Mengatasi Kejahatan Lingkungan Lintas Negara
Jacob Phelps ; Peneliti Tata Kelola Hutan, Hukum, dan
Perdagangan Ilegal Satwa Liar, Centre for International Forestry Research
|
KOMPAS,
03 September 2015
Memasuki musim kering, Indonesia berada dalam tingkat
kewaspadaan tinggi menyusul berkembangnya titik panas akibat kebakaran hutan
di beberapa wilayah, terutama di Sumatera. Data menunjukkan, sebagian besar
kebakaran terjadi karena dilakukan dengan sengaja, yang berkelindan dengan
dugaan keterlibatan aktor korporasi negara lain. Saat kebakaran lahan gambut
pada 2013 di Sumatera, misalnya, muncul kecurigaan adanya keterlibatan
perusahaan yang bermarkas di Singapura dan Malaysia.
Kebakaran hutan adalah sumber utama emisi gas rumah kaca, menghilangnya
hutan dan keragaman hayati. Selain itu, kebakaran hutan yang cukup besar pada
2013 dan 2014 menyebabkan polusi asap lintas negara yang merugikan kesehatan
dan sempat melumpuhkan aktivitas ekonomi di beberapa negara Asia Tenggara.
Potensi berulangnya kebakaran hutan menjadi tantangan bagi
pengelola dan pembuat kebijakan kehutanan di Indonesia. Selain upaya
mengatasi titik api di lapangan, kebutuhan mengidentifikasi berbagai strategi
hukum harus menjadi prioritas utama, termasuk memburu aktor korporasi dari
luar negeri dan memutus jejaringnya.
Bukan saja kebakaran hutan, berbagai bukti juga menunjukkan
bahwa investor dan korporasi dari luar negeri terlibat dalam kejahatan
lingkungan lain. Sebutlah penggundulan hutan dan ekstraksi sumber alam. Pelaku
kejahatan lingkungan—baik orang Indonesia maupun asing—juga bisa mendapatkan
dana dan jasa perbankan internasional atau bahkan menyimpan hasil korupsi dan
memfasilitasi pencucian uang di luar negeri.
Kejahatan lingkungan lintas negara menimbulkan kerugian yang
tidak sedikit. Laporan badan PBB untuk program lingkungan, UNEP, dan Interpol
pada 2014 memperkirakan, nilai kerugian akibat kejahatan lingkungan mencapai
70 miliar dollar AS hingga 213 miliar dollar AS (maksimal setara Rp 2,8
triliun dengan kurs Rp 13.000) per tahun.
MLA untuk
lingkungan
Menghadapi kejahatan lintas negara, Indonesia dan lusinan negara
mitra sebenarnya telah memiliki perjanjian bantuan hukum mutual legal
assistance (MLA) yang memungkinkan lembaga penegak hukum lintas negara bekerja
sama. Kerja sama ini membuka peluang kecepatan akses informasi, bukti, dan
tersangka yang beroperasi (hidup, memiliki rekening, dan perusahaan) di
wilayah yurisdiksi lain.
Indonesia sendiri telah menandatangani semua perjanjian MLA
internasional dan regional, memiliki legislasi MLA domestik (UU Nomor 1 Tahun
2006), dan tercatat sudah mengajukan 125 dokumen permohonan dalam payung MLA
yang melibatkan 34 negara. Langkah ini membantu menyelesaikan lusinan kasus
korupsi, pencucian uang, dan narkotika melalui kerja sama pemberian akses
bukti, rekening bank, saksi, dan interogasi pelaku di luar negeri.
Namun, sayangnya, belum ada catatan MLA terkait perlindungan
lingkungan Indonesia. Padahal, MLA dapat menjadi alat penting menghadapi
masalah lingkungan terberat yang dihadapi oleh daerah ataupun pusat, seperti
penangkapan ikan secara ilegal, asap lintas batas, dan perdagangan hewan
liar.
Melalui kerja sama internasional, misalnya, upaya memerangi
penangkapan ikan secara ilegal bisa menjangkau korporasi dan pendana dari
negara lain. Begitu pula dalam memutus jaringan perdagangan satwa liar secara
ilegal berskala internasional, pertukaran informasi mengenai rekening bank,
korporasi, dan saksi dari luar Indonesia mensyaratkan kerja sama ini.
Upaya serupa bisa dilakukan dalam penguatan hukum konservasi
hutan dan lahan gambut di Indonesia. Pemerintah Singapura, misalnya,
menetapkan peraturan yang dapat menuntut pelaku di negara itu jika
bertanggung jawab terhadap kebakaran di Indonesia yang memicu polusi asap
lintas batas.
Namun, tentu saja aturan ini bisa diterapkan sebagai respons
tindakan penegakan hukum di dalam negeri Indonesia. Selain itu, langkah ini
memerlukan kerja sama internasional dalam mengumpulkan bukti dan
mengembalikan aset, yang dimungkinkan melalui MLA.
Tantangan dan
peluang
Dalam menerapkan MLA secara efektif, kita perlu memahami
keterbatasan yang ada. Pertama, efektivitas MLA bergantung pada keterbatasan
tata kelola yang juga terjadi dalam praktik penegakan hukum di Indonesia.
Lemahnya sumber daya manusia dan pendanaan, penyalahgunaan kekuasaan, dan
korupsi membatasi kapasitas MLA mengatasi masalah lingkungan.
Kedua, efektivitas MLA juga dibatasi oleh kendala teknis. Negara
mitra, misalnya, perlu memiliki kesepakatan mengenai jenis dan kategori
kejahatan. Perbedaan legislasi domestik mengenai kayu di Singapura dan
Hongkong dengan hukum di Indonesia bisa menghambat kerja sama MLA.
Di balik tantangan tersebut, MLA mendorong peningkatan kerja
sama berbasis niat baik dan kepentingan bersama menjaga hutan dan lingkungan
hidup. Semangat kerja sama inilah yang menjadi penentu keberhasilan MLA.
Dalam peristiwa asap lintas batas, misalnya, ketika banyak negara memiliki
kepentingan yang sama, secara alamiah akan terbentuk peluang saling
bergandengan dalam payung MLA.
Sementara di dalam negeri, ada kebutuhan meningkatkan kesadaran
dan kapasitas lembaga penegakan hukum dan keadilan dalam mengatasi kejahatan
lingkungan. Melindungi lingkungan hidup dan sumber daya yang sangat berharga
dari tekanan luar negeri juga memerlukan penguatan di luar dan dalam negeri.
Namun, dengan potensi yang dimiliki, MLA bisa digunakan menjadi alat
fundamental mengatasi tantangan berat yang dihadapi lingkungan hidup dan masa
depan pembangunan berkelanjutan di Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar