadap
calon kepala daerah tersebut untuk ditetapkan menjadi kepala daerah.
Sebagai catatan, calon yang dinyatakan tidak memenuhi
syarat, tapi cara yang ditempuh tidak sesuai konstitusi, KPU tidak dapat
sertamerta menetapkan sebagai calon tunggal. Apalagi jikalau ternyata
pasangan calon tersebut sedang menempuh upaya hukum guna pemenuhan hak
konstitusionalnya untuk dipilih.
Ambang batas
Konstruksi MK itu memang menimbulkan pertanyaan
berikutnya, fenomena pilkada calon tunggal ini bukan hanya mungkin terjadi
pada pilkada, melainkan bisa jadi pada pemilihan presiden. UUD 1945 memang
tak pernah mau menuliskan mimpi buruk tentang calon tunggal pada pilpres
tersebut, tapi hal tersebut tak mustahil terjadi.
Apalagi dalam pemilihan presiden tidak mengenal istilah
calon perseorangan. Memang pada Pemilihan Presiden 2019 nanti juga akan
diterapkan pemilu legislatif dan pemilu presiden secara serentak, dengan
seluruh parpol peserta pemilu legislatif juga merupakan peserta pemilu
presiden.
Artinya, secara kalkulatif, pemilu presiden ini sudah
tidak mengenal ambang batas parpol dan/atau gabungan parpol untuk dapat
mengusulkan calon presiden. Semua parpol peserta pemilu dapat mengusulkan
pasangan calon presiden, artinya secara kalkulatif, probabilitas peluang
untuk calon tunggal sangat kecil.
Namun, realitas politik ternyata juga tak semudah itu,
karena jangan sampai juga terdapat sosok capres yang kemudian memiliki
popularitas dan elektabilitas yang sangat tinggi, tapi tidak ada parpol yang
mau membuang energi untuk melawannya. Atau malah semua mendukungnya atau
malah parpol yang nonpendukung memboikot tidak mau mengusulkan pasangan calon
presiden.
Lalu bagaimana solusi konstitusionalnya? Apakah linear
dengan pilkada seperti putusan MK kemarin? Tentunya, ini menarik untuk
dipolemikkan dan bisa jadi serupa namun tak sama. Saya sendiri belum tertarik
untuk membahasnya, untuk kemudian menyenggamakan dengan putusan MK itu. Yang
pasti, kepastian konstitusional sudah ada mengenai pilkada calon tunggal,
terlepas setuju atau tidak, semua sistem pasti ada kekurangan dan
kelebihannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar