Trump dan Berubahnya Politik AS
Rizal Mallarangeng ;
Direktur Eksekutif Freedom Institute, Jakarta
|
KOMPAS,
26 September 2015
America now is so in play. Itulah ungkapan Peggy Noonan, kolumnis The Wall Street Journal dan mantan
penulis pidato Presiden Ronald Reagan, dalam menggambarkan fenomena Donald
Trump yang menggoyang politik Amerika sepanjang musim panas tahun ini.
Kata-kata kuncinya
adalah so in play: berubah,
bergerak, membingungkan sekaligus menggairahkan, sering menjengkelkan, tetapi
juga membuka sebuah celah baru. Betapa tidak? Sepanjang sejarah prakonvensi
partai di AS, belum pernah terjadi dinamika seriuh dan sepanas ini. Rating
Foxnews dan CNN menembus rekor setiap kali meliput debat yang dihadiri Trump.
Tokoh-tokoh superkaya Amerika memang kerap tampil di arena politik (Nelson
Rockefeller, Ross Perot), tetapi mereka tidak pernah sampai ke Gedung Putih.
Namun, Trump, dengan
kekayaan pribadi lebih dari 10 miliar dollar AS atau hampir Rp 150 triliun
dalam kurs sekarang, yang diperoleh dari usaha properti, termasuk kasino,
mungkin akan menghasilkan cerita berbeda.
Dengan harta sebanyak
itu, ia bisa melakukan apa saja tanpa tergantung kepada siapa pun. Ia
memiliki armada pribadi, termasuk pesawat jet segala ukuran, semua dengan
logo ”Trump” yang dibuat mencolok. Ia sanggup menyewa konsultan kampanye,
dari yang paling eksklusif di Washington DC sampai yang ecek-ecek di kota
kecil.
Pada awalnya Trump
tidak dianggap serius. Ia memang superkaya, tetapi sangat kontroversial. Gaya
pribadi serta kata-katanya cenderung kampungan—agresif, blak-blakan, sering
merendahkan, walau terkadang cukup jenaka. Dia pebisnis ulung, tetapi di
mimbar politik lidahnya sering tak terkontrol, unpolished.
Presiden Obama,
misalnya, dia kecilkan sebagai pemimpin yang tak kompeten. Sementara kaum
politisi di Capitol Hill disebutnya sebagai orang-orang tolol dan boneka yang
gampang dibeli oleh kaum pemilik duit. Bahkan, para komentator televisi tidak
luput dari sentilan Trump. ”They think they
are smart, but actually they are a bunch of fools.”
Sebaliknya, terhadap
dirinya sendiri, ia memuji setinggi langit. ”I am so rich, tak terbayangkan
oleh orang biasa. Saya lulusan Wharton School of Business di universitas
terbaik Amerika. Saya mendirikan perusahaan kelas dunia. Karena itu, saya
pasti berhasil sebagai presiden. Istri saya cantik jelita. Anak saya juga.
Saya tidak ada beban. Rakyat butuh saya untuk memulihkan kebesaran Amerika.”
Dengan semua itu,
wajar jika Trump dianggap unpresidential,
tidak menampakkan sosok dan wibawa seorang presiden. Karena itu, hampir semua
talking heads, komentator, dan ahli politik sejak awal sudah meramalkan bahwa
raja properti itu tinggal menunggu waktu saja. Trump menggali kuburnya
sendiri. Kejatuhannya adalah niscaya, seperti hukum gravitasi.Namun, tunggu
punya tunggu, setelah kontroversi datang-pergi, ternyata hasil survei berkata
lain. Bukannya turun, tingkat dukungan bagi Trump makin melangit. Sekarang
angkanya sudah mencapai batas psikologis 40 persen di beberapa wilayah, jauh
di atas pesaing lain, termasuk Jeb Bush, yang semula dianggap kandidat
terkuat.
Pada September ini,
gelombang dukungan bagi Trump bahkan sudah dianggap sebagai sebuah movement, mirip dengan fenomena Obama
pada pemilu 2008. Sebagian pengamat dan kaum intelektual mulai khawatir bahwa
tokoh kontroversial itu betul-betul akan menjadi presiden.
Perubahan
Apa yang sesungguhnya
terjadi? Trump bukan tokoh baru. Dua kali mencoba menjadi kandidat presiden,
ia selalu gagal total. Dalam pemilu 2012, dia malah dianggap lelucon.
Faktor apa yang kini
berubah dalam masyarakat Amerika? Kenapa saat ini Trump menjadi kandidat
terdepan dan terus menguat, bukan hanya di kalangan pemilih Republiken,
tetapi juga dalam batas-batas tertentu di kalangan Demokrat dan kaum
independen? Apa yang terjadi padamu, Uncle Sam?
Pada hemat saya, ada
tiga faktor penting di sini. Pertama, suasana anti partai dan anti politisi
kini sangat kental di kalangan pemilih. Rakyat rupanya ingin sesuatu yang
lain sekarang, lebih populis, lebih cair, praktis, serta berjarak dari partai
politik.
Faktor ini tidak hanya
terjadi di AS, tetapi juga di Eropa dan banyak negeri demokrasi lain. Hampir
semua kandidat presiden yang ada, baik Republiken maupun Demokrat, menjadikan
Washington DC—simbol politik dan pemerintahan—sebagai sasaran kecaman.
Suasana hati pemilih
semacam itu sangat menguntungkan Trump. Bertahun-tahun ia telah memiliki
brand yang kuat di luar politik, baik sebagai pengusaha sukses maupun sebagai
pembawa acara populer di televisi, The Apprentice. Dengan mudah ia menjadi
tokoh alternatif pada saat rakyat sekarang membutuhkan sebuah pilihan di luar
sistem. Hal ini sulitterjadi pada Hillary Clinton dan Jeb Bush karena latar
belakang mereka yang begitu berakar pada politik dan pemerintahan.
Kalau sudah klik
dengan suasana hati rakyat, segala kelemahan Trump akan dilihat dari sudut
lain. Keangkuhannya dipahami sebagai daya tarik tersendiri.Dalam hal ini,
saya teringat pada Muhammad Ali, yang pernah berkata bahwa dia adalah orang
hitam paling ganteng, bergerak bagaikan angin, dan memukul KO George Foreman
semudah merobohkan rumput kering. Terhadap arogansi ini, para pemuja Muhammad
Ali pada dekade 1970-an akan bertepuk tangan sambil tersenyum, bukan
mencemooh atau berpaling. Hal seperti inilah yang sekarang sedang terjadi
pada Trump.
Faktor kedua adalah
jurang yang melebar antara kaum atas dan pemilih umumnya, khususnya dalam
masalah kultural dan persepsi terhadap kehidupan.
Kaum elite AS makin
tidak mengerti apa yang terjadi atau apa yang diinginkan the political base.
Satu contoh menarik di
sini menyangkut isu imigrasi. Trump sangat menyudutkan kaum migran ilegal
dari Meksiko dan menjadikannya sebagai isu sentral. Hal ini dikecam keras
oleh kaum elite AS dari semua spektrum politik. Ia dianggap tidak manusiawi.
Namun, ternyata banyak orang Hispanik yang mendukung Trump sebab mereka juga
cemas pada kaum migran ilegal yang merambah ke mana-mana.
Satu atau dua dekade
lalu, isu ini mungkin tidak relevan. Namun, sekarang, ketika jumlah pemilih
Hispanik sudah mencapai 15 persen, melampaui jumlah pemilih kaum hitam, isu
ini bukan lagi persoalan remeh. Trump mengerti hal ini dan berhasil
menggunakannya sebagai salah satu sumber penarik dukungan yang efektif.
Faktor ketiga
berhubungan dengan media sosial. Di masa lalu, jika semua jaringan media
konvensional sudah menyudutkan seorang kandidat, riwayat kandidat tersebut
akan tamat. Sekarang, walau The New York Times, CNN, dan Foxnews bisa
dikatakan bersikap anti Trump, dampaknya sudah jauh berkurang.
Malah bisa jadi
efeknya justru memukul balik: semakin dikecam, rakyat kebanyakan semakin
bersimpati kepada Trump dan menyalurkan perasaan mereka lewat jutaan pesan
serempak di Twitter, Facebook, atau Youtube. Kita bisa berbeda pendapat tentang
kekuatan pengaruhnya, tetapi tanpa mengerti peran medium baru ini,
perkembangan politik Amerika akan sulit dipahami.
Konstruktif?
Pastilah ketiga faktor
perubahan di atas tidak berperan sendiri-sendiri. Ketiganya berkombinasi
serta dalam takaran masing-masing mengubah fondasi politik. Perubahan ini,
tanpa banyak disadari, kini menghasilkan sesuatu yang mengejutkan, yaitu the
Trump phenomenon.
Saat ini, ia hanyalah
salah satu kejutan yang dilahirkan oleh perubahan tersebut. Di masa depan,
pasti masih akan ada lagi berbagai kejutan lain. America now is so in play:
kita berharap, kalau terjadi, kejutan tersebut akan mengarah pada sesuatu
yang lebih konstruktif.
Bagaimanapun, Amerika
adalah negara demokrasi modern pertama yang tetap menjadi sumber inspirasi
bagi banyak negara lain, termasuk kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar